Kapitalisme Vs Ekonomi Syariah dan Implikasinya pada ESG

Sistem ekonomi Islam berpedoman pada syariah dan fiqih.

Eva Rianti/Republika
Profesor & Sharjah Chair in Islamic Law & Finance, Durham University, Habib Ahmed (dua dari kiri), Profesor from International Islamic University Malaysia (IIUM) Moh. Aslam Haneff (dua dari kanan), dan Researcher from Institute of Developing Economics, JETRO, Japan Miki Hamada (paling kanan) saat mengisi materi dalam International Seminar on Islamic Economy and Finance ISEF Bank Indonesia di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Rep: Eva Rianti    Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Profesor & Sharjah Chair in Islamic Law & Finance Durham University, United Kingdom menerangkan secara analitis mengenai sistem ekonomi syariah dan perbandingannya dengan keberjalanan sistem ekonomi kapitalisme dalam acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2024. Ia mengungkapkan berbagai keunggulan dari ekonomi syariah dan implikasinya pada tujuan pembangunan yang berkelanjutan. 

Baca Juga


Habib melatarbelakangi penjelasannya dengan membicarakan tentang tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs yang digagas sejumlah negara di dunia pada 2015. Termasuk Indonesia, dengan target capaian SDGs adalah pada 2030 mendatang. 

Karakteristik dari tujuan pembangunan berkelanjutan, jika misalnya dibandingkan dengan tujuan pembangunan milenium, adalah bukan hanya tentang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, tetapi juga ada aspek manusia dan planet dalam pembangunan. 

“Sekarang dalam hal kinerja, laporan terbaru menunjukkan kinerja secara global belum begitu baik. Jika menyangkut Indonesia, kinerjanya sedikit lebih baik daripada kinerja global,” ujar Habib saat mengisi materi dalam International Seminar on Islamic Economy and Finance ISEF Bank Indonesia di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2024). 

Kendati demikian, Habib menyebut ada banyak sekali tantangan besar yang dihadapi. Di antaranya misalnya ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Ia menilai, untuk bisa menghadapi tantangan yang ada, semua stakeholder perlu memberi perhatian lebih pada sistem ekonomi. 

“Kita hanya memiliki waktu enam tahun lagi untuk mencapai tujuan SDGs, dan kita masih jauh tertinggal. Saya pikir salah satu hal terpenting adalah struktur ekonomi yang kita miliki,” ungkapnnya. 

 

Kapitalisme dan ekonomi syariah 

Habib menjelaskan sistem ekonomi yang paling dominan ada di dunia ini adalah kapitalisme yang lahir pada Zaman Pencerahan. Perspektifnya adalah neoliberal, dan salah satu yang menonjol dari era itu adalah bahwa agama dan etika disingkirkan dari wacana ekonomi. Konsep itu dinilai tidak sejalan dengan tujuan SDGs yang memiliki atensi pada manusia dan planet. 

“Jika Anda melihat wacana ekonomi konvensional, tidak ada diskusi tentang etika, dan tentu saja agama jelas bukan bagian darinya. Dalam sistem ini, kita melihat kerangka kerja yang tidak etis dimana modal memainkan peran yang sangat penting, itulah mengapa sistem ini disebut kapitalisme,” jelasnya. 

Habib menerangkan, modal adalah titik awal dan akhir dari kapitalisme, yang berfokus pada efisiensi. Sistem itu memang diakui dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain menimbulkan ketimpangan ekonomi. 

“Sistem ini memiliki ciri-ciri efisiensi menciptakan pertumbuhan, tetapi sayangnya salah satu masalah utamanya adalah sistem ini menciptakan kekayaan yang sangat besar dengan banyak ketimpangan. Masalah lainnya, dalam proses pemaksimalan keuntungan dan efisiensi, kita melihat bahwa eksternalitas yang memengaruhi lingkungan tidak diperhitungkan dalam ekonomi,” ujar dia. 

Sistem itu, lanjut Habib berkonsep homo economicus. Yang mana, jika itu perusahaan, tujuannya adalah memaksimalkan keuntungan. Jika itu konsumen, tujuannya adalah memaksimalkan utilitas. Baik individu, perusahaan, maupun proses produksi, menciptakan korporasi yang merupakan badan hukum. Lantas, ketika berbicara tentang badan hukum, tidak ada etika yang terlibat di dalamnya.

Habib mengkritisi tanpa adanya hukum yang diberlakukan kepada korporasi, segala nilai-nilai yang bernilai etika tidak akan dijalankan karena satu-satunya tujuan korporasi adalah memaksimalkan keuntungan, dengan otomatis tidak ada pertimbangan etika. 

“Tentu saja sistem ini menciptakan pertumbuhan, tetapi juga menciptakan ketimpangan dan juga kerusakan lingkungan, yang pada dasarnya bertentangan dengan SDGs. Saya kira kita melihat bahwa ada masalah struktural dalam sistem dominan yang kita miliki di dunia saat ini,” tutur dia. 

Lantas, Habib mengungkapkan mengenai perspektif Islam mengenai sistem tersebut. Yang kemudian berlanjut pada bagaimana ekonomi syariah berperan lebih potensial dan prospektif ke depan, sejalan dengan SDGs. 

“Sistem ekonomi Islam tentu saja berpedoman pada syariah dan fiqih. Tujuan keseluruhan syariah ditonjolkan untuk pada dasarnya meningkatkan kesejahteraan manusia. Beberapa ulama syariah mengatakan bahwa jika ingin meringkas syariah dalam satu kalimat, maka syariah ada untuk meningkatkan maslahat dan mencegah bahaya maslahat,” kata Habib. 

Syariah disebut menyediakan prinsip-prinsip hukum dan etika untuk mencapai kemaslahatan. Habib menyebut ada banyak sekali nilai dan prinsip etika di dalam Alquran dan Sunnah yang disebut dengan maqashid asy-syariah

Berdasarkan pemahamannya, di dalam ekonomi Islam, konsep muamalah memiliki prinsip bahwa segala sesuatu diperbolehkan kecuali yang dilarang oleh syariah. Adapun mengenai larangan, jumlahnya sangat sedikit, misalnya larangan terhadap jual beli minuman keras atau khamr dan perjudian. 

“Jadi selama Anda mengecualikan barang-barang terlarang ini, yang kita miliki adalah ekonomi halal atau ekonomi Islam. Dalam hal transaksi, larangan secara umum dapat diklasifikasikan sebagai riba dan gharar. Kita memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam hal etika,” kata Habib. 

Lebih lanjut, Habib mengatakan, konsep maqashid asy-syariah meliputi lima elemen, yakni agama, diri, kecerdasan, keturunan, dan kekayaan,. Itu menunjukkan bentuk sistem yang inklusif. 

Adapun konsep maqashid asy-syariah yang khusus untuk sistem ekonomi, ada lima maqashid yang terkait dengan ekonomi, yakni daya jual, transparansi, pelestarian, daya tahan, dan keadilan. 

“Jika berbicara tentang maqashid transaksi ekonomi, keadilan sangatlah penting. Jadi, dari maqashid transaksi ekonomi, satu hal yang dapat kita garis bawahi adalah bahwa jika berbicara tentang sistem ekonomi Islam, maka haruslah adil. Larangan Riba pada dasarnya adalah tentang keadilan komunikatif,” jelasnya. 

“Jadi intinya prinsip ekonomi Islam adalah harus inklusif dan harus adil,” tegasnya. 

Ekonomi Islam dan pembangunan keberlanjutan

Lebih lanjut, Habib mengorelasikan konsep ekonomi Islam dengan pembangunan berkelanjutan dalam hal lingkungan. Menurut sejumlah ulama, aspek lingkungan masuk di dalam maqashid

“Saya pikir perspektif Yusuf Qardhawi lingkungan memengaruhi semua lima maqashid yang terkait dengan manusia, dan dengan demikian perlindungan lingkungan menjadi aspek penting dari sistem ekonomi Islam,” kata dia. 

Habib menyebut, dalam buku Yusuf Qardhawi mengenai etika lingkungan, disebutkan bahwa ketika bicara tentang agen ekonomi dalam sistem ekonomi Islam, mereka menjadi apa yang disebut dengan homo islamicus, manusia diutus sebagai khalifah. Konsep khalifah sendiri diketahui merupakan pengelola, tidak hanya mengelola masyarakat, tetapi juga sumber daya alam (SDA). 

“Jadi menurut saya, dalam beberapa hal, inilah kerangka konseptual yang bis akita peroleh dari maqashid dalam konteks sistem ekonomi Islam. Fokus sistem ekonomi Islam adalah pengembangan manusia, baik sebagai tujuan maupun sebagai masukan,” tuturnya. 

Lebih lanjut, Habib mengatakan sebenarnya ada kemiripan antara kapitalisme dan sistem ekonomi syariah, yakni pada sistem modalnya. Namun, yang paling membedakan antara keduanya adalah adanya pertimbangan etika dimana pelaku ekonomi syariah bertindak sebagai khalifah. 

“Untuk memiliki sistem yang berkelanjutan, etis, dan inklusif, kita harus menyertakan etika agama. Sekarang, implikasinya di sini ialah bahwa jika Anda memiliki sistem ekonomi yang tidak menyertakan etika, dan hanya berfokus pada maksimalisasi keuntungan, kita tidak akan mampu memiliki pembangunan berkelanjutan,” tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler