Imam Marcellus Williams Ukir Pesan Terakhir Memuji Allah Sebelum Dieksekusi, Ini Isinya

CAIR mengutuk keras eksekusi yang keji dan tidak adil tersebut.

CNN/Courtesy Marcellus Williams legal team
Imam Marcellus
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Eksekusi mati terhadap seorang Muslim Amerika Serikat berkulit hitam, Marcellus ‘Khalifah’ Williams dijadwalkan untuk dilakukan di Penjara Bonne Torre pada Selasa (24/9/2024) pukul 18.00 waktu setempat. Williams yang merupakan seorang imam di lembaga pemasyarakatan setempat saat menjalani hukuman sebagai narapidana akan dieksekusi dengan cara disuntik mati.

Baca Juga


Sebelum menjalani eksekusi tersebut, Williams diberi kesempatan untuk menulis pesan terakhir. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Williams. “All Praise be to Allah in Every Situation!!! (Segala puji bagi Allah dalam semua kondisi)”ujar Williams lewat sebuah tulisan tangan dalam formulir penjara tertanggal 21 September 2024. Formulir tersebut diunggah oleh Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) lewat platform X.

Dalam keterangannya, CAIR mengungkapkan, Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Pengadilan Missouri telah melakukan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan dalam kasus tersebut.

“Kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. Dengan menjatuhkan hukuman mati kepada Imam Marcellus Williams meskipun jaksa penuntut umum telah menyatakan bahwa kasusnya dirusak oleh kesalahan konstitusional dan bahwa bukti DNA menunjukkan ketidakbersalahannya, Mahkamah Agung AS dan sistem pengadilan Missouri telah melakukan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.

Kami mengutuk keras eksekusi yang keji dan tidak adil ini, yang akan menodai reputasi sistem hukum kita selama bertahun-tahun mendatang. Kami mendorong semua Muslim Amerika untuk berdoa bagi Imam Williams. Semoga Allah membalasnya karena menanggapi ketidakadilan selama puluhan tahun dengan keteguhan hati, dan semoga Tuhan memberinya tempat terbaik di surga.”

 

Kesenjangan rasial pada kasus Williams..

 

Kasus Williams telah menarik perhatian pada kesenjangan rasial dalam kasus hukuman mati dan potensi hukuman yang salah, terutama terhadap orang kulit berwarna, ujar CAIR dalam pernyataannya yang lain.

Dilansir dari USA Today, vonis mati Wiliam diambil setelah seorang hakim Missouri menolak mosi untuk membatalkan hukuman mati meskipun para pengacara, termasuk seorang jaksa penuntut, mengatakan bahwa bukti-bukti telah salah ditangani dalam persidangan tahun 1998 yang seharusnya dapat membebaskan Marcellus “Khaliifah” William.

William, 55 tahun, tetap dijadwalkan untuk dieksekusi dengan suntikan mematikan pada tanggal 24 September di penjara negara bagian di Bonne Terre, sebuah kota di Francois County sekitar 60 mil barat daya St. Louis.

William dihukum karena pembunuhan tingkat pertama atas pembunuhan Lisha Gayle yang berusia 42 tahun, seorang mantan reporter untuk St. Louis Post-Dispatch. Seorang pekerja sosial pada saat itu, wanita itu ditemukan terbunuh di rumah di pinggiran kota St. Louis yang ia tinggali bersama suaminya. Ia ditikam 43 kali dengan pisau dapur yang diambil dari dalam rumah pasangan itu, menurut dokumen pengadilan.

Padahal, tidak ditemukan bukti apapun yang menunjuk pada keterlibatan Williams termasuk DNA bekas darah di pisau yang digunakan untuk menikam Gayle.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler