Penjajahan Israel di Dataran Tinggi Golan, Begini Sikap Pak Harto dan Gus Dur
Pencaplokan Israel atas Dataran Tinggi Golan adalah batu sandungan perdamaian.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Hantaman rudal di lapangan sepak bola di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel berpotensi memicu perang besar Israel dan Lebanon. Indonesia sejak lama menyerukan penarikan Israel dari wilayah yang dicaplok dari Suriah tersebut.
Dataran Tinggi Golan merupakan dataran tinggi strategis yang berbatasan dengan Lebanon, Israel, dan Yordania. Meskipun diakui secara internasional sebagai bagian dari Suriah, dua pertiga wilayah tersebut telah diduduki oleh Israel sejak wilayah tersebut direbut dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Suriah berusaha merebut kembali wilayah tersebut pada 1973, namun gagal. Pasukan pengamat PBB telah mengawasi garis gencatan senjata sejak saat itu.
Israel telah membangun puluhan pemukiman ilegal di Dataran Tinggi Golan, dan pada 1981, menyatakan bahwa mereka mencaplok wilayah tersebut. Sekitar 20.000 pemukim ilegal Israel kini tinggal di sana, bersama dengan sekitar 20.000 warga Arab Druze.
Di Golan juga terdapat sekitar puluhan ribu warga Suriah yang selalu menolak ajakan untuk menjadi warga negara Israel. Aljazirah melaporkan bahwa anggota komunitas ini yang terkena serangan mematikan yang menewaskan 12 orang di lapangan sepak bola pada Sabtu lalu.
Pemimpin Israel dari pihak Partai Buruh seperti Yitzhak Rabin dan Ehud Barak sebenarnya telah bersedia melepas Dataran Tinggi Golan untuk mendorong perdamaian. Namun, sikap itu digagalkan oleh seorang politikus sayap kanan bernama Benjamin Netanyahu.
Netanyahu sejak memulai jabatannya sebagai perdana menteri Israel adalah salah pendukung utama pencaplokan Dataran Tinggi Golan. Pada 1997, ia terang-terangan melawan resolusi Majelis Umum PBB (MU-PBB) yang mengutuk perluasan pembangunan permukiman Yahudi di kawasan pendudukan. "Dalam lima hingga 10 tahun mendatang, seluruh dunia akan melupakan resolusi PBB itu," ujar di hadapan para pemukim Yahudi di dataran tinggi Golan.
Indonesia mengecam klaim Netanyahu atas pendudukan di Dataran Tinggi Golan tersebut. Presiden Presiden ke-2 RI Soeharto menyoroti persoalan itu saat membuka Konferensi Tingkat Menlu Organisasi Konferensi Islam (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta pada Juni 1997.
Dikutip dari arsip Republika, Pak Harto menegaskan, perdamaian di Timur Tengah yang adil dan menyeluruh hanya dapat dicapai bila Israel menarik diri tanpa syarat dari Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan dari wilayah Lebanon Selatan. ''Indonesia akan tetap berada di pihak bangsa Arab dalam perjuangannya untuk memperoleh kembali wilayahnya yang diduduki Israel,'' tegas Presiden ketika membuka KTM-OKI ke-24 itu.
"Proses perdamaian yang sebelumnya telah memberikan harapan penyelesaian, kini justru berjalan makin tidak menentu. Rakyat Palestina masih terus mengalami penderitaan akibat tindakan-tindakan provokasi Israel dan penolakan Israel untuk melaksanakan komitmen-komitmen dalam Deklarasi Prinsip Tahun 1993 dan persetujuan-persetujuan berikutnya," kata Presiden.
Sikap serupa ditunjukkan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Kepada 16 duta besar negara-negara Arab yang mengunjunginya di Jakarta pada 1999, Gus Dur menyatakan komitmennya, bahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya dengan berdirinya negara Palestina yang beribukota Jerusalem. Israel juga dituntut mengembalikan dataran Tinggi Golan sebagai prasyarat dibukanya hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Akankah berujung perang? baca halaman selanjutnya
Mouin Rabbani, peneliti non-residen di Pusat Studi Konflik dan Kemanusiaan, mengatakan Dataran Tinggi Golan yang diduduki adalah "pegunungan yang memungkinkan Israel mengancam seluruh wilayah Suriah", termasuk ibu kota Suriah, Damaskus.
"Perlu diingat bahwa setelah tahun 1967, Israel membangun pemukiman pertamanya bukan di Tepi Barat, tetapi di Dataran Tinggi Golan," kata Rabbani kepada Aljazirah. "Dan mereka mencaplok Dataran Tinggi Golan secara resmi pada tahun 1980, dan hal ini dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB. Terdapat perundingan diplomatik antara Israel dan Suriah pada tahun 1990-an, namun perundingan ini gagal karena pada akhirnya, Israel tidak siap menerima penarikan diri secara komprehensif sesuai dengan perjanjian sebelum Juni 1967."
Israel telah membangun instalasi intelijen besar-besaran di sana. Bersamaan dengan agresi di Gaza, Hizbullah melancarkan serangan terhadap fasilitas tersebut, sebagai bagian dari upayanya untuk mendukung warga Palestina yang diserang di wilayah pesisir tersebut.
“Saya pikir ada elemen lain di sini,” tambah Rabbani. “Seperti yang Anda ketahui, Mahkamah Internasional baru-baru ini memutuskan pemerintahan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, termasuk Yerusalem Timur, sebagai tindakan yang melanggar hukum dan ilegal serta menyatakan bahwa penjajahan tersebut harus segera diakhiri. Meskipun Dataran Tinggi Golan bukan bagian dari kasus tersebut, saya pikir keputusan yang dibuat oleh ICJ mengenai wilayah pendudukan Palestina juga berlaku jelas terhadap Dataran Tinggi Golan di Suriah.”
Juru bicara militer Israel Daniel Hagari mengutuk serangan udara di Majdal Shams, dengan mengatakan bahwa korbannya adalah warga negara Israel. Rabbani mengatakan pernyataan itu tidak benar. “Para korban bukan orang Israel, mereka adalah warga Suriah,” katanya. Ia menambahkan bahwa Dataran Tinggi Golan diduduki oleh Israel pada tahun 1967 namun penduduk Druze di sana tidak memiliki kewarganegaraan Israel.
Israel mengklaim bahwa serangan itu dilakukan oleh Hizbullah, namun kelompok tersebut membantahnya. “Israel selama berbulan-bulan telah mengancam akan melakukan serangan besar-besaran di Lebanon dan masyarakat Israel juga sangat yakin bahwa pemerintah harus menghadapi ancaman Hizbullah sebelum tahun ajaran baru dimulai pada bulan September,” kata Rabbani.
Analis tersebut menambahkan, “sangat masuk akal” bahwa serangan itu akan memicu eskalasi, yang mungkin membuat Netanyahu mendapat lampu hijau dari AS selama perjalanannya ke Washington, DC.