Waspadai Gig Economy, Biang Kerok Turunnya Kasta Kelas Menengah

Nihilnya lowongan pekerjaan formal memaksa masyarakat terperangkap dalam ekonomi gig.

Republika/M Fauzi Ridwan
Pengemudi ojek online (ojol) dan taksi online melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (25/6/2024). Mereka menolak kebijakan tarif murah dan meminta agar pemerintah mendorong perusahaan aplikasi menaikkan tarif bagi ojol.
Rep: Eva Rianti Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Muhammad Yorga Permana mengungkapkan fenomena gig economy atau ekonomi gig dalam membahas tentang masalah penurunan kelas menengah yang belakangan menghangat. Yorga mengidentifikasi kondisi menurunnya kelas menengah sudah terjadi beberapa tahun sebelum pandemi, seiring dengan terjadinya ekonomi gig.

Baca Juga


Yorga mengatakan, ia mendalami persoalan gig economy di Indonesia dengan para driver ojol sebagai objek penelitiannya. Berdasarkan hasil penelitiannya, ia merefleksikan, banyaknya pekerja di ekonomi gig di Indonesia ditopang oleh driver ojol, sejalan dengan ketiadaan pekerjaan yang layak di sektor formal. Hal itu diindikasi berkaitan dengan turunnya kelas menengah pada saat ini.

“Saya sepakat bahwa Covid-19 memang merupakan pendorong (turunnya kelas menengah), tapi sejak beberapa tahun sebelumnya saya mengindikasikan dari 2014 ada tanda-tanda ke arah menurunnya kelas menengah dan krisis kerja layak di Indonesia,” kata Yorga dalam diskusi Indef bertajuk ‘Kelas Menengah Turun Kelas’ yang digelar secara daring, Senin (9/9/2024).

Berdasarkan analisis dalam penelitian yang dilakukannya, nihilnya lowongan pekerjaan formal memaksa masyarakat pada akhirnya memilih menjadi diantaranya sebagai driver ojol. Dengan kata lain terperangkap di ekonomi gig.

“Para driver ojol sebenarnya ingin kerja di sektor formal, tapi enggak bisa. 60 persen dari mereka ingin bekerja sebagai pegawai atau buruh, tapi mereka tetap bekerja di gig karena tidak ada pilihan lain,” ungkapnya.

Yorga menerangkan bahwa kondisi itu menjadi sebuah ancaman. Sebab para pekerja di ekonomi gig berada dalam kondisi rentan, dengan tidak adanya upah bulanan dan tidak ada stabilitas pendapat.

“Sehingga mereka masuk kelompok rentan, dan maksimal di aspiring middle class (kelompok menuju kelas menengah),” kata dia. Artinya, mereka sulit untuk bisa mencapai kasta sebagai kelas menengah.

Lebih lanjut, Yorga menjelaskan, ekonomi gig adalah fenomena urban. Sebanyak 25 persen pekerja ojol dan kurir di Indonesia terkonsentrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), dimana 40 persen ada di Pulau Jawa.

“Bahkan jika nge-zoom, karena fokus studi saya di Jakarta selama 10 tahun terakhir sebelum pandemi, pekerjaan baru di DKI ditopang driver ojol. Secara agregat tidak ada pekerjaan baru di sektor formal, tapi peningkatan pekerjaan di sektor transportasi logistik, self employment yang menggunakan internet jadi proksi pekerja di transportasi itu meningkat pesat,” terangnya.

Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Krisis Lapangan Kerja Layak....(baca di halaman selanjutnya)

 

Krisis Lapangan Kerja Layak

Yorga menyebut, salah satu kesimpulannya adalah tidak bisa hanya melihat skema kemitraan yang tidak adil, eksploitasi besar-besaran di ekonomi gig tanpa melihat gambar yang lebih jauh bahwa di Indonesia terjadi krisis kerja layak.

Kondisi yang dinamakan krisis kerja layak tersebut, lanjut Yorga, membuat banyak orang lari menjadi driver ojol. Tidak ada pilihan.

“Dikaitkan dengan middle class (kelas menengah), saya percaya bahwa middle class yang bertumbuh tidak bisa exist tanpa ada akses pekerjaan yang baik dan stabil,” ungkapnya.

Yorga melanjutkan, menurut pandangannya, sektor formal memang mengalami stagnansi, terutama pascapandemi banyak orang yang beralih ke sektor informal.

“Akhirnya PR bagi pemerintahan adalah menciptakan kerja yang layak,” tegasnya.

Kerja yang layak yang penting, setidaknya dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, secara individu kerja yang layak menjadikan orang keluar dari kemiskinan, melakukan mobilitas sosial, dan naik kelas ke kelas menengah. Mereka tidak bisa selamanya mengandalkan bantuan sosial (bansos), misalnya.

Kedua, secara sosial, ada eksternalitas positif. Dengan adanya kerja yang layak, populisme dan kriminalitas akan bisa terkendali. Ketiga, secara agregat, bahwa kerja yang layak menjadi kunci naik kelasnya Indonesia menjadi negara maju.

“Tentu kalau kita bicara Indonesia naik kelas, Indonesia Emas, pertumbuhan 6—7 persen, kuncinya adalah banyak orang bekerja produktif dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler