Gempa Megathrust Berpotensi Sambangi Jakarta, Ini yang Dilakukan Nabi Saat Bumi Berguncang
Tahun kelima dari hijrahnya Rasulullah disebut sebagai tahun gempa.
REPUBLIKA.CO.ID, Gempa Megathrust digadang-gadang berpotensi ‘mampir’ di Indonesia, tidak terkecuali di Jakarta. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan, perlu adanya mitigasi gempa untuk di Jakarta. "Ini perlu kita sikapi bagaimana kita menyiapkan mitigasinya, investasi mitigasi yang harus disiapkan, bukan menunggu korban," kata Penanggung Jawab Tim Diseminasi Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Septa Anggraini, Selasa (10/9/2024).
Septa memaparkan, potensi ancaman bagi Jakarta berdasarkan skenario model gempa Megathrust bersumber di zona subduksi Selat Sunda dengan potensi kekuatan Magnitudo (Mw) 8,7 memiliki dampak guncangan kuat di Banten, Lampung, Jakarta, dan Jawa Barat. Gempa tersebut mencapai skala intensitas kuat hingga sangat kuat dan menimbulkan kerusakan ringan hingga sedang.
"Hasil pemodelan tsunami akibat gempa Mw8,7 di zona megathrust Selat Sunda menunjukkan bahwa tsunami dengan tinggi di atas tiga meter dapat terjadi dan dapat menjangkau pantai Jakarta sekitar dua jam setelah gempa," kata Septa.
Septa menjelaskan, wilayah Jakarta secara fisiografi didominasi oleh kondisi dataran rendah dengan struktur tanah lunak. Jarak antara Kota Jakarta dan zona subduksi lempeng di selatan Jawa Barat sekitar 300 kilometer."Di Jakarta, semakin ke utara tanahnya semakin lunak dan makin tebal. Jika terjadi gempa di zona megathrust Mw8,7 maka sebagian besar wilayah Jakarta memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap gempa," kata Septa.
Ancaman gempa besar yang melanda bumi pernah dirasakan jauh sebelumnya. Pada zaman kenabian, gempa besar kerap mengguncang.
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, Al-Da'a wa al-Dawa'a, mengutip sebuah hadis mursal yang diriwayatkan Ibn Abi al-Dunya. Terjemahan hadis itu berbunyi, “Bumi pernah berguncang pada masa Rasulullah SAW. Beliau meletakkan tangannya di atas bumi dan bersabda, ‘Tenanglah! Belum tiba saatnya bagimu.’ Kemudian, beliau menoleh kepada para sahabat seraya memberi tahu, ‘Allah ingin agar kalian melakukan sesuatu yang membuat-Nya ridha. Karena itu, buatlah agar Dia ridha kepada kalian!’”
Tahun gempa..
Seperti dijelaskan al-Biruni, tahun kelima dari hijrahnya Rasulullah SAW disebut sebagai “Tahun Gempa". Masyarakat Arab tradisional menamakan—tidak sekadar mengurutkan—tahun kesatu, tahun kedua, dan seterusnya dalam sistem penanggalan. Biasanya, mereka menamakan suatu tahun dengan merujuk pada sebuah peristiwa historis yang terjadi di dalamnya.
Misalnya, tahun kelahiran Nabi SAW disebut sebagai “Tahun Gajah” karena pada saat itu Ka’bah menjadi target serangan pasukan bergajah yang berarak dari Yaman. Tahun ke-10 sejak hijrahnya Nabi SAW dari Makkah ke Madinah dinamakan sebagai “Tahun Perpisahan". Sebab, di dalamnya terjadi haji terakhir (haji wada’) Rasulullah SAW.
Bertahun-tahun sesudah "Tahun Gempa", guncangan kembali melanda Madinah. Saat itu, Umar bin Khattab merupakan pemimpin atau khalifah. Kepada masyarakat setempat, sang amirul mukminin berseru, “Wahai semua! Gempa ini tidak terjadi kecuali karena perbuatan kalian! Demi Zat Yang menggenggam jiwaku, jikalau ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal di sini bersama kalian.”
Umar bin Khattab pada saat itu pun secara spontan mengenang kejadian serupa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW di Madinah. Sang khalifah merasa bahwa Allah SWT sedang mengingatkan kaum Muslimin sepeninggalan Nabi SAW dan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Maka dari itu, tidak ada yang terucap di lisannya selain peringatan kepada sekalian umat Islam agar segera meninggalkan kebiasaan buruk dan bertobat dengan sungguh-sungguh demi keridhaan Sang Pencipta.
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, Al-Jawab al-Kafy, berkomentar, “Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi, mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian'.”
Gempa bumi juga menggoyang wilayah kaum Muslimin generasi berikutnya. Pada saat itu, Umar bin Abdul Aziz tampil selaku khalifah dari Dinasti Umayyah. Dia mengambil kebijakan yang sejalan dengan apa yang telah dilakukan kakek buyutnya, Umar bin Khaththab. Diserukannya kepada penduduk agar sama-sama bermunajat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya.
Selanjutnya, pemimpin yang terkenal akan sifat zuhudnya itu mengirimkan surat kepada seluruh wali negeri. Isinya mengingatkan para bawahannya itu, “Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini merupakan teguran dari Allah kepada seluruh hamba-Nya. Saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
Ensiklopedia Medieval Islamic Civilization menyebutkan bahwa komunitas Muslim sudah sejak awal memiliki kewaspadaan terhadap bencana alam. Beberapa wilayah Muslim juga pernah dilanda gempa bumi skala besar.
Dampak yang dideritanya cenderung sama dengan negeri-negeri lain yang sempat mengalaminya. Hanya saja, dalam konteks abad pertengahan, bencana demikian ikut memperlemah struktur sosial dan politik umat Islam.
Sebagai contoh, Suriah yang dilanda banyak gempa sepanjang akhir abad ke-11—yakni pada tahun-tahun 1050, 1063, 1068, 1069, 1086, dan 1091 Masehi. Penduduk setempat banyak yang menjadi korban tewas. Banyak bangunan dan rumah-rumah warga yang hancur atau bahkan rata dengan tanah.
Aktivitas ekonomi dan keamanan pun mengalami kekacauan dalam rentang waktu yang cukup lama. Akhirnya, pada awal abad ke-12 M, pasukan Salib dapat dengan relatif mudah menjebol pertahanan Suriah dan menaklukkannya.