Kepemimpinan Sultan Shalahuddin dalam Catatan Pengelana Inggris
Dalam masa Perang Salib, seorang pengelana Inggris mengadakan perjalanan di Syam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinasti Ayyubiyah mungkin tak setua wangsa-wangsa lainnya dalam sejarah peradaban Islam. Usianya tidak sampai 100 tahun, tetapi legasi yang ditinggalkannya tak lekang dimakan waktu.
Ada berbagai kemajuan yang diwujudkan kerajaan tersebut. Dalam bidang pendidikan, misalnya, rezim yang dirintis Sultan Shalahuddin al-Ayyubi itu berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota mercusuar ilmu pengetahuan.
Hal itu antara lain ditandai dengan berdirinya Madrasah al-Shauhiyyah jantung daerah Syam itu pada 1239 M. Lembaga tersebut menjadi sentra pengajaran empat mazhab fikih terkemuka dalam ahlus sunnah wa al-jama'ah (aswaja). Sebelumnya, Darul Hadits al-Kamillah juga dibentuk pada 1222 M untuk mengembangkan studi hukum Islam.
Seperti halnya kota-kota kebudayaan Islam pada masa keemasan, Damaskus juga bercorak kosmopolitan. Alhasil, cahaya peradaban tidak hanya menyinari umat Islam, melainkan juga komunitas agama-agama lain. Sebagai contoh, perjalanan keilmuan yang dilakukan Adelardus Bathensis, seorang Nasrani asal Bath, Inggris. Ia melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lainnya di Syam untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan yang dipelajari para sarjana Muslim.
Untuk diketahui, rihlah yang dijalani Adelardus berlangsung di tengah bayang-bayang Perang Salib. Fakta bahwa ilmuwan Kristen itu dapat dengan leluasa mengakses perpustakaan atau pusat-pusat keilmuan di Syam wilayah kekuasaan Ayyubiyah membuktikan bahwa dalam periode Perang Salib terdapat jeda-jeda perdamaian.
Bahkan, yang kerap terjadi ialah kontak budaya antara dua masyarakat yang berbeda iman itu: kaum Muslimin dan Kristen-Latin. Adelardus Bathensis dikenang sebagai intelektual Barat pertama yang memperkenalkan sistem angka Arab ke Eropa.
Ia juga menerjemahkan banyak manuskrip yang berbahasa Arab ke bahasa Latin. Dengan begitu, terjadilah transfer macam-macam ilmu pengetahuan, mulai dari kedokteran, astronomi, hingga filsafat.
Karakteristik terbuka juga diberlakukan Dinasti Ayyubiyah dalam bidang perdagangan dan industri. Dalam menghadapi kaum Salibis, para pemimpin militer Muslim, mulai dari Shalahuddin hingga Sultan al-Kamil, tidak mengambil opsi the winner takes all.
Malahan, mereka kerap membuka ruang dialog dan perundingan dengan para agresor yang berbeda iman itu. Hasilnya, gencatan senjata kerap terjadi sehingga menjadi masa jeda bagi komunitas Muslim dan Kristen untuk saling berinteraksi, termasuk dalam dunia perniagaan.
Untuk pertama kalinya, bangsa Eropa mengenal sistem moneter Muslim yang jauh lebih kompleks pada masa itu. Sebagai contoh, adanya sistem bank atau letter of credit sehingga seorang pedagang tak perlu repot-repot membawa emasnya di setiap kota yang disinggahi. Orang-orang Eropa juga menyaksikan, industri tumbuh dengan subur di negeri Islam.
Mereka lantas meniru atau mengadopsi berbagai teknologi yang dirintis Muslimin, semisal teknik pembuatan kertas, kain, karpet, atau kincir air untuk irigasi lahan pertanian. Sejak 1260, Bani Ayyubi dihantam dua kekuatan sekaligus, yakni Dinasti Mamluk di Mesir dan serangan bangsa Mongol atas Syam.
Mamluk merupakan mantan pasukan budak Ayyubiyah yang akhirnya memberontak dan berhasil merebut kekuasaan. Terkait ancaman Mongol, memang itu sudah terasa sejak pertengahan abad ke-13. Bahkan, dua tahun sebelum jatuhnya Syam, jantung Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad telah hancur lebur oleh serbuan bangsa dari Asia Timur itu.