Perkara Paling Dekat dan Paling Jauh

Imam al-Ghazali mengajarkan para muridnya ihwal hal paling dekat dan jauh.

AP Photo/Amr Nabil
Kompleks Baitullah di Makkah, Arab Saudi, dilihat dari jauh (ilustrasi).
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu ketika, Imam al-Ghazali (1058-1111) mengajukan sebuah pertanyaan unik kepada murid-muridnya. "Apakah perkara-perkara yang paling dekat dengan diri manusia? Kemudian, apa saja yang paling jauh dari mereka?" demikian tanya sang Hujjatul Islam.

Para muridnya berupaya untuk menjawab pertanyaan ini. Ada yang mengatakan, hal yang paling dekat dengan diri manusia adalah kedua orang tua. Beberapa berpendapat, yang terdekat adalah guru, sahabat, atau karib kerabat.

Imam al-Ghazali mengatakan, semua jawaban itu keliru. “Yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian,” ujarnya.

Ia lalu mengutip Alquran surah Ali Imran ayat 185. Artinya, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada Hari Kiamat diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”

“Maknanya,” lanjut Imam al-Ghazali, “Kematian pasti datang kepada manusia. Tidak bisa dipercepat ataupun diperlambat.”

قُلْ لَّاۤ اَمۡلِكُ لِنَفۡسِىۡ ضَرًّا وَّلَا نَفۡعًا اِلَّا مَا شَآءَ اللّٰهُؕ لِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌ‌ؕ اِذَا جَآءَ اَجَلُهُمۡ فَلَا يَسۡتَـاخِرُوۡنَ سَاعَةً‌ وَّلَا يَسۡتَقۡدِمُوۡنَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.’ Bagi setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun” (QS Yunus: 49).

Lantas, apakah sesuatu yang paling jauh dari diri manusia? Beberapa muridnya menjawab, benda-benda di langit. Ada pula yang berkata, Negeri Tiongkok.

Baca Juga


Imam al-Ghazali menyanggahnya. “Yang paling jauh dari diri manusia adalah waktu yang sudah berlalu,” kata sufi ini menjawab pertanyaan retorisnya itu.

Sebab, lanjut al-Ghazali, waktu tidak pernah berhenti hingga akhir masanya, yakni Hari Kiamat kelak. Jika berlalu, waktu tak pernah kembali. Satu menit yang sudah lewat pasti lebih-jauh daripada durasi seribu tahun yang akan datang.

Allah memerintahkan manusia agar menggunakan kesempatan hidup untuk beriman dan beramal saleh. Bagi setiap insan, waktu adalah modal yang sangat berharga sehingga harus dimanfaatkan secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan perintah-Nya.

Tanda optimalnya waktu adalah bahwa setiap detik, menit, jam, dan hari bernilai ibadah. Ini dapat dilakukan di manapun, tidak harus masjid, melainkan juga antara lain rumah atau tempat mencari nafkah. Siapapun yang melalaikan waktu, maka baginya kelak adalah penyesalan tiada tara.

Ingatlah nasib Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa AS dan Bani Israil hingga ke Laut Merah. Ketika air lautan sudah nyaris menenggelamkannya, raja Mesir itu akhirnya mengakui Keesaan Allah SWT. Betapa sia-sia ucapannya itu.

"Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Fir‘aun dan bala tentaranya mengikuti mereka, untuk menzalimi dan menindas (mereka). Sehingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam, ia berkata, ‘Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).’

Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan" (QS Yunus: 90-91).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler