Ada Apa di Balik Larangan Jilbab di Tajikistan yang Mayoritas Muslim?
Politik pasca-Soviet mewarnani larangan jilbab di negara mayoritas Muslim itu.
REPUBLIKA.CO.ID, DUSHANBE – Parlemen Tajikistan menyetujui rancangan undang-undang yang melarang hijab akhir pekan lalu meski mayoritas warganya adalah Muslim. Apa dibalik keputusan tersebut?
Kantor berita Asia Plus yang berbasis di Dushanbe melaporkan, kebijakan itu menyusul pembatasan pakaian keagamaan selama bertahun-tahun, yang mana Presiden Emomali Rahmon menyebut hijab sebagai bagian dari "pakaian asing".
RUU pembatasan penggunaan hijab disahkan pada sidang ke-18 majelis tinggi Parlemen, alias Majlisi Milli. Majelis itu juga melarang "pakaian asing" dan perayaan anak-anak pada dua hari raya Islam yang paling penting—Idul Fitri dan Idul Adha.
Lebih dari sebulan sebelumnya, pada 8 Mei, majelis rendah parlemen negara tersebut, Majlisi Namoyandagon, menyetujui RUU tersebut. Dengan jilbab sebagai pusatnya, RUU ini menargetkan pakaian tradisional Islam.
Apa isi undang-undang baru itu?
Undang-undang ini mengubah undang-undang ‘Tentang Peraturan Hari Raya dan Upacara’ yang ada dan melarang “impor, penjualan, promosi, dan pemakaian pakaian yang dianggap asing bagi budaya nasional”. Inti dari perubahan ini adalah larangan hijab, penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim, serta pakaian lain yang berhubungan dengan Islam.
Pelanggaran dapat dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni (sekitar Rp 12 juta) untuk pelanggar individu hingga 39.500 somoni (Rp 61 juta) menurut Layanan Tajik Radio Liberty. RUU tersebut juga melarang “Idieh”, kebiasaan anak-anak diberi uang pada saat Idul Fitri dan “Navroz”, perayaan menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.
Larangan hijab adalah langkah terbaru dari Presiden Rahmon, yang memimpin pemerintahan sekuler, untuk mempromosikan apa yang ia anggap sebagai budaya “Tajiki” dan meminimalkan visibilitas religiusitas publik. Hal ini sangat terkait dengan politik dan cengkeraman kekuasaannya, tulis the Indian Express.
Rahmon telah menjabat sebagai Presiden negara Asia Tengah ini sejak tahun 1994, dan masa pemerintahannya selama 30 tahun merupakan salah satu masa pemerintahan terlama di kawasan ini. Pada awal karirnya, ia diposisikan menentang partai politik yang lebih religius.
Ia menjabat sebagai wakil rakyat di Republik Sosialis Soviet Tajikistan, yang saat itu merupakan negara konstituen Uni Soviet. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, negara tersebut menyaksikan perang saudara antara simpatisan Soviet (Rahmon adalah bagian dari kelompok ini) dan klan etnoreligius yang membentuk Oposisi Tajik Bersatu.
Setelah meluasnya protes terhadap besarnya kemiskinan dan kurangnya peluang ekonomi di negara tersebut, Rahmon muncul sebagai pemenang pemilihan presiden 1994. Ia memimpin Partai Demokratik Rakyat Tajikistan, yang berkuasa sejak 1994.
Selama beberapa dekade, ia telah melakukan perubahan pada konstitusi negaranya untuk memperkuat otoritasnya. Perubahan paling besar terjadi pada tahun 2016 ketika Konstitusi Tajikistan diamandemen untuk menghapus batasan masa jabatan presiden. Dia juga melarang partai politik berbasis agama yang dapat menentang partainya.
Takut orang lebih religius... baca halaman selanjutnya
Massoumeh Torfeh, mantan juru bicara Misi Pengamat PBB di Tajikistan dan jurnalis, menulis di Aljazirah pada 2015 tentang meningkatnya pembatasan agama di negara tersebut. “Ketakutan presiden Tajik terhadap pakaian adalah akibat dari meningkatnya religiusitas di kalangan masyarakat umum setelah pecahnya Uni Soviet. Masjid-masjid baru telah dibangun untuk menarik lebih banyak orang untuk shalat, lebih banyak kelompok belajar Islam bermunculan dan lebih banyak perempuan dan laki-laki mengenakan pakaian bergaya Islami. Pada saat yang sama, kelompok bersenjata Islam juga aktif di wilayah perbatasan Tajikistan dan Afghanistan.”
Namun, beberapa analis berpendapat bahwa ancaman dari Islam radikal terlalu dibesar-besarkan di banyak negara Asia Tengah. Meskipun terdapat peningkatan aktivitas keagamaan publik di negara ini, gagasan bahwa Islam “dibangkitkan kembali” di wilayah tersebut hanya setelah pemerintahan Soviet berakhir tidaklah akurat. Praktik Islam menjadi bagian dari budaya dan tradisi lokal bahkan pada masa pemerintahan Soviet.
Aturan serupa
Sebelumnya, sebuah undang-undang yang mengatur hari raya dan ritual disahkan pada 2007 yang melarang pakaian Islami dan rok mini gaya Barat. Hal ini secara efektif menyebabkan pelarangan hijab bagi pelajar, dan pada akhirnya di semua institusi publik.
Presiden Rahmon memulai kampanyenya dengan sungguh-sungguh menentang hijab pada 2015, dengan menyebutnya sebagai “tanda kemunduran pendidikan.” Pada 2024, ia menggandakan isu ini dengan mengatakan, “Xenofobia dalam pakaian… Mengenakan pakaian asing dengan nama palsu dan hijab, adalah masalah mendesak lainnya bagi masyarakat kita.”
Pada 2017, pemerintah memulai kampanye menggunakan panggilan telepon otomatis yang mendesak perempuan untuk mengenakan gaun Tajiki. Setahun kemudian, mereka merilis buku panduan setebal 376 halaman tentang pakaian yang pantas untuk wanita, berjudul ‘Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan’.
Panduan ini mencantumkan bahan pakaian, panjang, warna dan bentuk yang dapat diterima, dan memperbolehkan jilbab berwarna untuk digunakan hanya dalam pengertian tradisional Tajik – diikat di belakang kepala tanpa menutupi wajah dan leher. Mereka melarang pakaian hitam di pemakaman, dan merekomendasikan pakaian biru dengan jilbab putih. Selama bertahun-tahun, pemerintah juga telah menghentikan dan mencukur paksa pria berjanggut lebat.
Pengaruh Soviet... baca halaman selanjutnya
Bubarnya Uni Soviet di penghujung tahun 1991 memang mengantarkan lagi lahirnya sekitar 15 negara baru, yang lima diantaranya mayoritas penduduknya beragama Islam. Kelimanya itu berada di wilayah Asia Tengah, yaitu Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sebagai negara baru, salah satu persoalan yang dihadapi adalah berkenaan dengan pencarian model sistem dan kultur politik. Memang terdapat petunjuk kuat bahwa umat Islam mulai bangkit, setelah sekitar 70 tahun ditindas habis-habisan oleh rezim komunis Uni Soviet. Namun demikian berbagai kendala menghadang di depannya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Menurut Komarudin Hidayat dalam tulisannya di Republika pada 1995, kendala dari luar antara lain berupa kekhawatiran negara-negara Eropa, terlebih lagi Rusia, akan bangkitnya kekuatan Islam di Asia Tengah yang sangat bersahabat dengan Iran dan Turki itu, di saat opini Barat melihat Islam sebagai lawan baru mereka setelah ambruknya Uni Soviet. Sementara itu, dari dalam, para pemimpin kelima negara baru ini tidak yakin bahwa Islam bisa memberikan solusi lebih baik dalam pembangunan sistem politik, mengingat perkembangan negara-negara Islam yang ada tidak memberikan gambaran cerah.
Lebih dari itu, akibat dari deislamisasi rezim komunis yang amat keras, pemahaman keislaman masyarakat Asia Tengah relatif dangkal. Paham sinkretisme cukup mencolok, sehingga kesadaran etnis dan agama sulit dibedakan. Bagi mereka pengertian ideologi Islam tidaklah jelas.
Bahkan jajaran elite penguasa di sana yang umumnya produk pendidikan komunis tidaklah mudah untuk memutuskan hubungan dengan bekas induk semangnya secara drastis. Orang-orang Rusia masih memiliki posisi penting dalam berbagai sektor industri dan administrasi. Karena kemerdekaan negara-negara Asia Tengah diraih tanpa perlawanan keras, tetapi antara lain disebabkan oleh proses pembusukan otot-otot birokrasi dan ideologi Uni Soviet, memungkinkan lagi sahabat-sahabat Kremlin masih bercokol di situ.