Kisah Istri Terakhir Rasulullah
Maimunah menyatakan langsung kepada Rasulullah, dirinya ingin dinikahi oleh beliau.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama lengkapnya adalah Maimunah binti al-Harits. Perempuan yang tergolong ningrat ini adalah adik Ummu Fadl, istri Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad SAW). Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Rasulullah SAW) dan Asma binti Umais (istri Ja'far bin Abu Thalib).
Sejarah mencatat Maimunah binti al-Harits sebagai seorang ummul mukminin. Dialah istri terakhir Nabi Muhammad SAW.
Ada yang cukup unik dari pernikahan Rasulullah SAW dengan Maimunah. Sebab, perempuan itu menawarkan dirinya sendiri kepada beliau untuk dinikahi.
Peristiwa itu lantas menjadi sebab turunnya (asbabun nuzul) Alquran surah al-Ahzab ayat ke-50. Artinya, "... dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin."
Sebelum menjadi ummul mukminin, Maimunah binti al-Harits sudah pernah menjalani biduk rumah tangga. Abu Rahm bin Abdul Uzza, seorang lelaki yang meninggal dalam keadaan musyrik, pernah menjadi suaminya. Maka, wanita ini merasakan jadi janda dalam usia 26 tahun.
Selanjutnya, ia menikah dengan Mas'ud bin Amr ats-Tsaqafi. Walaupun sang suami adalah musyrik, Maimunah sejatinya sudah tertarik dengan Islam sejak Rasulullah SAW mengumumkan kenabian di Makkah.
Ia terpengaruh dengan keislaman kakaknya, Ummu Fadl. Namun, saat itu dirinya masih menyembunyikan ketertarikannya pada Islam. Karena itu, saat menyaksikan kaum Muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, Maimunah hanya bisa bersedih hati.
Usai kemenangan pasukan Muslimin dalam Perang Khaibar, orang-orang kafir Quraisy kian risau. Bagi Maimunah sendiri, kondisi itu turut berpengaruh pada rumah tangganya.
Tak lama setelah Perang Khaibar, Mas'ud bin Amr menceraikannya. Kemudian, Maimunah lebih memilih tinggal di rumah Ibnu Abbas dengan keyakinan akan kebenaran Islam yang masih disembunyikannya.
Sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin dari Madinah akhirnya dapat berhaji di Baitullah tanpa gangguan orang-orang musyrikin Makkah. Kedatangan mereka menjadi pemandangan yang sangat menggetarkan hati.
Kaum kafir berbondong-bondong lari ke bukit-bukit sekitar Makkah. Para musuh Islam ini tak kuat menyaksikan umat Rasulullah SAW yang datang dengan mengumandangkan tahlil dan takbir.
Berbeda dengan mereka, orang-orang Makkah yang selama ini bersimpati pada Islam menyaksikan pemandangan itu dengan suka cita. Termasuklah di dalamnya, Maimunah.
Timbul gagasan dalam benaknya untuk menyerahkan diri kepada Rasulullah SAW. Sebelum itu, ia menyampaikan maksudnya kepada Ummu Fadl. Istri paman Nabi SAW itu menyambut gembira gagasan tersebut. Abbas bin Abdul Muthalib juga mendukungnya.
Abbas pula yang memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Riwayat lain menyebutkan, Maimunah sendiri yang menyampaikan keinginannya itu kepada Nabi SAW, sementara ia disaksikan sejumlah orang Muslim dan Muslimah. Sesudah itu, turunlah wahyu yakni surah al-Ahzab ayat ke-50.
Nabi SAW menikahinya dengan mahar 400 dirham. Sementara, sesuai Perjanjian Hudaibiyah, kaum Muslimin hanya diperkenankan berada di Makkah untuk berhaji selama tiga hari.
Untuk berjaga-jaga, Rasulullah SAW tidak mengadakan walimatul ‘ursy dirinya dengan Maimunah di Makkah. Maka kembalilah beliau dan Muslimin ke Madinah.
Tatkala sampai di suatu tempat yang disebut Sarfan, berjarak 10 mil dari Makkah, Nabi SAW memulai malam pertamanya bersama Maimunah.