Kebakaran Hutan Kian Masif Akibat Perubahan Iklim

Frekuensi dan intensitas karhutla meningkat dua kali lipat.

AP Photo/Aggelos Barai
Pemadam berusaha memadamkan api saat terjadi kebakaran di Athena utara, Senin (12/8/2024).
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian mengungkapkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang semakin sering dan intensif pada tahun 2023 dan 2024 meningkatkan karbon dioksida yang naik ke atmosfer. Karhutla antara Maret 2023 sampai Februari 2024 menghasilkan 8,6 juta ton karbon dioksida atau 16 persen di atas rata-rata.

Baca Juga


Dikutip dari Daily Sabah, Kamis (15/8/2024) kesimpulan ini berdasarkan penelitian "State of Wildfire" yang diterbitkan di jurnal Earth System Science Data. Penelitian yang digelar University of East Anglia dan lembaga lain yang berbasis di Inggris ini bertujuan untuk memperbaharui data tahunan. Emisi yang dihasilkan karhutla di Kanada sembilan kali lebih besar dibandingkan rata-rata dua dekade terakhir. Karhutla itu berkontribusi pada hampir seperempat total emisi global.

Di Kanada saja, karhutla memaksa 230 ribu orang dievakuasi dan delapan pemadam kebakaran kehilangan nyawa mereka. Pada periode 2023 dan 2023 daerah lain seperti di Amazon di wilayah Brasil, Bolivia, Peru dan Venezuela serta Hawaii dan Yunani juga dilanda karhutla besar.

"Kebakaran tahun lalu menewaskan banyak orang, menghancurkan rumah-rumah dan infrastruktur, menyebabkan masyarakat dievakuasi, mengancam mata pencaharian dan merusak ekosistem penting," kata penulis utama penelitian ini Matthew Jones dari University of East Anglia.

"Kebakaran-kebakaran ini menjadi semakin sering dan intensif karena pemanasan iklim dan konsekuensinya menyebabkan masyarakat dan lingkungan menderita," tambahnya.

Para peneliti menyimpulkan perubahan iklim menciptakan kondisi kebakaran semakin mudah terjadi. Mereka menemukan pengaruh manusia pada kebakaran di Amazon meningkat. Bila manusia terus membuang banyak gas rumah kaca, maka kebakaran hutan kemungkinan akan semakin sering terjadi.

"Risikonya dapat diminimalkan, ini belum terlambat. Masa depan rendah karbon menawarkan banyak kelonggaran dari risiko yang kita hadapi di masa depan," kata Jones.

Berdasarkan penelitian yang dirilis di jurnal di Nature Ecology & Evolution bulan Juni lalu, selama dua dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia menghangatkan bumi, frekuensi dan intensitas kebakaran hutan ekstrem di seluruh dunia meningkat dua kali lipat. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler