Perpecahan Umat Islam Sepanjang Masa Sudah Dikabarkan Rasulullah SAW, Begini Haditsnya
Rasulullah SAW telah menginformasikan adanya perpecahan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perbedaan pendapat di kalangan umat merupakan sunnatullah yang tak terhindarkan. Perbedaan pendapat selalu ada dalam tabiat manusia.
عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْح
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih). [HR Abu Daud, no 4607 dan Tirmidzi, no 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].
Setelah Nabi SAW dan para sahabat kembali dari Perang Khandaq, Malaikat Jibril datang menemuinya dan menyampaikan perintah Allah SWT agar beliau dan pasukannya menuju perkampungan Bani Quraidhah.
Beliau pun berangkat ke sana. Sebelum keberangkatan, Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk tidak melaksanakan shalat Ashar sebelum sampai di perkampungan tersebut. "Janganlah ada seorang pun melakukan shalat Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah".
Di tengah perjalanan, tibalah waktu shalat Ashar. Para sahabat berbeda pendapat atas perintah Nabi SAW tersebut. Sebagian dari mereka "mengabaikan" perintah tersebut. Menurut mereka, "Sesungguhnya beliau menghendaki kita mempercepat perjalanan dan bukannya mengundurkan waktu shalat".
Sebagian yang lain tetap berpegang pada nash (teks) yang terucap oleh Nabi (memahaminya secara harfiyah). Mereka tidak melakukan shalat.
"Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai di sana," kata mereka. Terjadinya perbedaan pendapat tersebut kemudian dilaporkan kepada Nabi. Ternyata, beliau mendiamkan hal itu, tidak mengecam ataupun menegur salah seorang pun di antara mereka.
Kisah yang dikutip dari Fiqhu 's-Sirrah karya Muhammad Sa'id Al-Buthy tersebut, menunjukkan pada kita, perbedaan pendapat (khilafiyah, ikhtilaf) di kalangan umat Islam, tidak saja terjadi pada masa sepeninggal Nabi atau masa kini.
Bahkan, ketika Nabi masih hadir di tengah-tengah umat pun, hal itu terjadi. Lebih penting lagi, perbedaan pendapat itu ditolerir oleh Nabi SAW. Menurut Yusuf Qardhawi (1995:151), sikap diam Nabi SAW dalam kisah di atas menunjukkan bahwa suatu perbuatan jika disempurnakan atas dasar ijtihad, tidaklah layak untuk dikafirkan atau dianggap dosa.
Mengutip pendapat Ibnu Qayim, Qardhawi menyatakan, kelompok pertama (yang melakukan shalat) atau berpegang pada kandungan ucapan Nabi, adalah para pendahulu ahli qias serta mementingkan arti (maksud). Sedangkan kelompok kedua (yang tidak shalat) memahami secara tekstual ucapan Nabi adalah pendahulu ahli zhahir (berpegang pada susunan kalimat secara harfiyah).
Saat ini pun umat Islam terbagi dua kelompok dalam memahami nash Alquran ataupun hadis, utamanya yang berkenaan dengan masalah furu'. Sebagaimana diprediksi Nabi SAW dalam hadis tersebut di atas.
Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar. Kita, yang tidak sanggup berijtihad sendiri, boleh ittiba', yakni mengikuti pendapat mana saja sesuai keyakinan dan pemahaman kita sendiri, disertai pengetahuan dan pemahaman akan landasan tiap pendapat. Taklid buta atau asal pilih, ikut-ikutan, tanpa mengetahui dan memahami alasannya, dilarang. (Lihat QS 17:36).
Menurutnya, perbedaan pendapat dalam perkara furu' merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan hal itu tidaklah menimbulkan kerugian dan bahaya, selama berlandaskan ijtihad syar'i yang benar.
Hal itu justru menjadi rahmat bagi umat, menunjukkan fleksibilitas dalam syariat, dan keluasan dalam ilmu dan pengetahuan. Para sahabat dan para tabi'in pun, lanjut Qardhawi, sering berselisih pendapat dalam berbagai hukum furu'. Tetapi hal itu tidak sedikit pun merugikan mereka, dan tidak pula meretakkan persaudaraan dan persatuan mereka.
Qardhawi mengingatkan, perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap toleran, wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan pandangan.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengakibatkan, antara lain, timbulnya berbagai aliran dan mazhab. Dalam bidang akidah atau teologi timbul aliran-aliran: Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.
Dalam fikih atau hukum Islam muncul mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Dalam bidang politik muncul aliran Sunni, Syi'ah, dan Khawarij. Dalam tasawuf tampil aliran Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd.
Untuk ber-ittiba' tinggal pilih pendapat mana yang hendak diikuti dengan penuh kesadaran, pengetahuan, sikap kritis, dan pemahaman yang cukup. Artinya, dalam memilih, kita pun harus memiliki alasan dan pemahaman, karena di akhirat nanti yang akan mempertanggungjawabkannya kita sendiri.
Dalam menyikapi perbedaan pendapat, seyogianya diperhatikan sikap toleran, lapang dada, serta tidak merasa paling benar, apalagi sampai menyalahkan pendapat yang lain. Karena kebenaran sepenuhnya milik Allah SWT.
Dia yang paling berhak menentukan mana yang benar dan salah. Terlebih, sikap merasa paling benar dan menyalahkan yang lain, dapat merusak ukhuwah Islamiyah. Perbedaan pendapat adalah realitas tak terelakkan dan bukan untuk menyebabkan perpecahan umat Islam. Dan kita pun tak mungkin dapat menghapuskan perbedaan pendapat itu.
Upaya-upaya untuk menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu', jika pun ada, akan sia-sia. Karena, seperti dikatakan Muhammad Al-Buthy, upaya demikian bertentangan dengan Hikmah Rabbaniyah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syari'at-Nya. Saat ini kita menyaksikan perselisihan pendapat begitu mencuat di antara para ulama, tokoh Islam, dan umat Islam pada umumnya.