'Tak Ada Lagi Tawaf Dalam Keadaan Telanjang'

Atas perintah Nabi SAW, Ali dan Abu Bakar umumkan diharamkannya tawaf telanjang.

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ILUSTRASI Umat Islam melakukan tawaf mengelilingi Kabah pada musim haji. Dahulu, orang Jahiliyah juga tawaf, tapi dalam keadaan telanjang.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada bulan Dzulqadah dan Dzulhijah tahun kesembilan Hijriyah, Nabi Muhammad SAW mengutus Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pemimpin haji (amirul hajj) bagi seluruh kaum Muslimin. Kemudian, turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW, yakni permulaan surah Bara'ah atau at-Taubah. Isinya mengenai pembatalan perjanjian damai dengan kaum musyrikin atau mengabaikannya sekaligus.

Baca Juga


Maka, Nabi SAW mengirim Ali bin Abi Thalib untuk menyusul rombongan Abu Bakar demi menyampaikan ihwal surah tersebut. Kemudian, sampailah menantu Nabi SAW itu di tempat Abu Bakar berada, yakni al-Araj atau Dhajnan.

"Engkau sebagai amir (pemimpin) atau pengikut?" tanya Abu Bakar, menjajaki kemungkinan bahwa Rasul SAW telah menunjuk Ali sebagai pengganti amirul hajj.

"Hanya sebagai pengikut," jawab Ali.

Syekh Shafiyyurrahman al Mubarakfuri dalam bukunya, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: Muhammad SAW menuturkan kelanjutan peristiwa ini. Setelah itu, keduanya tetap dalam tugas masing-masing. Abu Bakar pun masih sebagai amirul hajj Muslimin.

Ketika tanggal 10 Dzulhijah tiba, Ali berdiri di dekat jamarat. Kemudian, ia mengumumkan kepada khalayak tentang apa-apa yang diperintahkan Nabi SAW.

Pertama, pelepasan diri Rasulullah SAW dan umat Islam dari orang-orang musyrik usai Perang Tabuk. Kemudian, menangguhkan bagi kaum musyrikin selama empat bulan. Demikian pula, menangguhkan kepada siapa saja yang tidak memiliki perjanjian dengan Muslimin.

Adapun bagi mereka yang tidak melecehkan kaum Muslimin dengan sesuatu pun dan tidak membantu seseorang pun untuk melawan syiar Islam, maka perjanjian diteruskan hingga batas masa akhirnya.

Abu Bakar juga mengutus beberapa orang untuk memberitakan kepada khalayak bahwa tidak diperkenankan lagi bagi seorang musyrik pun berhaji mulai pada tahun itu. Dan, tidak lagi diperkenankan melakukan tawaf dalam keadaan telanjang.

Pengumuman tersebut merupakan genderang berakhirnya kemusyrikan atau paganisme di Jazirah Arab, terlebih lagi Tanah Suci.

Untuk diketahui, pada masa Jahiliyah banyak orang Arab memuja berhala. Tempat suci mereka tetap seperti leluhurnya, Nabi Ibrahim AS, yakni Ka'bah. Namun, Baitullah itu tak lagi suci karena menjadi pusat pemujaan berhala-berhala. Dinding Ka'bah dipenuhi aneka gambar makhluk bernyawa dan ukiran-ukiran yang mengilustrasikan malaikat.

Pada masa Jahiliyah itu pula, musim ziarah ke Baitullah tetap berlangsung tiap tahun. Orang-orang dari berbagai wilayah dalam dan luar kawasan Arabia datang mengunjungi Ka'bah.

Suku Quraisy selaku tuan rumah bertugas melayani para peziarah. Namun, alih-alih mengikuti syariat Ibrahim AS, mereka malah melangsungkan ritual-ritual pagan di sekitar Ka'bah.

Berbeda dengan ibadah haji hari ini, orang 'Arab Pagan' pada saat itu tidak berjalan di antara perbukitan Safa dan Marwah dan tidak pula berkumpul di Padang Arafah. Beberapa kelompok di antara mereka hanya menyepi selama seluruh proses ziarah berlangsung.

Bahkan, banyak peziarah yang mengelilingi Ka'bah sambil telanjang atau hanya mengenakan kain yang menutup kemaluan mereka (serta dua payudara bagi perempuan). Sementara, elite Quraisy selaku tuan rumah hanya membiarkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler