Abu Musa, Sahabat Nabi Pelopor Tradisi Bersalaman

Abu Musa al-Asy’ari berasal dari Yaman dan berislam sejak masa sebelum Hijriyah.

MgIt03
Ilustrasi Sahabat Nabi
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai salah seorang sahabatnya ini. “Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah dikaruniai suatu suara yang indah dari keluarga Daud” (HR at-Tirmidzi). Pujian itu menandakan kemuliaan sosok yang sempat berhijrah ke Negeri Habasyah tersebut.

Baca Juga


Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qays. Bagaimanapun, dirinya lebih dikenal dengan sebutan (kunyah), yakni Abu Musa al-Asy’ari. Perawakannya cukup berbeda dengan kebanyakan orang Hijaz.

Ia memiliki tubuh yang pendek, agak kurus, dan berjanggut tidak lebat. Ia berasal dari Arab selatan atau Yaman. Ketika mendengar kabar telah datangnya seorang utusan Allah, lelaki itu langsung meninggalkan kampung halamannya guna menuju Makkah.

Selang beberapa lama tinggal di kota kelahiran Nabi SAW, ia pun kembali ke negerinya. Di Yaman, Abu Musa al-Asy’ari menyebarkan syiar Islam. Tidak sedikit orang-orang dari kaumnya yang kemudian menjadi Muslim setelah mendengarkan dakwahnya.

Saat berada di Yaman, Abu Musa mendengar kabar bahwa sejumlah Muslimin Makkah telah berhijrah ke Habasyah (Etiopia). Dengan mengajak sejumlah kawannya, ia pun turut berpindah ke sana. Rombongan ini berjumlah sekira 50 orang. Termasuk di dalamnya adalah saudara-saudara Abu Musa, yakni Abu Burdah dan Abu Ruhm.

Dengan menumpangi perahu, mereka menyeberangi Laut Merah hingga sampai di Habasyah. Di sana, mereka berjumpa dengan Ja’far bin Abu Thalib dan sahabat-sahabatnya. Ja’far mengatakan, “Sungguh, Rasulullah SAW mengutus dan memerintah kami untuk tinggal di sini (Habasyah). Maka, tinggallah bersama kami.”

Hingga dimulainya fase hijrah ke Madinah, Abu Musa dan kawan-kawan pun menetap di sana. Begitu mendengar kabar hijrahnya Rasul SAW, Abu Musa al-Asy’ari pun hendak turut serta.

Bersama dengan rombongannya, mereka bertolak menuju kota yang dahulu bernama Yastrib itu. Kemudian, Nabi SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Besok, akan datang kepada kalian kaum yang hatinya lebih lembut dari kalian dalam menerima Islam.”

Keesokan harinya, datanglah rombongan yang dipimpin Abu Musa al-Asy’ari. Begitu tiba di Madinah, mereka bersalam-salaman dengan orang-orang yang dijumpai. Inilah awal mula salah satu tradisi Islami, yakni salam-salaman kala bertemu dengan saudara seiman. Pada masa itu, orang Romawi tidak melakukannya. Adapun orang Persia justru bersujud ketika berjumpa dengan tokoh terhormat.

Anas bin Malik meriwayatkan, tatkala penduduk Yaman datang ke Madinah, Rasulullah SAW bersabda, “Telah datang kepada kalian penduduk Yaman, dan merekalah orang yang pertama sekali melakukan berjabat tangan."

Tidak lama sesudah datangnya Abu Musa dan kawan-kawan, tibalah rombongan Ja’far bin Abu Thalib. Sementara itu, Rasulullah SAW baru saja pulang dari kemenangan di Benteng Khaibar. Tiba di Madinah, beliau menjamu mereka semua.

Berkata Abu Musa, “Kami bertemu Rasulullah SAW bersamaan dengan penaklukkan Khaibar. Beliau memberi kami (ghanimah). Hal itu tidak beliau lakukan kepada siapapun yang tidak turut penaklukan Khaibar kecuali orang-orang yang berlayar di kapal menuju Madinah bersama Ja’far dan sahabatnya. Mereka mendapat bagian juga seperti kami.”

Besarnya perhatian dan kasih sayang Rasulullah SAW kepada Abu Musa al-Asy’ari. Bahkan, sang sahabat pernah didoakan. “Ya Allah,” ucap Nabi SAW dalam munajatnya, “ampunilah dosa Abdullah bin Qays. Masukkanlah ia pada hari kiamat di tempat yang terpuji.”

Di antara para sahabat, Abu Musa dikenang antara lain sebagai pembaca Alquran dengan suara nan merdu.

Kalangan sejarawan menggolongkan dirinya sebagai ahli agama. Asy-Sya’bi menyatakan, “Ahli fikih dari kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW ada enam orang, yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid, Abu Musa al-Asy’ari, dan Ubay bin Ka’ab.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler