Geliat Tokoh NU-Muhammadiyah di Kabinet Sejak Awal Kemerdekaan
Keterwakilan kedua ormas Islam ini mencerminkan pengaruh mereka di perpolitikan.
REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah keterlibatan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam kabinet Indonesia sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Kedua organisasi ini memiliki peran penting dalam politik dan pemerintahan Indonesia, baik di masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi.
Keterwakilan kedua organisasi besar Islam ini mencerminkan pengaruh signifikan mereka dalam politik Indonesia. Berikut rangkuman perwakilan dari tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah dalam kabinet sejak awal kemerdekaan:
1. Masa awal kemerdekaan (1945–1950)
Pada masa awal kemerdekaan, perwakilan tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah mulai dilibatkan dalam pemerintahan.
NU pada awalnya menjadi bagian dari partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang merupakan koalisi beberapa organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah.
Salah satu tokoh penting dari NU di kabinet awal adalah KH Wahid Hasyim. Ayah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial pada 2 September 1945. Pahlawan nasional ini juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama dalam Kabinet RIS (1949–1950), Kabinet Natsir (1950-1951) dan Kabinet Sukiman Suwirjo (1951-1952).
Selain Kiai Wahid Hasyim, pada masa ini juga ada beberapa tokoh NU yang masuk kabinet pemerintahan. Diantaranya, KH Fathurrahman Kafrawi. Di adalah Menteri Agama Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1946-1947.
Nama tokoh NU lainnya yang masuk kabinet pada era ini adalah KH Masjkur merupakan tokoh NU menjabat sebagai Menteri Agama pada empat periode, yaitu: Kabinet Amir Syarifuddin II (11 November 1947 sampai 29 Januari 1948), Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 sampai 4 Agustus 1949), Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 sampai 20 Desember 1949), dan Kabinet Ali Sastroamijoyo (30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955).
Muhammadiyah juga diwakili oleh tokoh-tokohnya dalam kabinet awal kemerdekaan. Salah satu tokoh penting Muhammadiyah yang masuk kabinet awal adalah Prof H.M. Rasjidi. Dia tercatat sebagai Menteri Agama RI pertama (Kabinet Sjahrir I & II, 1946), meneruskan tugas Kiai Wahid Hasyim di masa Kabinet Presidensial.
2. Masa Demokrasi Parlementer (1950–1959)
Pada masa demokrasi parlementer, NU memutuskan keluar dari Masyumi pada tahun 1952 dan membentuk partai politik sendiri, Partai NU. Sejak itu, keterwakilan NU dalam kabinet lebih jelas sebagai entitas politik yang independen.
Setelah memisahkan diri dari Masyumi, NU kerap mendapatkan posisi menteri, terutama di bidang keagamaan. KH Muhammad Ilyas adalah salah seorang tokoh NU yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode. Ia menjabat di era Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956, di era Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 1956-1957, serta era Kabinet Karya pada 1957-1959.
Setelah Era Kiai Muhammad Ilyas, lalu dilanjutkan oleh KH Wahib Wahab. Putra Kiai Wahab Hasbullah ini pernah menjabat sebagai Menag di era Kabinet Kerja I pada 1959-1960, dan era Kabinet Kerja II pada 1960-1962.
Tokoh NU lainnya yang masuk kabinet pada masa demokrasi parlementer ini adalah KH Idham Chalid. Ia beberapa kali menjabat Wakil Perdana Menteri RI yaitu Wakil Perdana Menteri pada Kabinat Ali-Roem-Idham (1956-1957), Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Djuanda (1957-1959) dan Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Dwikora (1966).
Pada masa ini, Muhammadiyah juga tetap memiliki pengaruh, meskipun tidak membentuk partai politik sendiri. Tokoh Muhammadiyah seperti KH Fakih Usman pernah menjadi Menteri Agama dalam dua kabinet.
Kiai kelahiran Gresik ini dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April 1952 sampai 1 Agustus 1953.
Pada masa Moh. Natsir (1950), Ir Djuanda Kartawidjaja juga merupakan tokoh Muhammadiyah yang diangkat sebagai Menteri Perbuhungan, pada masa Kabinet Sukiman Suwiryo (1951) hingga Kabinet Wilopo (1952). Ia tetap menjabat Menteri Perhubungan sampai 1953.
Sjamsuddin Sutan Makmur Harahap juga merupakan tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Soekiman-Suwirjo dari tanggal 27 April 1951 sampai 3 April 1952. Ia juga menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Burhanuddin Harahap dari tanggal 12 Agustus 1955 sampai 24 Maret 1956.
3. Masa Demokrasi Terpimpin-Orde Lama (1959–1966)
Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno atau disebut orde lama, peran partai politik semakin berkurang. Namun, perwakilan NU dan Muhammadiyah masih ada dalam kabinet-kabinet di era ini.
NU terus mendapat posisi menteri, khususnya di bidang agama. Saifuddin Zuhri merupakan seorang tokoh NU yang menjabat sebagai Menteri Agama dari tahun 1962 hingga 1967. Ia bertugas pada Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I.
Prof R.H. A. Soenarjo juga merupakan Menteri Dalam Negeri dari NU pada zaman Orde Lama. Ia tercatat menjadi Menteri Dalam Negeri mengganti Prof. Hazirin mulai 19 November 1954 pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam Kabinet Burhanuddin Haraharap, ia menduduki jabatan yang sama dan tetap mewakili NU (12 Agustus 1995 sampai dengan 24 Maret 1956).
Dalam kabinet Ali Sastroamidjojo II, ia mengemban jabatan yang sama mewakili NU sejak 9 Januari 1957. Sampai kabinet jatuh, ia merangkap jabatan Menteri Kehakiman ad interim. Pada Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) menjabat Menteri Agraria. Pada kabinet yang sama, pada tahun 1958, ia menjabat Menteri Agama ad interim.
Muhammadiyah juga memiliki tokoh dalam kabinet, meskipun perannya lebih terbatas. Perwakilan Muhammadiyah sering berada dalam posisi yang lebih teknis dibandingkan NU yang lebih kuat di bidang keagamaan.
Moeljadi Djojomartono adalah tokoh Muhammadiyah yang menjadi menteri di Era Soekarno. Namun, namanya belum populer di Indonesia, bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri.
Moeljadi pernah menjabat Menteri Sosial Indonesia dalam Kabinet Djuanda antara 1957 dan 1962 dan Kabinet Dwikora III tahun 1966.ia juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat antara 1960 dan 1966.
4. Masa Orde Baru (1966–1998)
Pada masa Orde Baru, NU dan Muhammadiyah tetap terlibat dalam pemerintahan, meskipun dengan dinamika yang berbeda. Pada awal Orde Baru, NU mendukung pemerintahan Soeharto, tetapi kemudian memutuskan keluar dari politik praktis pada 1984.
Meski demikian, beberapa tokoh NU tetap diangkat menjadi menteri. Pada masa Orde Baru ini, tokoh NU yang dipercaya Soeharto memimpin Departemen Agama adalah KH Mohammad Dachlan. Ia menjabat sebagai menteri agama sejak 17 Oktober 1967 hingga 11 September 1971 dalam Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I.
Pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh Muhammadiyah juga mendapat tempat di kabinet, seperti Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988, Kabinet Pembangunan V 1988-1993) dan Tarmidzi Taher (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998).
5. Era Reformasi (1998–sekarang)
Di era Reformasi, keterwakilan NU dan Muhammadiyah dalam kabinet kembali signifikan, seiring dengan berkembangnya demokrasi dan pluralisme politik. Setelah Soeharto tumbang, tokoh yang berlatar belakang NU banyak yang masuk kabinet.
Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terutama, banyak tokoh NU yang dilibatkan dalam kabinet. Gus Dur dalam Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001) mengangkat Muhammad Tolchah Hasan yang juga politikus PKB sebagai menteri agama.
Lalu pada era Presiden Megawati Soekarno Putri, tokoh NU yang menjadi Menteri Agama di Kabinet Gotong Royong adalah Said Agil Husin Al Munawar. Setelah itu, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menunjuk tokoh NU sebagai menteri agama untuk Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009), yaitu Muhammad Maftuh Basyuni.
Hingga kini, NU terus memiliki perwakilan di kabinet, termasuk KH Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia (2019–2024). Presiden Jokowi juga banyak menunjuk tokoh yang berlatar belakang NU dalam kabinetnya.
Muhammadiyah juga tetap terwakili dalam kabinet pada era Reformasi. Tokoh-tokohnya sering kali mendapat posisi di pemerintahan, terutama di bidang pendidikan, agama, dan sosial.
Prof Abdul Malik Fadjar merupakan salah tokoh Muhammadiyah yang aktif dalam pemerintahan. Ia pernah menjadi Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong (2001-2004) dan Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan (23 Mei 1998-29 Oktober 1999).
Di era Presiden SBY maupun Jokowi, banyak tokoh Muhammadiyah yang masuk dalam kabinet. Diantaranya, Prof Muhadjir Effendy yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Jadi, perwakilan tokoh NU dan Muhammadiyah dalam berbafai kabinet Indonesia menunjukkan bahwa kedua organisasi Islam ini memiliki peran penting dalam politik dan pemerintahan Indonesia sejak awal kemerdekaan.
Tokoh-tokoh NU sering menduduki jabatan Menteri Agama, sementara tokoh Muhammadiyah kerap menempati posisi di bidang pendidikan dan sosial. Baik NU maupun Muhammadiyah terus berperan dalam pembangunan bangsa hingga kini, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.