Kisah Cinta Rasulullah dan Khadijah

Nabi Muhammad SAW dan Khadijah menjadi pasangan suami-istri nan berbahagia.

Republika/Mardiah
Ilustrasi Rasulullah SAW.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu saat, Khadijah binti Khuwailid mendengar kabar seorang laki-laki yang terkenal paling tepercaya dan jujur di seantero Makkah. Pria itu bahkan mendapatkan julukan al-Amin dari publik. Ia tidak lain adalah Muhammad SAW. Tingginya rasa hormat orang-orang terhadap pria ini membuat janda ini tertarik.

Baca Juga


Melalui utusannya, Khadijah menawarkan pekerjaan kepada Muhammad . Dalam perjanjian kerja, Muhammad diharuskan membawa muatan dagang yang dimiliki perusahaan Khadijah ke Syam.

Di antara semua rekan kerja Khadijah, Muhammad-lah yang mendapatkan muatan paling banyak dalam kafilah dagang ini. Khadijah juga mengutus Maysaroh mengikuti perjalanan ke Syam.

Syam bukanlah negeri yang begitu asing bagi Muhammad. Sebab, sejak kecil ia sudah diajak pamannya, Abu Thalib, menyertai misi dagang ke sana.

Karena itu, Rasulullah dapat melaksanakan perniagaan muatan milik perusahaan Khadijah dengan baik, cermat, dan menghasilkan keuntungan yang tak sedikit. Apalagi, nama Muhammad sudah terkenal sebagai sosok yang tepercaya. Banyak pedagang Syam yang senang berbisnis dengan Rasul.

Ketika di Syam, ia menjual seluruh barang dagangan yang dibawa dari Makkah hingga seluruhnya laku. Sebagian hasil penjualan ini dialokasikan untuk membeli barang-barang dari Syam agar bisa dijual nanti sesampainya di Makkah. Dengan demikian, profit yang diperoleh Muhammad dan tentunya Khadijah berlipat ganda.

Sementara itu, Maysaroh terus mencatat bagaimana perkembangan bisnis tuannya itu. Tidak lupa, budak milik Khadijah ini juga menuliskan betapa karakteristik Rasulullah sebagai pedagang yang jujur telah ikut menyukseskan misi dagang Khadijah ke Syam. Sesampainya di Makkah, kesaksian Maysaroh itu semakin membuat Khadijah kagum terhadap kepribadian Rasul.

Di sisi lain, sebenarnya Rasulullah sendiri juga menyimpan kekaguman terhadap Khadijah. Dalam diri Khadijah, ada sifat perempuan tangguh yang mampu menjalankan bisnis dengan sukses. Tidak berbeda halnya dengan kaum pria pada masa itu.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi mengenang kata-kata pamannya, Abu Thalib, mengenai Khadijah binti Khuwailid,

"Aku (Abu Thalib) tidak memiliki harta yang banyak, sedangkan kebutuhan zaman semakin hari kian mendesak. Umur telah kita lalui dengan sia-sia tanpa ada harta dan perniagaan. Lihatlah Khadijah," kata Abu Thalib.

"Ia mampu mengutus beberapa orang untuk menjalankan perniagaannya. Sehingga, mereka mendapatkan hasil (keuntungan) dari barang yang dijual. Andaikan engkau (MuhammadRed) datang kepadanya (untuk menjalankan niaga Khadijah), maka dengan keutamaanmu dibandingkan dengan yang lainnya, tentu tidak akan ada yang menyaingimu," sambung sang paman Nabi.

Bagaimanapun, kesaksian Maysaroh mengenai sosok Muhammad memengaruhinya. Kini, Khadijah jatuh hati terhadap pria berjuluk al-Amin tersebut. Akhirnya, Khadijah mengutus Maysaroh kepada Muhammad menyampaikan pesan khusus, yakni lamaran dari Khadijah kepadanya.

Muhammad menceritakan perihal lamaran ini kepada para pamannya. Tidak lama kemudian, Hamzah bin Abdul Muthalib mendampingi Muhammad untuk datang kepada ayahanda Khadijah, Khuwailid bin Asad. Muhammad bermaksud meminang Khadijah menjadi istri.

Lamaran pun diterima. Muhammad memberikan mas kawin berupa 20 ekor unta muda, yang merupakan jenis terbaik di seluruh Jazirah Arab. Saat pernikahan ini terjadi, Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah binti Khuwailid 40 tahun.

Pasangan berbahagia tersebut kemudian dikaruniai enam orang anak, yakni Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Adapun Qasim meninggal dunia dalam usia dua tahun. Abdullah pun dipanggil ke haribaan-Nya ketika masih kanak-kanak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler