Kasus Vina tak Berdasar Scientific Crime Investigation, Ini Maknanya Menurut Kompolnas

Kompolnas menilai penyidik bisa tetap melanjutkan kasus pembunuhan Vina.

Dok Polri
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti.
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kapolri Listyo Sigit Prabowo tak menampik bawah penyidikan kasus kematian Vina Cirebon dan Eki pada 2016 tak berbasis pada science crime investigation. Namun, menurut Kompolnas, pernyataan Kapolri tak memengaruhi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan saat ini.

Baca Juga


Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengatakan, kasus yang kini dalam penyidikan lanjutan Polda Jawa Barat (Jabar) itu tetap berbasis pada pemenuhan alat-alat bukti yang sudah sahih diuji pengadilan.

“Hal tersebut (tidak berbasis science crime investigation) tidak memengaruhi kelengkapan berkas, karena toh alat-alat buktinya sudah ada, dan kasusnya sudah disidangkan,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, Ahad (23/6/2024).
 
“Dan dari yang sudah disidangkan itu sudah mendapatkan putusan dari majelis hakim sampai tingkat kasasi, dan sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap,” sambung Poengky.
 
Menurut Poengky, pernyataan Kapolri tentang science crime investigation tersebut, sebetulnya cuma penguatan teknis dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian saja.  Science crime investigation tersebut, kata Poengky menerangkan, cuma metode, ataupun sarana keilmuan yang membantu penyidik kepolisian dalam pengusutan, ataupun perumusan suatu peristiwa tindak pidana.
 
Metode modern berbasis sains dan ilmiah tersebut, kata Poengky, memang lebih dapat menguatkan pembuktian oleh penyidik atas satu peristiwa tindak pidana.
 
Akan tetapi, Poengky menegaskan, penyidikan science crime investigation tersebut, tak ada kaitannya dengan prasyarat dalam keabsahan suatu pembuktian tindak pidana. Karena itu, kata Poengky, pun jika suatu penyidikan peristiwa pidana tak berbasiskan pada penyidikan scienctific crime investigation, bukan berarti bukti-bukti yang telah didapat oleh penyidik dari hasil penyidikannya, menjadi gugur, dan tak meyakinkan.
 
“Dalam KUHAP (Kita Undang-undang Hukum Acara Pidana), yang paling penting itu adalah lengkapnya alat bukti, yang terdiri dari keterangan saksi, tersedianya bukti-bukti, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa,” begitu kata Poengky. 
 
Alat-alat bukti yang ditemukan penyidik tersebut, pun kata Poengky, dalam prosesnya tetap melibatkan lembaga penegak hukum lain sebagai pelapis verifikasi. Yaitu, dengan peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat menerima berkas perkara dan alat-alat bukti sebelum diajukan ke persidangan.
 
Poengky menilai, meskipun alat-alat bukti yang diajukan penyidik kepada JPU tak berbasis pada penyidikan science crime investigation, namun apabila JPU memandang alat-alat bukti dari penyidik sudah terpenuhi, tetap saja, berkas perkara tersebut akan berlanjut ke persidangan.
 
Selanjutnya...

Akan tetapi, kata Poengky, sebaliknya, berapa pun alat bukti yang disorongkan penyidik kepada JPU, tapi bukti diajukan tak relevan, dan kurang, berkas hasil penyidikan, akan dipulangkan untuk dilengkapi.
 
Di persidangan pun, kata Poengky, alat-alat bukti yang diajukan penyidik, dan yang disajikan tim JPU ke pengadilan, kembali diuji oleh majelis hakim. “Oleh karena itu, dalam kasus kematian Vina dan Eki ini, sudah disidangkan, dan sudah berkekuatan hukum tetap. Maka berarti, alat-alat buktinya selama ini sudah lengkap dan sah. Jika tidak lengkap, dan tidak sah, tidak mungkin bisa disidangkan,” begitu kata Poengky.
 
Pun sebetulnya, kata Poengky, penyidikan kematian Vina dan Eki yang dilakukan Polda Jabar 2016, sebetulnya pun tetap mengandalkan adanya bukti-bukti berbasis sains dan ilmiah. Yaitu, kata Poengky, dengan adanya hasil visum, dan autopsi.
 
“Dan itu dibuktikan di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) disebutkan bahwa ada disebutkan hasil autopsi penyebab kematian Vina dan Eki,” begitu kata Poengky.
 
Namun memang, menurut Poengky, penyidikan 2016 tersebut, kurang secara science crime investigation karena tak ada ditemukan bukti visual yang dapat meyakinkan tentang apa sebenarnya yang dialami Vina dan Eki pada saat sebelum kematiannya itu.
 
“Mungkin, yang dianggap kurang scientific itu, misalnya karena memang tidak ditemukan adanya CCTV pada saat di TKP (Tempat Kejadian Perkara),” kata Poengky.
 
Meskipun begitu, kata Poengky, tetap saja hasil penyidikan 2016, sudah berujung pada proses hukum acara yang sesuai, dan sudah mendapatkan kepastian hukum. 
 
Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengakui pengusutan awal kasus kematian Vina dan Eki 2016 tak didasari pada penyidikan yang berbasis scientific crime investigation. Hal tersebut menurut Jenderal Sigit akhirnya memunculkan persepsi negatif atas hasil penyidikan lanjutan kasus yang kini ditangani oleh Polda Jabar tersebut.
 
“Pada kasus pembunuhan Vina dan Eki, pembuktian awal (2016) tidak didukung dengan scientific crime investigation. Sehingga timbul isu persepsi negatif, terdakwa mengaku diintimidasi, terjadi korban salah tangkap, dan penghapusan dua DPO, yang dianggap tidak profesional,” kata Jenderal Sigit dalam amanat yang dibacakan Wakapolri Komjen Agus Andrianto, di PTIK, Jakarta, Kamis (20/6/2024).
 
Sebab itu, Kapolri, kata Wakapolri mengingatkan kepada para penyidik kepolisian untuk melakukan penyidikan setiap perkara hanya mengacu pada pembuktian yang diperoleh dari scientific crime investigation.
 
“Oleh karena itu, lakukan penegakkan hukum secara transparan, dan (yang) dapat dipertanggungjawabkan melalui penyidikan berdasarkan scientific crime investigation untuk mengungkap suatu perkara pidana. Hindari pengambilan kesimpulan penanganan perkara secara terburu-buru sebelum seluruh bukti dan fakta lengkap dikumpulkan yang tentunya melibatkan ahli pada bidangnya,” begitu sambung Kapolri.
 
Pernyataan Kapolri tersebut, disampaikan satu hari setelah Polda Jabar, pada Rabu (19/6/2024) melimpahkan berkas perkara penyidikan lanjutan atas tersangka Pegi Setiawan alias Pegi Perong ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar. Pegi Perong adalah salah-satu dari tiga tersangka, yang selama delapan tahun menjadi DPO alias buronan terkait kasus kematian Vina dan Eki pada 2016. Polda Jabar baru menangkap Pegi Perong di Bandung, pada Mei 2024, beberapa pekan setelah kasus kematian Vina dan Eki tersebut kembali terekspos ke publik. 
 
Sementara Pegi Perong ditangkap, Polda Jabar malah mengumumkan penghapusan dua nama DPO lainnya. Kasus kematian Vina dan Eki sendiri, saat ini masih menjadi misteri, dan masih mengundang perdebatan serta spekulasi publik.
 
Meskipun sudah delapan orang melalui pengadilan yang inkrah, sudah divonis bersalah melakukan pembunuhan dan semuanya menjalani hukuman penjara. Satu terpidana terkait kasus tersebut, saat ini sudah bebas karena status terpidananya masih di bawah umur.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler