Pernikahan tanpa Izin Pengasuh Ponpes Lumajang dan Ancaman Kejahatan Kelamin
Menurut psikolog, kasus pernikahan pengasuh ponpes Lumajang sebagai kejahatan kelamin
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa mengejutkan terjadi di Lumajang, Jawa Timur, di mana seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) menikahi seorang anak perempuan berusia 16 tahun. Pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tua korban ini, memicu kemarahan keluarga dan masyarakat sekitar.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena pernikahan anak di bawah umur dinilai sebagai pelanggaran hukum dan berpotensi membahayakan kesehatan fisik dan mental anak. Selain itu, pernikahan siri yang dilakukan juga dikhawatirkan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.
Masyarakat pun mendesak agar pihak berwenang menindak tegas ME dan memberikan perlindungan kepada korban. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi semua pihak untuk lebih waspada terhadap potensi terjadinya pernikahan anak di bawah umur, terutama di lingkungan ponpes.
Psikolog Tika Bisono mengecam tindakan tersebut. Ia menegaskan bahwa tindakan ini adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) anak dan bahkan termasuk kejahatan kelamin.
“Pertama, ini sebenarnya pelanggaran HAM Anak. Kedua, ini kejahatan kelamin terhadap anak yang tidak bisa dibenarkan sama sekali,” kata Tika saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/7/2024).
Tika mengatakan mempelai perempuan yang masih berumur 16 tahun kemungkinan berada di bawah pengaruh, tekanan dan ancaman pelaku. Selain itu, korban juga akan cenderung takut dan tidak berdaya untuk menolak ajakan menikah dari pengasuh pondok pesantren.
Menurut keterangan pendamping korban dari perlindungan anak, pelaku memang membujuk korban dengan sejumlah uang agar mau menikah. Pelaku juga memberikan janji-janji kepada korban.
“Saya tegaskan ini sudah pidana. Dan anak itu juga pasti takut untuk bicara karena di bawah pengaruh dan tekanan, karena baru ketahuan setelah setahun menikah siri,” kata Tika.
Tika juga menyampaikan bahwa korban harus mendapat pendampingan dari psikolog atau lembaga perlindungan anak. Pasalnya, menurut Tika, korban yang saat ini sedang hamil dikhawatirkan mengalami trauma. “Pasti akan meninggalkan rasa trauma pada korban, maka memang harus didampingi oleh ahli,” kata Tika.
Tika menyoroti ketidaktegasan pemerintah dalam memberantas pedofil dan predator anak di lembaga pendidikan Islam. Menurut Tika, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan lembaga terkait seharusnya berani untuk mencabut izin pesantren jika terjadi kasus pelecehan seksual.
“Pokoknya, selama negara tidak punya sanksi konstitusional terkait kasus pelecehan di lembaga pendidikan maka kasus seperti ini enggak akan berakhir. Pemerintah harusnya berani kalau misal ada kasus pelecehan, ya harus ditutup pesantrennya. Tapi kan mereka (pemerintah) enggak berani,” kata Tika.
Dia juga menekankan pentingnya asesmen yang komprehensif terhadap guru atau pengajar di pondok pesantren. Asesmen tersebut harus mencakup juga penilaian psikologis, untuk mengetahui apakah guru atau pengajar tersebut memiliki kelainan seksual menyimpang.
“Dan pengajar di pesantren itu harus di asesmen, mau perempuan atau laki-laki. Jangan sampai ada pengajar yang ternyata punya kelainan seksual menyimpang. Karena memang lembaga pendidikan itu harus aman, dan guru harus melindungi siswanya bukan malah dilecehkan,” ujar Tika.
Ketua Bidang Perempuan, Anak dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Amany Lubis, menyatakan keprihatinannya atas kasus ini. Dia menegaskan pernikahan ini telah melanggar hukum agama dan negara.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan pasangan nikah setidaknya berumur paling rendah 19 tahun untuk pria dan wanita. Karena itulah, kata Prof Amany, pengasuh ponpes tersebut telah melanggar hukum negara.
“Saya sangat prihatin dengan kasus ini. Banyak pelanggaran yang sudah dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren terkait pernikahan ini, termasuk hukum negara. Jangan dikira kalau anak perempuan secara fisik sudah besar itu bisa dinikahi, tidak begitu, karena memang sudah ada aturannya dalam undang-undang,” kata Prof Amany.
Sementara itu, hukum agama yang dilanggar oleh pengasuh ponpes tersebut adalah melangsungkan pernikahan tanpa izin orang tua dari calon mempelai wanita. Dalam tuntunan syariat Islam, kata Prof Amany, ditegaskan bahwa salah satu syarat sah pernikahan adalah adanya wali nikah dari pihak perempuan.
Wali nikah yang diutamakan adalah ayah kandung. Namun jika tidak bisa, Islam memperbolehkan dengan wali nasab (saudara laki-laki dari garis keturunan ayah), wali tahkim dan wali maula.
“Kalau masih ada ayah kandung, harus izin dan beliau yang menjadi wali. Tidak boleh asal-asalan karena itu memang sudah ada tuntunannya dalam syariat Islam. Jika pernikahan itu tanpa wali yang benar, asal-asalan, maka tidak sah,” kata Prof Amany.
Kecaman juga disampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. "Kami mengecam tindakan ini. Ini miris di saat anak niatnya menuntut ilmu, tetapi diduga mengalami kekerasan seksual," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.
Pihaknya meminta polisi untuk mengungkap kasus perkawinan anak ini. "Kami meminta polisi untuk dapat mengungkap motifnya," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi pernikahan siri antara seorang anak berusia 16 tahun dengan pengasuh pondok pesantren berinisial ME. Sementara orang tua korban anak tidak mengetahui terjadinya pernikahan siri pada anaknya. Pernikahan tersebut terungkap setelah orang tua korban mendengar isu anaknya yang tengah hamil. Kabar tersebut kemudian ditelusuri, dan didapati bahwa korban anak telah dinikahi pengurus ponpes.
Orang tua korban kemudian melaporkan kasus ini ke polisi. Polres Lumajang saat ini telah menetapkan pengasuh ponpes berinisial ME tersebut sebagai tersangka. Meski demikian, tersangka ME tidak ditahan. Dalam pemanggilan pertamanya, tersangka ME mangkir dari pemeriksaan yang dijadwalkan kepolisian.