Apa Itu Taqiyah?

Taqiyah dikenal dalam pemahaman kaum Syiah.

Reuters
Ilustrasi Taqiyah.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan pencegahan melawan ancaman penyiksaan dengan cara menyembunyikan keyakinan dan praktik keagamaan dapat ditunjukkan melalui sikap kepura-puraan. Ada istilah untuk ini, yakni taqiyah.

Baca Juga


John Lesposito mengatakan dalam buku Ensklopedi Oxford Dunia Islam Modern, di kalangan kelompok Syiah terdapat suatu anggapan. Mereka kadang kala memandang diri, sejak zaman dahulu, menjadi sasaran penyiksaan “bau” keagamaan secara terus-menerus oleh kelompok mayoritas dan pemegang kekuasaan politik.

Pengembangan terhadap prinsip taqiyah ini bisa mewujud lebih jauh. Misalnya, mengizinkan mereka tidak hanya melakukan perlawanan pasif atau diam-diam, melainkan— bila dianggap perlu—menyembunyikan secara aktif keyakinan mereka yang sesungguhnya. Itu dilakukan demi melindungi nyawa, harta benda, dan praktik keagamaan mereka.

Praktik pendefinisian taqiyah seperti diambil dari tindakan Ali bin Abi Thalib, seperti tercatat dalam historiografi Syiah. Sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, di mata kaum Syiah merupakan pewaris tunggal dan terpilih dari Rasulullah SAW. Bukannya bersikeras menyatakan haknya yang diberikan oleh Tuhan untuk mewarisi kepimimpinan umat untuk sementara--demikian perspektif Syiah--Ali malah tidak menafikan kekuasaan sejumlah lawannya. Itu dengan maksud melindungi diri dan pada akhirnya untuk mendapatkan ketenteraman.

Ali ketika itu, menurut perspektif kaum Syiah, memilih bersumpah setia kepada para pemimpin yang diakui mayoritas--tetapi "dikutuk" kaum Syiah sebagai kaum bid’ah. Mereka mendasari pembenaran prinsip tersebut dengan sejumlah dalil Alquran. Di antaranya, surah Ali Imran ayat 28. Artinya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”

Konteks kelompok

Dalam pemahaman orang-orang Syiah, praktik taqiyah sudah dilakukan sejak lama. Misalnya, pada masa Imam keenam, Ja’far as-Shadiq (765 M), gerakan bawah tanah pro-Syiah yang meluas telah memanfaatkan taqiyah untuk menyembunyikan aktivitas revolusioner. Imam Ja’far sebaliknya mendesak pengikutnya untuk menerima status minoritas secara damai. Sebagai pengganti, terhadap aksi pemberontakan mereka mempraktikkan bentuk taqiyah permanen yang kemudian menjadi doktrin quietis dalam agama.

Doktrin ini kemudian mereka poles dengan penafsiran sendiri atas dalil Alquran, tepatnya ayat ke-13 dari surah al-Hujurat. Ayat ini, dalam pandangan mereka, adalah anjuran dan seruan ber-taqiyah. Mengingat, antara kedua kata--taqiyah dan takwa--memiliki akar kata yang sama.

Sesudah masa Imam Ja’far, situasi penganiayaan, tampak ataupun tidak, mendorong meningkatnya kebergantungan pada konsep ini. Akhirnya, mengarah pada hilangnya imam terakhir dari 12 imam yang mereka percayai. Ini dianggap sebagai puncak pelaksanaan taqiyah. Karenanya, salah satu penguasa di abad ke-10 M era Abbasiyah, Ibnu Babawaih (995 M), mengatakan, hukum ber-taqiyah ini adalah wajib dan bersifat mutlak atau permanen.

Namun, pendapat ini menerima sanggahan dari berbagai kalangan. Syekh al-Mufid (1022 M) melihat kecenderungan berbahaya dalam pernyataan itu. Dengan mengikrarkan konsep kemutlakan taqiyah, pada masa depan tak ada ada satu pun pernyataan, bahkan menyangkut taqiyah itu sendiri, yang dapat diterima begitu saja.

Para pendukung Syiah, kemudian dan kini, memahami sepenuhnya paradoks tersebut. Untuk itu, Syekhal-Mufid tergerak menyusun aturan yang lebih tepat bagi penggunaan taqiyah. Kurang lebih intinya, kewajiban taqiyah tidak sama bagi semua orang ataupun dalam semua keadaan. Atas dasar ini pula, taqiyah dinyatakan sebagai kewajiban, tetapi yang tidak bersifat mutlak.

Doktrin dan praktik taqiyah masih berlangsung dan dilaksanakan secara luas oleh kaum Syiah dan minoritas lainnya. Penggunaan prinsip taqiyah lebih banyak populer dan memang tetap diakui oleh kalangan Syiah secara umum. Pada masa yang lebih modern—khususnya, setelah Dinasti Shafawiyah (1501-1722 M) yang menjadikan Syiah 12 Imam sebagai agama Iran—perlunya sebuah doktrin taqiyah yang universal lenyap.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler