Laporan: Tentara Israel Juga Bakar Banyak Bangunan di Sekitar RS Indonesia
Israel mengebom generator RS Indonesia, pasien meninggal dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pasukan Israel dilaporkan telah membakar Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara pada Senin (21/10/2024), salah satu dari tiga rumah sakit yang berfungsi sebagian, dari 10 rumah sakit yang ada di daerah tersebut, kata Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza seperti dikutip dari laman The National News.
Para saksi mata melaporkan bahwa tentara juga telah membakar gedung-gedung tempat ribuan orang berlindung. Rumah sakit di Beit Lahia, sebelah utara Jabalia, secara langsung menjadi sasaran, kata kementerian itu. Kementerian menambahkan bahwa generatornya dibom sehingga memutus aliran listrik dan menyebabkan pasien meninggal dunia setelah terputus dari alat oksigen.
Dengan pembatasan yang sangat ketat terhadap pergerakan mereka, staf rumah sakit harus menguburkan para korban tewas di dalam kompleks medis yang masih terkepung.“Bahkan pilihan untuk memprioritaskan yang terluka tidak lagi tersedia, karena banyak korban luka yang dibiarkan kehabisan darah hingga meninggal kemarin karena banyaknya korban jiwa,” kata kementerian tersebut.
Yousri Qarmout, 37 tahun, mengatakan kepada The National, pasukan Israel membakar gedung-gedung di Beit Lahia yang menjadi tempat berlindung warga.“Penjajah tidak berhenti menggunakan taktik pembakaran dan penghancuran selama operasi ini. Setiap hari, kami melihat gumpalan asap mengepul di mana-mana,"ujar Qarmout.
“Kemarin, tentara Israel membakar banyak bangunan di sekitar Rumah Sakit Indonesia, daerah yang terkenal dengan banyak tempat penampungan. Kebakaran belum berhenti dan asapnya sampai ke sebagian besar wilayah utara Gaza, sementara suara ledakan terus berlanjut tanpa jeda.”
Iman Wadi, 31 tahun, adalah salah satu warga Palestina yang mengungsi dari salah satu tempat penampungan di sekitar Rumah Sakit Indonesia. Ia tiba di kota Gaza bersama ibu, anak, dan tiga saudara perempuannya pada Sabtu malam setelah tentara Israel menyerbu tempat penampungan mereka. “Tentara Israel tiba saat fajar pada Sabtu,” kata Wadi kepada The National.
“Dua jam kemudian, mereka memerintahkan semua pemuda dan anak laki-laki berusia di atas 10 tahun untuk turun dari kamar ke halaman. Mereka (Tentara Israel) membawa mereka ke lokasi yang tidak diketahui dengan todongan senjata, memukuli dan melecehkan mereka.”
Ayah, saudara laki-laki, dan suami Ibu Wadi termasuk di antara mereka yang ditahan. “Mereka membakar tempat penampungan di dekat Rumah Sakit Indonesia dan memperingatkan kami untuk tidak menengok ke kanan atau ke kiri, atau nyawa kami akan terancam,” kata dia.
Ratusan ribu orang di Gaza utara masih terkepung. Sedikitnya 200.000 orang telah terjebak di kamp pengungsian Jabalia, Gaza utara selama 17 hari, di mana tidak ada bantuan yang diizinkan masuk. Pergerakan sangat dibatasi dan kondisi semakin memburuk setiap harinya. Hanya tiga dari 10 rumah sakit di Gaza utara yang masih berfungsi.
Rami Youssef, 26 tahun, dan keluarganya di sebelah barat Jabalia termasuk di antara mereka yang dikepung oleh tank-tank Israel. Mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan makanan dan air, sementara pengeboman terus terjadi. “Sama sekali tidak ada cara untuk melarikan diri; siapa pun yang mencoba masuk atau keluar dari kamp melalui rute lain selain yang ditentukan oleh tentara akan dibunuh di tempat,” katanya kepada The National.
PBB mengatakan bahwa mereka telah meminta akses ke bagian utara jalur tersebut sejak Jumat dari pihak berwenang Israel. PBB belum mendapatkannya.
“Beberapa tetangga kami pergi dalam beberapa hari terakhir namun kami kehilangan kontak dengan mereka,” kata Youssef. “Mereka tidak berhasil mencapai kota Gaza dan tidak kembali ke rumah. Kemungkinan tentara [Israel] membunuh mereka di tengah jalan. Tidak ada yang tahu nasib mereka.”
Mohammed Abdelhadi, 28 tahun, adalah salah satu dari mereka yang ditahan ketika tentara Israel mengumpulkan para pria dan anak laki-laki dari tempat penampungan. “Tentara menangkap kami, memukuli kami dan menghina kami,” kata Abdelhadi kepada The National. Dia kemudian dibebaskan setelah tidak ditemukan adanya hubungan dengan keterlibatan militer.
Abdelhadi menceritakan detail mengerikan dari penahanannya. “Mereka menutup mata kami dan memaksa kami untuk mengutuk Hamas sambil merekam video di ponsel mereka. Saya melihat seorang pemuda dipukuli secara brutal hingga pingsan - hanya karena bertanya kepada seorang tentara tentang nasibnya.”
Dalam perjalanan menuju kota Gaza, Abdelhadi menelepon istrinya, memintanya untuk tidak pergi ke selatan. “Saya bertemu kembali dengan istri dan anak-anak saya di kota Gaza,” katanya, lega karena berhasil melarikan diri. Sementara itu, nasib ribuan orang lainnya masih belum jelas.