Ngeluh ke Undip Dokter ARL Dihukum Berdiri Sejam, Ibu: Kaprodi Bilang 'Saya Dulu 5 Jam'

Sang ibu tak habis pikir anaknya dalam keadaan kaki bengkak disuruh berdiri 1 jam.

Kamran Dikarman
Ibunda Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah (kiri), memberikan keterangan kepada media terkait kasus kematian putrinya di PO Hotel, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (18/9/2024) malam.
Rep: Kamran Dikarma/Antara Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ada yang menarik dari pengakuan Ibunda almarhumah Aulia Risma Lestari (ARL), Nuzmatun Malinah, terkait perundungan yang dialami anaknya.

Baca Juga


Salah satu perundungan itu yakni bagaimana dokter ARN pernah dihukum berdiri selama satu jam oleh seniornya dalam kondisi kaki yang bengkak efek kecelakaan motor.

Nuzmatun mengaku sudah mengadukan persoalan tersebut ke ketua Prodi Anestesia Undip. Tapi jawaban yang ada justru mengejutkan.

"Dijawab oleh ketua prodi, 'Saya dulu (berdiri selama) lima jam'. Bayangkan anak saya itu kakinya bengkak disuruh berdiri satu jam," ujar Nuzmatun saat memberikan keterangan pers, Rabu (18/9/2024) malam.

Nuzmatun mengaku sudah beberapa kali melaporkan situasi putrinya tersebut ke ketua Prodi Anestesia Undip, tapi perubahan yang diharapkan tak pernah terjadi.

Situasi yang sama tetap berlangsung hingga ARL ditemukan meninggal di kamar kosnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang, pada 12 Agustus 2024.

"Harusnya anak saya itu ada, masuk sekolah, cari ilmu. Tapi apa yang dia dapat? Tidak hanya anak saya, tapi suami saya juga. Jadi tolong bantu saya, tolong bantu saya mencari keadilan," kata Nuzmatun diiringi tangis.

Ayah ARL, yakni Moh Fakhruri, meninggal dunia dua pekan setelah kematian ARL. Sejak ARL meninggal, kondisi kesehatan Fakhruri drop. Dia sempat dirawat di RSUD Kardinah Tegal kemudian dirujuk ke RSCM Jakarta. Fakhruri mengembuskan napas terakhirnya pada 27 Agustus 2024.

Dalam konferensi pers pada Rabu malam, Nuzmatun juga sempat menceritakan dugaan pemalakan yang dialami ARL. Dia mengungkapkan, ARL memang diharuskan membayar iuran untuk kas angkatan.

Iuran yang dihimpun itu digunakan untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan para mahasiswa senior PPDS Anestesia Undip. "Ada datanya, sudah kami serahkan pada Polda (Jateng). Jadi itu berupa rekening koran mengalirnya dana," ujar Nuzmatun.

Nuzmatun enggan mengungkap berapa biaya yang dikeluarkannya untuk membayar iuran tersebut. Namun pembayaran iuran dilakukan setiap bulan. "Kalau yang besar itu di semester satu. Tapi di semester berikutnya juga masih ada, tidak hanya semester satu," ucapnya.

Menurut Nuzmatun, pada Agustus lalu, ARL, yang sudah menjalani semester lima, masih membayar iuran. Namun jumlahnya sudah jauh lebih kecil dibandingkan ketika semester satu.

Sementara itu kuasa hukum keluarga ARL, Misyal Achmad, mengungkapkan, uang yang sudah dikeluarkan keluarga ARL untuk membayar iuran angkatan mencapai Rp225 juta. "Tapi kita tidak tahu penggunaannya. Ke mana saja (dananya), itu masih diperiksa oleh pihak kepolisian melalui rekening koran," ujar Misyal.

Keluarga ARL sudah melaporkan kasus dugaan perundungan yang dialami dokter berusia 30 tahun tersebut ke Polda Jateng pada 4 September lalu. Pihak yang dilaporkan adalah beberapa mahasiswa senior PPDS Anestesia Undip.

Pemeriksaan saksi

Penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah telah meminta sedikitnya keterangan 34 orang saksi dalam penyelidikan kasus dugaan perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

 

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Polisi Artanto di Semarang, Selasa, mengatakan para saksi yang diperiksa, antara lain teman seangkatan korban AR di PPDS Anastesi Undip Semarang dan ketua angkatan.

"Sudah 34 saksi, antara lain teman seangkatan, ketua angkatan, serta para bendahara," katanya.

Menurut Artanto, hasil pemeriksaan para saksi akan dianalisa dan disinkronkan satu dengan yang lain.

Ia memastikan kepolisian akan fokus dan transparan dalam dinamika penyelidikan yang berjalan. Pemeriksaan juga akan disinkronkan dengan data-data yang diberikan oleh pelapor.

"Semua berproses dan akan diteliti mendalam," katanya.

Ia juga memastikan kepolisian menjunjung asas praduga tak bersalah serta prinsip kehati-hatian dalam penyelidikan perkara dugaan perundungan di PPDS Undip tersebut.

Pengakuan dari Undip Semarang dan manajemen Rumah Sakit Kariadi Semarang tentang terjadinya perundungan di PPDS, tambah Artanto, diharapkan akan mempermudah serta membuka jalan terang dalam penyidikan perkara ini.

Sebelumnya, seorang mahasiswi PPDS Fakultas Kedokteran Undip Semarang berinisial AR meninggal dunia diduga bunuh diri di tempat kosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Kematian korban AR, yang jasadnya ditemukan pada 12 Agustus 2024, diduga berkaitan dengan dugaan perundungan di tempatnya menempuh pendidikan.

Keluarga AR sudah melaporkan dugaan perundungan tersebut ke Polda Jawa Tengah pada 4 September 2024.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler