'Gercos, Gerakan Coblos Semua Muncul Akibat Kekecewaan Masyarakat'
Fenomena gercos terjadi di Pilkada 2024, khususnya untuk DKI Jakarta.
REPUBLIKA.CO.ID, Pengamat politik yang merupakan Peneliti Utama Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Prof R Siti Zuhro berpendapat gerakan coblos semua (gercos) yang marak di media sosial merupakan bentuk kekecewaan dari masyarakat. Fenomena gercos terjadi di Pilkada 2024, khususnya untuk DKI Jakarta.
“Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Jadi ini hukum sebab akibat. Masyarakat kurang percaya meskipun tidak semuanya. Komunitas yang menyatakan gercos itu tadi ada kekecewaan, ada ketidakpuasan. Kompetisi kontestasi kok dirasakan tidak adil, tidak setara. Maka mereka ini ingin meluapkan itu,” kata Situ Zuhro saat dihubungi di Jakarta, Rabu (2/10/2024).
Kendati demikian, dia menilai hal ini masih dalam proses. Masih ada kemungkinan masyarakat akan menentukan pilihan dari ketiga pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Masyarakat tetap akan memilih, asalkan, para paslon bisa turun secara langsung meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka sehingga asumsi-asumsi yang beredar tidak terjadi. Oleh sebab itu, dia mengatakan penentuan kemana suara-suara masyarakat akan berlabuh tergantung dari paslon mana yang berhasil meyakinkan masyarakat.
“Kayaknya perseorangan kecil ya. Sekarang apakah Pram-Rano bisa menggoda suara-suara yang ingin gercos? Tergantung pendekatannya,” kata Siti.
Di sisi lain, akademikus sekaligus pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Prof. Asrinaldi mengatakan, agar gerakan coblos semua paslon tidak benar-benar terjadi di Pilkada 2024, Asrinaldi mengatakan pihak Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) harus gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Selain itu, lanjut Asrinaldi, tentu harus ada upaya yang maksimal juga dari para paslon untuk mengimbau pendukungnya agar tidak terpengaruh dengan ajakan tersebut.
“Karena kekuatan media sosial itu pengaruhnya sangat tinggi ya. Jadi mau tidak mau baik KPU, paslon, parpol itu berusaha untuk meyakinkan bahwa bagaimanapun yang terbaik adalah dengan memilih pasangan calon yang benar-benar disukai dan diyakini akan amanah,” kata Asrinaldi.
Sebelumnya, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon, tidak boleh dikriminalisasi. “Dari sisi hukum pemilunya, gerakan golput itu, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon, adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi,” kata Titi dalam webinar yang diikuti secara daring dari Jakarta, belum lama ii.
Titi menjelaskan, memilih atau tidak memilih merupakan kehendak bebas dari setiap warga negara. Sepanjang hal itu dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman penuh.
“Pemidanaan gerakan golput hanya bisa dilakukan apabila disertai politik uang atau dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih,” ujar Titi.
Menurut Titi, gerakan golput memang menjadi tantangan partai politik, pasangan calon, dan penyelenggara pemilu. Hal itu perlu direspons secara substantif melalui diskursus gagasan dan program secara kritis.
Di samping itu, kata dia, perlu pula dipastikan bahwa pemilihan kepala daerah bukan hanya agenda periodik, tetapi juga murni diselenggarakan berdasarkan asas prinsip pemilu yang bebas dan adil.
“Jadi, alih-alih mengancam pemidanaan pada gerakan-gerakan kritis warga, lebih baik kita semua bekerja keras menghadirkan narasi yang betul-betul berorientasi pada politik gagasan dan program, serta meyakinkan publik bahwa memang ini bukan pilkada akal-akalan,” ucap Titi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilih dan tidak melakukan golongan putih (golput) saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. KPU DKI Jakarta berharap masyarakat berbondong-bondong ke TPS pada 27 November 2024 nanti
“Ini kesempatan momentum pasca UU Jakarta nomor 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tidak lagi menjadi ibu kota Jakarta maka masa depan Jakarta itu berada di tangan masyarakat,” kata Ketua Divisi Teknis KPU Jakarta, Dody Wijaya saat dijumpai di kantor KPU DKI Jakarta, Jumat, (13/9/2024).
Doddy memaparkan, jika masyarakat tidak hadir ke TPS saat Pilkada, suaranya juga tidak dihitung sebagai pemenang. Doddy memberikan contoh, apabila ada 100 warga, 50 orang melakukan golput dan 50 orang lainnya tidak hadir ke TPS, kemudian setelah dihitung terdapat 20 suara yang tidak sah, maka yang menentukan kemenangan adalah 30 suara lainnya.
“Kalau di Jakarta ditambah 50 persen plus satu dari total suara sah,” jelas Doddy.
Artinya, kata Doddy, gerakan golput atau gerakan coblos semua paslon ini tidak punya makna dalam Pilkada. Doddy mengatakan, justru gerakan ini tidak mempengaruhi kemenangan paslon.
“Malah dalam hal sederhana lebih mudah paslon untuk menang karena hanya memperebutkan tadi, kira-kira 30 suara dalam analogi 100 suara tadi,” papar Doddy.
Di sisi lain, Anggota KPU DKI Astri Megatari mengatakan pihaknya akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024 sehingga dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar. "Kami yakin dan kami optimistis bahwa warga Jakarta sekarang cerdas-cerdas, kritis-kritis dan semuanya bisa menilai ketiga paslon ini dengan pikiran dan pandangan yang terbuka,” kata Astri.