Bagaimana Alquran Memandang Anjing dan Apa Hukum Jilatannya? Ini Kata Prof Quraish

Ulama berbeda pendapat tentang hukum jilatan anjing

EPA/Lee Byeong Chun
Ilustrasi anjing. Ulama berbeda pendapat tentang hukum jilatan anjing
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Ajaran Islam tentang binatang termasuk anjing sangat apresiatif. Alquran, misalnya, menceritakan tentang Ashhaab al-Kahf, yakni sekian banyak pemuda (tujuh orang) yang menghindar dari kekejaman penguasa bersama seekor anjing mereka dan berada dalam gua selama 309 tahun (QS al-Kahfi: 9-26).

Baca Juga


Alquran juga menegaskan bahwa tidak ada larangan memakan binatang halal hasil buruan anjing yang telah diajar berburu.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS al-Maidah: 4).

Dalam sebuah riwayat, Abu Hurairah RA, menyatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا

“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu menngelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut.” (HR Muslim no 2245).

Persoalan muncul dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang jilatan anjing. Salah satu hadits tersebut adalah yang bersumber dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda:

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.” (HR Muslim)

Masalah yang muncul dari hadits semacam ini, antara lain menyangkut kandungannya, dengan dimunculkannya pertanyaan sebagai berikut: Mengapa demikian? Mengapa dengan tanah, dan apakah yang demikian itu wajib hukumnya?

Ada yang berpendapat bahwa akal sulit menjangkau latar belakang perintah ini, ia adalah ta'abudy (untuk kepentingan ibadah), sehingga teks hadits ini harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana adanya, antara lain: Kalau anjing menjilat bejana harus dicucui. Kalau bukan anjing dan bukan bejana, maka tidak harus.

 

Ada juga yang berpendapat bahwa kandungannya bukan ta'budy, tetapi ta'aqquly (dapat dijangkau oleh nalar), sehingga baik bejana maupun bukan, selama anjing yang menjilat, maka ia harus dicuci. Ini karena air liur anjing, mereka nilai najis. Dan selama liurnya najis, itu berarti mulutnya pun najis bahkan seluruh badannya.

Mazhab Abu Hanifah juga menilai bahwa jilatan anjing najis, tetapi najisnya dianggap sama dengan najis yang lain, sehingga cara membersihkannya/menyucikan najis anjing sama dengan cara menyucikan najis-najis yang lain. Adapun dengan tujuh kali, menurut mereka, hanya berupa anjuran bukan wajib.

Mazhab Maliki, lain lagi. Menurut satu riwayat, beliau (Imam Malik) berpendapat bahwa jilatan anjing tidak najis. Alasannya, antara lain Firman Allah yang membolehkan memakan binatang hasil buruan anjing (QS al-Maidah: 4).

Dalam hal ini, menurut Imam Malik, sang anjing tentu menggigit mangsanya dan liur anjing pasti menyentuh bekas gigitannya, namun demikian Allah tidak memerintahkan kita untuk membersihkan dan menyucikan secara khusus.

Penudukung Imam Malik juga berpegang kepada beberapa hadits, antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa, ''Anjing-anjing, hilir mudik di masjid pada masa Rasul SAW. Mereka (kaum muslimin) tidak menyiram bekasnya sedikit pun.

Riwayat ini, walaupun dinilai shahih, namun ditolak oleh banyak ulama, guna dijadikan argumentasi. Ini, karena yang dilukiskan itu, terjadi pada awal masa Islam, dan masjid ketika itu, belum lagi berlantai sebersih masa kini dan karena itu pula kaum muslimin tidak dilarang sholat sambil mengenakan alas kaki mereka.

Dapat juga dikatakan bahwa kenajisan anjing yang mengenai masjid itu, tersucikan oleh sengatan panas matahari dan udara, yang oleh sementara ulama dijadikan sebagai salah satu sarana penyucian najis-najis/barang-barang tertentu.

Seorang yang bingung tentang persoalan anjing, hendaknya menghilangkan kebingungannya dengan mempelajari argumentasi atau bertanya kepada ulama yang ia percayai.

Apabila yang dipilihnya aadalah pendapat Imam Malik, maka tidak ada masalah baginya. Tetapi jika yang dipilih adalah paham Syafi'i, maka keliru bahkan berdosa bila ia tidak mengindahkannya hanya karena malas.

Saya pribadi dapat memahami pendapat Imam Malik. Namun, demi kesempurnaan dan amannya, saya menganut paham yang menajiskan anjing dan menganjurkan untuk mencuci bekas jilatannya baik di bejana maupun tidak dengan tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah, dan enam lainnya dengan siraman air.

*Naskah tanya jawab di Harian Republika tayang 1994

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler