Dunia Jokowi dan Dunia Prabowo
Standar ganda moralitas Barat tak bisa lagi disembunyikan.
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika, pemerhati Palestina
Dunia yang kita tinggali saat ini, sedang dalam perubahan besar. Serangan para pejuang Palestina ke Israel pada 7 Oktober dan balasan brutal Israel setelahnya seperti mengobrak-abrik tatanan dunia. Ia jadi penanda masa, jadi titik bersejarah, pemisah antara dunia sebelum dan setelahnya.
Serangan dan agresi itu membuat kondisi geopolitik dunia yang dihadapi oleh Prabowo Subianto yang dilantik Ahad ini, jauh berbeda dengan kondisi sepanjang Presiden Joko Widodo menjabat.
Pembiaran atas genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza mengikis sampai hampir habis kepercayaan terhadap tatanan dunia lama. Standar ganda moralitas Barat, yakni Eropa dan Amerika Serikat yang sedianya sudah lama diterapkan, makin kentara dan tak bisa lagi disembunyikan. Nyawa orang-orang, ternyata tak sama harganya di mata Eropa dan Amerika. Yang lebih terang kulitnya, lebih mahal.
Sementara badan-badan dunia yang seharusnya membuat hubungan negara-negara jadi lebih tertib, terus dilecehkan oleh Israel yang didampingi AS dan sebagian negara-negara Eropa. Seruan Mahkamah Internasional tak diindahkan, resolusi Dewan Keamanan PBB menguap begitu saja, keputusan Majelis Umum PBB tak dijalankan, penjahat-penjahat perang bebas membunuh tanpa konsekuensi, pasukan penjaga perdamaian diserang.
Ada pepatah lama Arab yang kabarnya datang dari Khalifah Umar ibn Khattab bahwa “insan adalah putra-putri dari zamannya”. Pada masa dan kondisi dunia yang banyak disebut para pandit cenderung multipolar dengan segala konsekuensinya inilah, Pak Prabowo bakal bertugas. Indonesia kian sukar bermain sebagai pemain yang pasif di dunia yang seperti itu. Indonesia tak bisa lagi hanya melihat ke dalam sementara terkesan mengabaikan kejadian-kejadian akbar geopolitik.
Sejak maju sebagai calon presiden tahun lalu, Pak Prabowo sadar akan hal ini. Dalam pidato di acara CSIS pada November 2033, sebulan lebih setelah 7 Oktober ia sudah menyoroti fenomena tersebut. Ia tak bicara di belakang. Saat itu, pandangannya soal posisi Eropa terkini ia sampaikan menanggapi pertanyaan Duta Besar Italia untuk Indonesia Benedetto Latteri.
Prabowo lantas bercerita bahwa dirinya tumbuh besar di negara Eropa. Dia meyakini, dirinya mungkin saja mengetahui sejarah Eropa lebih baik dibanding banyak orang Eropa itu sendiri.
"Yang saya takutkan adalah Eropa akan kehilangan kepemimpinan moral. Karena, saya jujur, pembicaraan di antara pemimpin Asia (membahas soal) Barat punya standar ganda," kata dia kala itu..
Prabowo menuturkan, Barat mengajarkan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), tapi negara Eropa punya standar berbeda dalam menerapkan nilai-nilai tersebut. Perbedaan standar itu dilihat oleh rakyat dunia lewat kanal media sosial maupun pemberitaan media massa. "Sebagai kawan, saya mengatakan, tolong hati-hati. Kalian akan tetap kuat, sejahtera, tapi (saat ini) ada pergeseran di dunia," kata Prabowo.
Hal ini ia tegaskan dalam opini yang ia kirimkan ke majalah terkemuka AS, the Economist, setelah dinyatakan terpilih dalam Pilpres 2024. "Semakin banyak orang di Indonesia dan di seluruh dunia, di wilayah Selatan dan Barat, merasa bahwa kegagalan pemerintah Barat dalam menekan Israel untuk mengakhiri perang menunjukkan adanya krisis moral yang serius. Bagaimana lagi standar ganda itu dapat dijelaskan, ketika kita diminta untuk menetapkan satu set prinsip untuk Ukraina dan satu lagi untuk Palestina?" tulisnya pada akhir April.
Setelah terpilih melalui Pilpres 2024, masih sebagai menteri pertahanan, Prabowo juga melakukan sejumlah kunjungan ke mancanegara. Sepanjang Juli hingga Agustus lalu, ia menemui Presiden Cina Xi Jinping, kemudian Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Hanya satu pimpinan “Barat” yang ia temui pada masa-masa itu, yakni Presiden Prancis Emmanuel Macron. Itu juga berkebetulan dengan pelaksanaan Olimpiade Paris.
Sejumlah pejabat duta besar negara-negara sahabat yang ditemui Republika belakangan mengendus kecenderungan tertentu lewat salvo tersebut: Prabowo agaknya akan lebih aktif di kancah perpolitikan dunia ketimbang pendahulunya yang mengutamakan pembangunan dan citra di dalam negeri. Mereka menilai, memang sudah saatnya Indonesia lebih hadir di kancah percaturan dunia. Abang tertua di ASEAN, negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, negara dengan populasi Muslim terbanyak; semestinya memang lebih terdengar suaranya.
Tanda-tanda bahwa Pak Prabowo bakal lebih aktif ini tentu layak disambut. Karena mukadimah undang-undang dasar Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa negara juga bertugas “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pak Prabowo, seorang pembaca sejarah yang tekun, tentu melihat bahwa dunia sedang di persimpangan tersebut. Salah memilih langkah, tak ada lagi ketertiban dunia. Jika itu terjadi, seperti disampaikan Menlu RI Retno LP Marsudi dalam wawancara dengan Republika baru-baru ini, dunia akan jadi tempat yang sangat mengerikan di mana “the mighty takes all”.
Adalah pilihan Pak Prabowo, apakah Indonesia akan diam menonton secara pasif runtuhnya ketertiban dunia tersebut, atau secara aktif menggalang dan bergabung dengan kekuatan-kekuatan baru dunia dalam ikhtiar menjalankan dan menjaga ketertiban yang berkeadilan yang mana semua bangsa bisa berdiri tegak secara bermartabat dan merdeka.