Ekspresi Cinta Tanah Air Rasulullah

Rasulullah SAW menunjukkan cintanya kepada tanah air tempatnya dilahirkan.

Republika/Muhyiddin
Pemandangan Kota Makkah, Arab Saudi, terlihat dari Jabal Nur.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah pada Tahun Gajah atau sekitar 570 Masehi. Sejak didirikan anak keturunan Nabi Ibrahim AS, Makkah menjadi sentra peradaban. Di sinilah terletak Ka’bah yang mulia, pusat spiritual para pengikut ajaran tauhid.

Baca Juga


Sejak masih belia, Nabi Muhammad SAW bangga akan Tanah Airnya itu. Sesudah diangkat menjadi rasul, beliau berupaya mengajak para penduduk Makkah untuk menerima Islam. Pada masa awal dakwah Islam, masih banyak masyarakat Makkah yang menolaknya. Mereka condong pada syirik yang sesungguhnya begitu bertolak belakang dari tauhid, sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim.

Nabi SAW dan para pengikutnya kerap mendapat intimidasi dan persekusi dari musyrikin Makkah. Akhirnya, Allah SWT mengizinkan umat Islam untuk berhijrah. Kaum Muslimin berpindah dari Makkah ke Yastrib (Madinah). Rasulullah SAW berangkat dengan didampingi seorang sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Hijrah ini berarti meninggalkan Tanah Air. Menurut Ahmad Muhammad al-Hufy dalam bukunya, Rujukan Induk Akhlak Rasulullah, beliau sangat mencintai Makkah karena di sanalah tempat Masjidil Haram.

Tak hanya itu, di sanalah tempat beliau bermain sewaktu kecil, tempat beliau dibesarkan. Di sana pula, tempat pertama kali risalah Islam menyebar. Banyak sanak famili, kerabat, dan sahabat yang beliau cintai bermukim atau lahir di sana. Singkatnya, beliau merasa hatinya terpaut pada Makkah.

Namun, kaum musyrik terus memaksanya. Kaum Muslimin sudah berkali-kali menghadapi kekerasan yang di luar batas kemanusiaan. Keputusan sudah diambil, umat harus berhijrah dari Makkah.

Ketika meninggalkan Makkah, Rasulullah SAW sempat memandangi kota itu dengan raut wajah sedih. Saat Makkah sudah lenyap dari pandangannya, beliau berpamitan.

“Demi Allah, engkau adalah negeri yang sangat kucintai. Jika penduduk (musyrik) tidak mengusirku, maka aku tidak akan keluar meninggalkanmu.”

 

Doa Rasulullah dikabulkan ....

Di Madinah, hati Rasulullah masih terpaut pada Makkah. Pada waktu itu, syariat Islam masih mewajibkan umat yang beriman agar shalat menghadap Masjid al-Aqsha di Baitul Makdis.

Nabi SAW bermunajat kepada Rabbnya, menginginkan agar kiblatnya umat Islam sama seperti kiblatnya Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS, yakni Ka’bah di Masjid al-Haram, Makkah.

Rasulullah berharap, Allah mengabulkan permohonannya. Karena itu, beliau sering menengadahkan wajahnya ke langit dengan harapan turun wahyu dari Allah yang memerintahkan mengalihkan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram.

Harapan ini terwujud dengan turunnya surah al-Baqarah ayat 144. Artinya, “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.''

Saat wahyu itu turun, Nabi SAW sedang memimpin shalat di suatu masjid. Kini, masjid itu dinamakan Masjid Qiblatayn. Inilah satu-satunya masjid di dunia yang pernah memiliki dua arah kiblat, yakni pertama mengarah ke Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina dan, kedua, yang ke Ka'bah di Makkah. Perubahan arah kiblat ini terjadi pada bulan Rajab tahun 12 Hijriyah.

Umat Muslim mengelilingi Kabah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Selasa, 11 Juni 2024. - (AP Photo/Rafiq Maqbool)

Menolak rasisme

Islam tidak pernah menempatkan suatu ras di atas ras yang lain. Kriteria fisik tak menjadi tolok ukur seseorang mulia atau tidak. Termasuk kebangsaan atau tanah air.

Bangsa Arab, Cina, atau Eropa misalnya tak menjadi jaminan seseorang akan sampai di surga.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS al-Hujuraat: 13).

Telah dijelaskan sebelumnya, betapa Rasulullah SAW mencintai Tanah Airnya, Makkah. Belum lama menapakkan kaki untuk hijrah ke Madinah, beliau sudah menatap rindu kota kelahirannya itu.

Bagaimanapun, secara tegas Rasulullah SAW tak pernah sama sekali menjadikan kesamaan tanah air atau suku sebagai kriteria kemuliaan insan. Malahan, beliau melarang rasisme serta kebanggaan semu lainnya.

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Nabi Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam (mulia) atas orang Arab, begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam, dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, (semua itu) kecuali dengan takwa" (HR Ahmad dan al-Bazzar).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler