Reaksi PBNU soal Kerusuhan Anti Muslim di Inggris
Protes anti imigran dan anti Muslim yang berujung kerusuhan di Inggris.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Suaedy menanggapi adanya protes anti imigran dan anti Muslim yang berujung kerusuhan di beberapa kota di Inggris baru-baru ini. Menurut dia, kerusuhan tersebut terjadi karena masih adanya sentimen terhadap umat Islam dan imigran di Inggris.
"Jadi memang ada semacam apa ya, mungkin kebencian lah gitu atau keresahan masyarakat Eropa dan Inggris khususnya terhadap kehadiran Muslim dan lalu bercampur dengan sentimen imigran pada umumnya yang mengambil alih lapangan kerja orang asli sana," ujar Suaedy kepada Republika.co.id, Selasa (6/8/2024).
Menurut dia, keluarnya Inggris dari Uni Eropa itu juga dipicu oleh sentimen seperti itu. Bahkan, mereka tidak hanya sentimen terhadap muslim dan warga kulit hitam, tapi juga kulit putih yang datang dari Eropa Timur.
"Nah itu pemicu dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa," ucap dia.
Berdasarkan hasil survei, menurut dia, sentimen tersebut lebih banyak terjadi pada generasi tua. Sedangkan generasi muda di Inggris sebenarnya lebih siap untuk berkompetisi atau lebih bisa menerima kehadiran imigran dan muslim secara umum.
"Tapi memang perasaan tidak enak tidak nyaman dan boleh juga disebut kebencian itu sebenarnya relatif merata kalau kita lihat berbagai video-video yang menggambarkan bagaimana orang Islam perempuan yang pakai jilbab itu kadang-kadang dikasarin bahkan dibuka jilbabnya dengan paksa gitu," kata Suaedy.
"Jadi memang sedang ada keresahan di Eropa atau di barat pada umumnya di Inggris," jelas dia.
Sebenarnya, kata dia, pemerintah Inggris itu relatif lebih terbuka daripada masyarakatnya, terutama masyarakat konservatif yang generasi tua. Namun, menurut dia, apa yang terjadi di Inggris baru-baru ini menjadi puncak dari kegelisahan-kegelisahan dari penduduk pribumi.
"Jadi ini saya kira merupakan kelanjutan dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Jadi kebencian atau keresahan itu belum terlampiaskan dan belum mendapatkan jalan keluar dari keresahan itu," kata dia.
Diharapkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa agar warganya bisa lebih makmur dan lapangan kerja lebih terbuka. Namun, kata dia, semua itu tidak terjadi, sehingga pelampiasannya adalah ke masyarakat minoritas.
"Muslim itu kan minoritas di situ. Nah, jadi di satu sisi ini adalah tantangan bagi masyarakat Inggris dan Eropa untuk menata kembali kehadiran masyarakat imigran," jelas Suaedy.
Dia menambahkan, sebagian masyarakat Eropa dan Inggris itu sebenarnya sudah memberikan tempat kepada muslim. Menurut dia, sudah ada banyak masjid yang berdiri di berbagai kota dan muslim di Inggris sendiri sebenarnya sudah merupakan generasi kedua dan ketiga.
"Jadi itu sudah menjadi bagian dari bangsa Inggris, cuma secara kultural tidak seluruhnya menerima. Mereka kan dididik di keluarga muslim, dan kultur dari negaranya lalu dibawa ke situ. Jadi itu turun-temurun. Nah ini yang mungkin tidak terjadi tukar-menukar kebudayaan," kata Suaedy.
Seperti diketahui, kerusuhan disertai kekerasan terkait aksi anti-Islam dan antiimgran meluas di seantero Inggris dalam beberapa hari terakhir, dan memuncak pada Sabtu (3/8/2024) dan Ahad (4/8/2024) kemarin.
Dilaporkan New York Times, kekerasan tersebut dipicu oleh disinformasi online dan kelompok ekstremis sayap kanan yang bertujuan menciptakan kekacauan setelah penusukan yang menewaskan tiga anak perempuan oleh seorang remaja.
Tersangka, Axel Rudakubana (17 tahun), lahir di Inggris, namun beberapa jam setelah serangan tersebut, disinformasi mengenai identitasnya – termasuk klaim palsu bahwa ia adalah seorang migran tidak berdokumen – menyebar dengan cepat secara online. Aktivis sayap kanan lalu menggunakan aplikasi perpesanan termasuk Telegram dan X untuk mendesak masyarakat turun ke jalan.