Khutbah Berbahasa Indonesia Bikin Sholat Jumat tidak Sah, Benarkah?

Minimal bahasa Arab itu digunakan pada rukun-rukun khutbah.

Dok Republika
Jamaah sholat Jumat melakukan shalat Ghaib dan doa bersama untuk Palestina di Masjid Agung Al-Imam, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Jumat (17/11/2023).
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Khutbah merupakan bagian tak terpisahkan dalam Sholat Jumat. Para ulama bahkan sepakat jika khutbah termasuk dalam syarat wajib dalam rangkaian ibadah Sholat Jumat.

Baca Juga


Dalam praktiknya, ada masjid di Tanah Air yang khatibnya menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab meski berdampak pada ketidakpahaman jamaah dalam menangkap pesan khutbah. Meski demikian, kebanyakan khatib di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal setempat.  Sebenarnya, bagaimana hukum menyampaikan khutbah Jumat di luar bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia? Apakah khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab?

Ustaz Ahmad Sarwat dalam bukunya Hukum-Hukum Terkait Ibadah Shalat Jumat menjelaskan, jumhur ulama dari Mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi'iyah dan Al-Hanablah umumnya sepakat mensyaratkan khutbah disampaikan dalam bahasa Arab, setidaknya dalam rukun-rukunnya. Meski demikian, selain ritual yang termasuk rukun dibolehkan untuk disampaikan dalam bahasa selain Arab, demi untuk bisa dipahami oleh para pendengarnya.

Mazhab Al-Malikiyah sampai mengatakan bila di suatu tempat tidak ada satu pun orang yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, walaupun dengan membaca rukun-rukunnya saja, maka gugurlah kewajiban khutbah dan sholat Jumat.

Ratusan jamaah Muhammadiyah melaksanakan sholat id di Masjid Arrahman Perumahan Bumi Citra Rajapolah, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (21/4/2023). - (Republika/ Bayu Adji P)

Disyaratkan pula khatib memahami apa yang dibacanya dalam bahasa Arab itu, bukan sekadar bisa membunyikan saja. Mazhab Asy-Syafi'iyah juga senada dengan mazhab Al-Malikiyah dalam hal keharusan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab.

Fatwa dalam mazhab ini menyebutkan apabila tidak ada khatib yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, meski hanya rukun-rukunnya saja, maka wajiblah hukumnya bagi khatib tersebut untuk belajar bahasa Arab. Karena itu, belajar bahasa Arab itu dalam mazhab ini hukumnya menjadi fardhu kifayah. Apabila tidak seorang pun yang melakukan belajar bahasa Arab, maka semua jamaah ikut berdosa. Untuk itu gugurlah kewajiban shalat Jumat dan semua melakukan shalat Dzhuhur saja.

Dasar kewajiban khutbah berbahasa Arab dari jumhur ulama... 

 

Apa dasar dan latar belakang jumhur ulama mengharuskan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab, meski hanya rukunnya saja? Dasarnya adalah ittiba' kepada yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan generasi penerusnya hingga 14 abad kemudian. Padahal boleh jadi khutbah itu disampaikan di luar negeri Arab, dimana mayoritas penduduknya tidak mengerti bahasa Arab.

Kebanyakan ulama memandang bahwa khutbah Jumat ini lebih merupakan ibadah ritual (ta'abbud), ketimbang bagaimana orang memahami isi pesan di dalamnya. Alasannya karena khutbah Jumat tidak lain merupakan pengganti dari dua rakaat shalat Dzhuhur. Shalat wajib berbahasa Arab, sehingga khutbah pun wajib disampaikan dalam bahasa Arab, meski tidak satu pun dari hadirin memahami isi khutbah itu.

Mazhab Al-Hanafiyah adalah satu-satunya mazhab yang membolehkan khutbah Jumat disampaikan walau tidak berbahasa Arab. Dan perlu diketahui juga bahwa bukan hanya khutbah Jumat yang boleh disampaikan dengan bahasa selain Arab, shalat pun juga dibolehkan oleh mazhab ini dengan menggunakan bahasa selain Arab.

Namun kedua ulama besar di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf, justru tidak sepakat dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah sendiri. Keduanya malah cenderung sepakat dengan pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa khutbah Jumat tidak sah apabila tidak menggunakan bahasa Arab, meski hanya pada bagian rukunnya saja.

Sholat Jumat di Indonesia sudah benar...


Lepas dari perbedaan pendapat antara yang mewajibkan khutbah berbahasa Arab dengan pendapat yang tidak mewajibkan, sebenarnya dalam praktiknya sehari-hari, yang kita lakukan selama ini sudah benar dilihat dari dua pihak.

Menurut Ustaz Sarwat, mereka yang mewajibkan bahasa Arab menyebutkan bahwa minimal bahasa Arab itu digunakan pada rukun-rukun khutbah. Sejatinya, para khatib Jumat itu, meski kebanyakan tidak menguasai bahasa Arab, tetapi ketika mereka menyebutkan rukun-rukun khutbah, kebanyakan menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Coba saja perhatikan, ketika membuka khutbah para khatib itu pasti memulai dengan lafadz hamdalah dan shalat kepada Nabi SAW. Umumnya kedua rukun ini disampaikan dalam bahasa Arab tanpa disadari.

Kemudian, rukun berikutnya adalah membacakan petikan ayat  Alquran. Tentu saja pasti menggunakan bahasa Arab. Sebab akan menjadi tidak sah apabila khutbah tidak membacakan petikan ayat  Alquran. Dan juga tidak sah kalau yang dibaca cuma terjemahannya saja. Dan para khatib biasanya amat fasih melantunkan ayat-ayat Alquran dalam bahasa Arab di dalam khutbah Jumat.

Rukun berikutnya adalah menyampaikan wasiat. Ini pun oleh para khataib juga disampaikan dalam bahasa Arab. Bukankah kita sering mendengar khatib membaca lafadz Ittaqullaha haqqa tuqatihi. Menurut Ustaz Sarwat, itu adalah wasiat atau pesan untuk bertaqwa dan disampaikan dalam bahasa Arab. Asalkan sudah baca lafadz itu, sebenarnya sudah cukup dan kewajiban menyampaikan wasiat sudah gugur.

Terakhir yang merupakan rukun khutbah Jumat adalah mendoakan umat Islam. Dan biasanya, semua khatib akan mengucapkan lafadz doa yang pasti kita hafal, Allahummaghfir lil muslimina wal muslimat. Tentu saja doa itu juga berbahasa Arab.

Jadi dengan demikian, sebenarnya semua rukun khutbah sudah tersampaikan dalam bahasa Arab sebagaimana pendapat jumhur ulama. Kalau pun kita berpegang kepada pendapat jumhur ulama, tidak ada satupun yang terlanggar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler