Kerusuhan Inggris Picu Keresahan Mahasiswa Indonesia
Kerusuhan anti-Islam masih terus terjadi di Inggris hingga Senin malam.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Kerusuhan yang dipicu oleh ekstremis sayap kanan di Inggris telah menyebar ke banyak kota sejak insiden penusukan tiga anak perempuan di Southport, Merseyside, Senin (29/7) lalu. Di malam berikutnya (30/7), kerusuhan pecah dekat sebuah masjid di Southport dan mulai menyebar ke berbagai kota lain di Inggris.
Kerusuhan-kerusuhan yang masih berlanjut hingga Senin (5/8/2024) tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri pada warga negara Indonesia yang sedang belajar di sana. Koresponden khusus Republika Zainur Mahsir Ramadhan menuliskan kerisauan-kerisauan tersebut.
Bukannya meredam, kurang dalam sepekan Muslim di Inggris dibuat makin gamang. Mengapa bisa terjadi? Pelaku yang disebut masih bawah umur, tidak bisa diumumkan identitasnya menurut ketentuan negara. Spekulasi muncul, dan ekstremis sayap kanan menggembar-gemborkan jika pelaku adalah pencari suaka dan beragama Muslim. Konfirmasi jika tersangka bukan migran dan Muslim dari pihak berwajib tak dipedulikan. Kerusuhan kian meluas.
Kurang dalam sepekan, kerusuhan Southport digadang-gadang menjadi kerusuhan terburuk sejak satu dekade lalu, atau dikenal sebagai kerusuhan London. KBRI di London memang telah mengeluarkan anjuran untuk waspada kepada para WNI. Hal ini merujuk pada kondisi yang ada. Terlebih, di sosial media, ramai pula aksi-aksi susulan di kota-kota lain di Inggris, salah satunya targetnya London.
Mahasiswi Indonesia di London, Kamilah Aisyi, mengaku khawatir dengan kondisi yang ada. “Makin takut, parno kalau keluar,” kata dia, Senin waktu sekitar. Dalam beberapa hari terakhir, dia menjelaskan situasi terkesan lebih menakutkan dari biasanya meski dilaporkan belum ada kerusuhan di London. “Jadi lebih sensitif tiap ada apa-apa di luar. Lebih takut,” kata dia.
Dalam penuturannya, beberapa kawan mahasiswa WNI di London dan Inggris Raya juga telah membatalkan rencana perjalanan dengan pertimbangan kondisi terkini. Untuk memenuhi perkuliahan atau kebutuhan sehari-hari, Aisyi, sapaannya, memilih pergi bersama orang yang dikenal dan menghindari area tertentu.
Hal serupa dialami WNI lain di kota-kota yang lebih kecil. Di Norwich, Inggris, Firdaus Putra (33 tahun) mengatakan hal yang sama. Dirinya mengaku enggan melewati daerah atau jalan-jalan dengan penduduk yang mayoritasnya migran atau Muslim. “Kalau ke sana paling pas shalat Jumat aja nanti. Itu juga karena butuh ke masjid,” jelas Firdaus.
Meski kewaspadaan terus dia tingkatkan, kata Firdaus, Norwich memang masih relatif aman dan kondusif. Aral melintang, ekstremis sayap kanan yang menargetkan Muslim dia nilai mempersulit kondisi. “Tiap cek kehamilan istri, jadi lebih takut. Apalagi istri pakai hijab juga,” jelasnya.
Sementara pada Senin, petugas polisi di Devon dan Cornwall mengatakan “kekerasan berkelanjutan” telah terjadi menyusul protes di Plymouth. Tiga petugas terluka dalam bentrokan di kota tersebut.
Berbicara di tempat kejadian, Inspektur Ryan North Moore mengatakan kepada Sky News: “Ini bukan protes lagi. Menurut pendapat saya, ini adalah kekerasan. Ini adalah kekerasan yang berkelanjutan.
“Sejumlah besar batu dilemparkan ke arah kami, apakah itu ditujukan kepada kami atau orang lain atau kelompok lawan – kami belum tahu. Investigasi akan mengidentifikasi hal itu. “Tapi, ya, ada tiga petugas yang tumbang.”
Ketika ditanya betapa sulitnya mengawasi protes tersebut, Inspektur Moore menambahkan, hal itu kian tak masuk akal. “Dengan sumber daya yang kami miliki, hal ini sulit dilakukan.”