Lima Penggugat Kepengurusan DPP PDIP Mengaku Dicatut Pengacara dan Dibayar Rp300 Ribu

Lima kader PDIP itu meminta maaf ke Megawati dan akan mencabut gugatannya di PTUN.

Republika/Thoudy Badai
Kader PDI Perjuangan menyaksikan video kisah Presiden RI pertama Soekarno saat pengumuman bakal calon kepala daerah untuk Pilkada 2024 di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Senin (26/8/2024). PDIP mengumumkan 60 calon kepala daerah yang terdiri dari enam bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur, 38 bakal calon bupati dan bakal calon wakil bupati, serta 16 bakal calon wali kota dan bakal calon wakil wali kota untuk ikut dalam Pilkada serentak.
Rep: Bambang Noroyono Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lima kader PDI Perjuangan yang namanya dicatut sebagai pihak penggugat kepengurusan Ketua Umum Megawati Sukarnoputri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, meminta maaf. Kelimanya, pun berjanji akan mencabut gugatan tersebut.

Baca Juga


Lima kader asal Jakarta Barat (Jakbar) itu, Jairi, Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari mengaku ditipu oleh seorang pengacara, dengan imbalan Rp 300 ribu agar menandatangani kertas kosong yang digunakan sebagai pemberian kuasa untuk menggugat. Jairi, salah-satu dari lima kader tersebut pada Rabu (11/9/2024) menyampaikan, sudah memohon maaf terbuka kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri.

“Saya mewakili teman-teman saya, maminta maaf kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Hajjah Megawati Sukarnoputri, beserta seluruh keluarga besar PDI P seluruh Indonesia,” kata Jairi dalam siaran pers PDI Perjuangan yang diterima wartawan, Rabu (11/9/2024) malam.

Permohonan maaf tersebut, Jairi sampaikan dalam konfrensi pers di Cengkareng, Jakbar. Hadir pula dalam permintaan maaf terbuka tersebut, Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari yang disebut-sebut sebagai kader yang melayangkan gugatan.
 
Jairi menerangkan, bersama empat rekannya sesama kader, tak mengetahui perihal gugatan tersebut. Karena diceritakan dia, bersama-sama rekannya itu, pun juga merupakan korban dari penipuan dan penjebakan. 
 
Jairi menceritakan awal-mula penjebakan, dan penipuan tersebut pada saat bertemu dengan seorang pengacara. “Saya bersama empat teman saya (Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari) bertemu dengan Anggiat BM Manalu (pengacara) di sebuah posko tim pemenangan,” kata Jairi.
 
Dari pertemuan tersebut, kata Jairi, pengacara tersebut membahas, dan meminta dukugan perihal penegakan demokrasi. Jairi, bersama empat temannya itu, mengaku sepakat tentang penegakan demokrasi. Pun Jairi, bersama-sama empat rekannya itu, setuju untuk mendukung demokrasi yang dibahas itu.
 
“Karena sepakat dengan demokrasi, kami bersedia memberikan dukungan. Ketika memberikan dukungan, diberikan kertas putih kosong untuk tanda tangan. Dan kertas putih kosong (yang ditandatangani) tersebut, belakangan dijadikan sebagai surat kuasa gugatan untuk menggugat SKK DPP PDI P,” kata Jairi.
 
Setelah memberikan tanda tangan di kertas putih kosong tersebut, si pengacara itu, kata Jairi, memberikan uang ratusan ribu. “Setelah itu kami diberikan imbalan Rp 300 ribu,” begitu kata Jairi.
 
 
 
Anomali Teori Efek Ekor Jas PDIP di Bali - (Infografis Republika)

 

Menurut Jairi, saat bertemu dengan pengacara itu, memang tak dibahas apapun selain demokrasi. Bahkan, kata dia, tak ada pembicaraan apapun mengenai partai politik (parpol).
 
Tidak ada pula pembahasan gugat-menggugat, apalagi terhadap PDI Perjuangan. Sebab itu, kata Jairi, atas pernyataan maaf kelima kader tersebut, juga akan memastikan mencabut kuasa terhadap pengacara tersebut. Pun juga akan mencabut gugatan di PTUN Jakarta itu.
 
“Makanya malam ini juga, kita buat surat pencabutan gugatan yang mengatasnamakan kami. Dan kami tidak memberikan kasa kepada siapapun termasuk ke Anggiat BM Manalu. Kami tidak pernah memberikan kuasa. Makanya kami akan cabut tuntutan tersebut. Kami tidak menuntut atau menggugat SK DPP PDIP. Kami dalam posisi dijebak,” kata Jairi.
 
“Dan sekali lagi, kami meminta maaf kepada ketua umum kami, Ibu Hajjah Megawati Sukarnoputri, beserta seluruh keuarga besar PDIP,” kata Jairi menambahkan.
 
Sebelumnya, sejumlah orang yang mengatasnamakan kader PDI Perjuangan melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta, pada Selasa (10/9/2024). Para kader Banteng Moncong Putih itu menggugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mengesahkan kepengurusan DPP PDI Perjuangan 2019-2024. Dalam gugatannya, para penggugat itu mempersoalkan keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri yang memperpanjang masa kepemimpinannya sampai 2025 mendatang.
 
Menurut para penggugat, perpanjangan masa kepemimpinan Megawati Sukarnoputri tersebut, bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan. Karena mengacu dasar hukum dan aturan internal tersebut, masa kepemimpinan ketua umum hanya selama lima tahun dari 2019 sampai 2024. Dan perpanjangan kepemimpinan Megawati sampai 2025 tersebut, dinilai tak sah karena dilakukan tanpa melalui kongres partai. 

Sebelumnya, Juru Bicara PDIP Cyril Raoul Hakim menilai, gugatan pihak yang mengatasnamakan kader Banteng Moncong Putih tersebut bukan bermaksud untuk mencari keadilan hukum. Namun kata dia, adalah bagian dari skenario untuk memperlemah partai yang dipimpin oleh Ketua Umum Megawati Sukarnoputri itu.

“Kami meyakini bahwa gugatan itu, syarat muatan politis. Ada sosok-sosok di balik ini semua (gugatan) yang bukan hanya ingin mengganggu PDI Perjuangan, tetapi ingin melemahkan PDI Perjuangan,” kata Chico saat dihubungi, Rabu (11/9/2024).

Menurut Chico, sebelum gugatan tersebut bergulir ke pengadilan, agar pihak-pihak yang dikatakan dia bermain-main dengan api terhadap PDI Perjuangan, menyudahi aksi-aksinya. Dia memastikan, PDI Perjuangan akan melawan pihak manapun yang mencoba-coba mengganggu.

“Kami siap untuk menghadapi siapapun pihak-pihak yang mengganggu kedaulatan, dan yang coba-coba melemahkan kedaulatan partai kami,” kata  Chico.

Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Hanteru Sitorus menegaskan, gugatan sekelompok orang yang mengatasnamakan kader Banteng Moncong Putih itu ngawur. Namun dikatakan dia, aksi ngawur para penggugat tersebut, bakal berujung pada risiko pembatalan Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden terpilih dari hasil Pilpres 2024.

“Logika yang mereka (penggugat) pakai ini, menurut saya salah alamat, salah kaprah. Karena apa, karena kalau ini (gugatan) mau dipakai, maka Gibran itu, tidak akan mungkin menjadi wakil presiden (terpilih),” kata Deddy, dalam siaran pers yang diterima Rabu (11/9/2024).

Deddy menerangkan, gugatan yang dilayangkan ke PTUN Jakarta tersebut, terkait dengan keabsahan perpanjangan kepengurusan, dan penambahan personel PDI Perjuangan 2019-2024. Dan dalam perpanjangan tersebut, masih mendaulat Megawati Sukarnoputri sebagai ketua umum sampai 2025 mendatang. Kata Deddy, perpanjangan dan penambahan personel DPP PDI Perjuangan itu, sah, pun sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan.

MenurutDeddy, jika penggugat dalam gugatannya menghendaki agar PTUN menyatakan kepengurusan DPP PDIP 2019 tak sah, maka konsekuensinya adalah semua keputusan ketua umum juga menjadi tak sah. Dan hal tersebut, berimplikasi pada keputusan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Sukarnoputri yang menandatangani pemberian rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka sebagai calon walikota (cawalkot) pada Pilkada Solo, Jawa Tengah (Jateng) 2020 lalu.

Dari kontestasi pilwalkot tersebut, Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu berhasil terpilih. Sementara, modal dari pernah menjabat sebagai kepala daerah itu, membawa Gibran sebagai kontestan calon wakil presiden (cawapres) mendampingi capres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 lalu. Lalu, dari pilpres tersebut, Prabowo-Gibran berhasil terpilih. Selanjutnya, kata Deddy, jika dirunut perjalanan politik tersebut, dengan konsekuensi gugatan terhadap PDI Perjuangan, maka nasib politik Gibran juga terancam.

“Jadi kalau ini (kepengurusan PDI Perjuangan) mau dibatalkan, berarti yang dilakukan itu pada tahun 2019 juga salah dong. Kalau salah, maka penunjukan Gibran sebagai wali kota Solo pada 2020 itu, cacat hukum. Kalau itu cacat hukum, maka dia tidak layak menjadi wakil presiden,” kata Deddy.

“Karena apa? Karena syarat untuk menjadi calon wakil presiden itu, dia harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh MK (Mahkamah Konstitusi), yaitu pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah,” terang Deddy.

Efek panjang tersebut, kata Deddy, yang tak dipikirkan oleh para penggugat keabsahan DPP PDIP tersebut. “Jadi ini implikasinya panjang. Mereka (penggugat) tidak memikirkan itu,” ujar Deddy.

Namun begitu, kata dia, kepengurusan PDIP tetap akan meladeni apa pun aksi-aksi yang dilakukan para penggugat tersebut. Sebab menurut dia, gugatan tersebut, hanyalah bagian dari skenario untuk melemahkan PDI Perjuangan.

“Tetapi jangan takut. Kami tidak takut. Ini (gugatan) hanya langkah-langkah politik di ujung masa pemerintahan untuk mendapatkan kredit, atau memang cuma sekadar untuk merongrong PDI Perjuangan.”

Komik Si Calus : Dinasti - (Daan Yahya/Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler