Berhubungan Intim dengan Istri Saat Sakit, Bolehkah Mandi Junub Diganti Tayamum?
Tayamum itu menghilangkan hadats, menyucikan orang yang melakukannya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mandi junub merupakan cara seorang Muslim untuk menghilangkan hadts besar. Dilansir dari laman Kemenag, seseorang harus mandi junub ketika mengalami satu dari dua hal. Pertama, keluarnya mani dari alat kelamin, baik secara sengaja atau tidak. Kedua, melakukan jimak atau berhubungan suami istri, meskipun itu tidak sampai keluar mani.
Orang yang sakit memang mendapatkan kekhususan tersendiri dalam hukum Islam. Namun bagaimana hukumnya apabila orang sakit berhubungan intim dan hendak bersuci? Bolehkah mandi junubnya diganti dengan tayamum?
Ali bin Sulaiman Ar Rumaikhan dalam buku Fikih Pengobatan Islami menjelaskan, apabila seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sedang sakit kemudian ia dalam keadaan junub, maka ia tidak dapat menggunakan air, dalam kondisi demikian ia diperbolehkan bertayamum sebagai ganti dari mandi junubnya.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Maidah ayat 6, "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."
Apabila orang sakit yang sedang junub itu telah bertayamum, maka ia tidak perlu lagi mengulangi tayamumnya dari janabah. Kecuali apabila ia mengalami junub lagi. Namun, ia bertayamum menggantikan wudhu setiap kali batal.
Tayamum itu menghilangkan hadats, menyucikan orang yang melakukannya. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah bersabda, "Bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid lagi tempat bersuci."
Adapun kata "atthahur" bermakna media yang digunakan manusia untuk bersuci. Namun tayamum itu adalah alat penyuci yang sifatnya terbatas, yakni dengan hilangnya sesuatu penghalang untuk menggunakan air.
Maka bila yang menghalangi seseorang untuk menggunakan air telah hilang, lalu ia sembuh dari penyakitnya atau ia mendapatkan air yang sebelumnya tidak ada, maka ia wajib mandi apabila tayamum yang ia lakukan sebelumnya untuk junub.
Apabila tayamum yang ia lakukan itu untuk menghilangkan hadats kecil, maka ia wajib berwudhu. Sebagai dalil hal itu, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Imran bin Hushain Ath Thowil disebutkan di dalamnya; Bahwa Nabi melihat seorang laki-laki yang menyendiri, tidak sholat bersama kaum Muslimin. Kemudian beliau bertanya kepadanya, "Apa yang menghalanginya untuk sholat?" Ia menjawab, "Ya Rasulullah, aku sedang junub dan aku tidak mendapatkan air. Lalu beliau bersabda, ""Engkau wajib menggunakan tanah (untuk bersuci), maka hal itu cukup buatmu."
Kemudian dibawakanlah air ke hadapan Rasulullah. Orang-orang pun mengambil air dari air itu dan masih ada air yang tersisa. Lalu Rasulullah berkata kepada lelaki yang junub tadi, "Ambillah air ini, siramkan pada badanmu."
Hadits ini sebagai dalil bahwa tayamum dapat menyucikan dan cukup menggantikan air. Namun jika air sudah ada, maka wajib untuk menggunakan air tersebut. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan agar laki-laki itu mandri dengan air tadi walau ia tidak mengalami junub lagi. Pendapat inilah yang rajih di antara pendapat para ulama.