CfDS dan Fisipol UGM Bahas Tantangan Demokrasi di Era Digital

Transformasi digital dinilai membuka peluang baru memperluas partisipasi publik.

dokpri
Center for Digital Society (CfDS) bekerja sama dengan Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada menggelar diskusi publik bertajuk "Darurat Demokrasi: Ketika Batas Etika Publik Dilanggar" yang diadakan di BRI Work Fisipol UGM (6/9/2024).
Rep: Fiona Arinda Dewi/Wuni Khoiriyah Azka Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID YOGYAKARTA --  Untuk menyikapi perkembangan isu darurat demokrasi di Indonesia, Center for Digital Society (CfDS) bekerja sama dengan Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada menggelar diskusi publik bertajuk "Darurat Demokrasi: Ketika Batas Etika Publik Dilanggar" di BRI Work Fisipol UGM (6/9/2024).


Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber, termasuk Dosen PSdK UGM Dian Fatmawati, Peneliti CfDS UGM Perdana Karim, BEM KM UGM Pratiwi Yudha Miranti, dan Arie Ruhyanto sebagai moderator.

Fokus utama diskusi adalah bagaimana teknologi digital memengaruhi partisipasi politik, serta tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia di tengah era digital.

Perdana memulai diskusi dengan memaparkan temuan riset yang menunjukkan bahwa isu-isu personal, seperti gaya hidup mewah tokoh publik, dapat menarik perhatian publik dan memicu keterlibatan mereka dalam isu-isu demokrasi.

"Ketika norma dan moral dilanggar oleh tokoh publik, masyarakat merasa terluka, sehingga partisipasi dalam isu kelembagaan seperti darurat demokrasi meningkat secara signifikan," ujar Perdana.

Lebih lanjut, Perdana menekankan peran media sosial sebagai alat yang efektif dalam membentuk narasi publik. Fitur-fitur media sosial, termasuk algoritma yang memperkuat keterlibatan pengguna, menciptakan efek bola salju yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar. Namun, di balik itu semua, ada potensi manipulasi informasi yang harus diwaspadai.

Dian menanggapi temuan riset ini dengan menyoroti bagaimana sinisme publik terhadap pemerintah turut mendorong demonstrasi besar-besaran. Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, dan ketidakadilan hukum menjadi isu-isu yang memicu ketidakpuasan masyarakat, yang pada akhirnya berubah menjadi aksi massa dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih adil.

"Kekecewaan mendalam masyarakat adalah akar dari kemarahan kolektif yang kita lihat hari ini," jelas Dian.

Sementara itu, Pratiwi menambahkan bahwa mahasiswa memiliki peran penting sebagai penggerak perubahan. Dengan akses luas terhadap teknologi dan informasi, mahasiswa dapat menjadi katalisator dalam memperjuangkan demokrasi, sekaligus melawan penyebaran informasi palsu.

Menurutnya, partisipasi mahasiswa sangat dibutuhkan dalam menciptakan ruang diskusi yang inklusif dan dinamis di era digital ini.

Transformasi digital, menurut para narasumber, membuka peluang baru untuk memperluas partisipasi publik dalam isu-isu politik. Namun, pada saat yang sama, tantangan baru juga muncul, di mana derasnya arus informasi dapat menjerumuskan masyarakat dalam disinformasi.

Dian menekankan pentingnya sikap kritis terhadap informasi yang tersebar di internet sebagai kunci untuk mengawal masa depan demokrasi.

Pada akhir sesi diskusi, Dian menegaskan kembali bahwa masyarakat harus lebih selektif dalam menyaring informasi yang diterima, terutama di media sosial.

"Sikap kritis dan tanggung jawab dalam menerima informasi adalah hal yang sangat penting dalam menghadapi tantangan demokrasi digital saat ini," kata Dian.

Para peserta dan narasumber menyepakati pentingnya peran aktif masyarakat dalam menjaga etika publik dan demokrasi yang sehat. Hasil diskusi ini diharapkan mampu memperkuat langkah-langkah strategis untuk masa depan demokrasi Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler