PLN Bidik 70-80 Persen Energi Terbarukan

PLN akan mendorong penggunaan sumber energi domestik yang lebih hijau.

PLN
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo (kedua dari kiri) berjalan di antara panel surya dengan menggenggam bendera merah putih saat meninjau (PLTS) terapung Cirata di Purwakarta, Jawa Barat
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum pada Paris Agreement melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Komitmen ini mengharuskan negara untuk bergerak maju dalam mewujudkan transisi energi.


Wakil Presiden Legal dan Human Capital PLN, Yusuf Didi Setiarto, mengatakan PLN sebagai BUMN memiliki peran penting dalam memastikan komitmen ini tercapai, dengan fokus pada transformasi sektor ketenagalistrikan dari energi berbasis fosil menuju energi yang lebih ramah lingkungan. PLN menargetkan penggunaan energi terbarukan diharapkan bisa mencapai lebih dari 70-80 persen dari total energi yang digunakan.

Yusuf menyampaikan terdapat dua klaster utama dalam diskusi mengenai transisi energi, yakni klaster lingkungan hidup dan klaster energi. Menurutnya, listrik sebagai bagian dari sektor energi merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca.

"Sukses atau tidaknya komitmen Indonesia di Paris Agreement sangat bergantung pada sektor ketenagalistrikan," kata Yusuf dalam forum 'Menuju Indonesia Hijau: Inovasi Energi dan Sumber Daya Manusia', di Jakarta, Selasa (17/9/2024).

PLN telah menyusun Accelerated Renewable Energy Program (AREP),  program percepatan penggunaan energi terbarukan yang sudah dikomunikasikan dengan pemerintah. Yusuf menjelaskan, jika PLN tidak segera melakukan tindakan, proyeksi emisi karbon perusahaan bisa mencapai 1.500 juta metrik ton. Oleh karena itu, PLN menargetkan untuk menurunkan emisi tersebut secara signifikan demi mencapai target net zero emission pada 2060.

Melalui AREP, PLN akan mendorong penggunaan sumber energi domestik yang lebih hijau, seperti panas bumi dan tenaga air, serta energi variabel seperti panel surya, turbin angin, dan energi ombak. Yusuf menambahkan volume penggunaan energi terbarukan diharapkan bisa mencapai lebih dari 70-80 persen dari total energi yang digunakan.

Namun, ia juga menekankan pentingnya keberadaan base loader yang kuat, yang mencakup penggunaan gas sebagai energi cadangan. Tanpa base loader yang memadai, pengembangan energi terbarukan yang bersifat variabel akan sulit tercapai. "Dengan adanya base loader yang kuat, kita bisa mempercepat transisi menuju energi hijau dan mencapai NZE pada 2060, atau bahkan lebih cepat," tambahnya.

Tidak hanya dari sisi pembangkitan energi, Yusuf juga menjelaskan PLN sedang merancang pembangunan infrastruktur transmisi untuk membangun energi hijau dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Sumatera yang memiliki potensi besar dalam tenaga air dan panas bumi.

Ia mengatakan, salah satu tantangan utama adalah posisi aset-aset energi terbarukan yang tidak berada di titik ideal. "Dibutuhkan infrastruktur transmisi yang bisa mengevakuasi daya dari pusat-pusat pembangkitan energi hijau ke pusat-pusat beban," ujarnya.

Untuk itu, PLN berencana menyambungkan tiga pulau besar di Indonesia, yakni Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, dengan jaringan transmisi listrik. Yusuf mencontohkan potensi besar tenaga air di Kalimantan Utara dan Barat, yang bisa dievakuasi ke Pulau Jawa dan Sumatra sebagai wilayah dengan kebutuhan listrik terbesar.

Yusuf juga menekankan pentingnya investasi dalam infrastruktur transmisi untuk mewujudkan transisi energi. PLN telah mengajukan proposal kepada pemerintah, dengan kebutuhan investasi sekitar 15 miliar dolar AS hingga tahun 2060. Ia berharap dukungan pemerintah dapat mengalir secara konsisten, dengan perkiraan suntikan dana sekitar 20 triliun rupiah per tahun untuk pembangunan infrastruktur tersebut.

Yusuf menegaskan program transisi energi yang dirancang PLN bukan hanya inisiatif internal, melainkan telah diuji oleh lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) di Paris. Menurutnya, konsep AREP ini merupakan opsi terbaik bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. "Jika RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) disahkan, kita bisa memasukkan energi nuklir sebagai salah satu base loader yang terjangkau dan andal," ujarnya.

Ia juga mengatakan dengan adanya base loader yang kuat, seperti tenaga nuklir, panas bumi, dan tenaga air, Indonesia akan memiliki kemewahan untuk memanen energi matahari dan angin secara optimal. Namun, tanpa base loader yang memadai, upaya ini hanya akan menjadi mimpi.

Saat ini, PLN bersama pemerintah sedang dalam tahap finalisasi beberapa dokumen kebijakan penting terkait transisi energi. Yusuf menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Kebijakan Energi Nasional sedang dalam proses penyelesaian, yang akan diikuti oleh Rencana Umum Ketenagaan Listrikan Nasional (RUKN), serta Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Jika ketiga dokumen ini berhasil diselesaikan dalam waktu dekat, Yusuf optimistis bahwa Indonesia akan memiliki peta jalan yang jelas menuju NZE pada tahun 2060. "Ini bukan hanya sekedar rencana PLN, tetapi merupakan komitmen bersama untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau," pungkasnya.

Dengan adanya dukungan dari pemerintah dan pihak internasional, PLN optimis dapat mewujudkan mimpi Indonesia menuju energi hijau dan mencapai net zero emission sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler