Kamala Harris Janji Hentikan Serangan Israel ke Gaza Bila Terpilih
Warga Gaza tak berharap banyak dari kedua kandidat pilpres AS.
REPUBLIKA.CO.ID, MICHIGAN – Kandidat presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris, menyampaikan rayuan terakhirnya kepada warga Arab-Amerika saat berkampanye di negara bagian Michigan, dua hari sebelum pemilihan presiden AS. Pejabat wakil presiden AS itu menjanjikan akan mengakhiri serangan Israel ke Gaza bila terpilih.
Sebagai pengakuan atas kemarahan warga AS atas dukungannya terhadap Israel, ia mengatakan bahwa “tahun ini adalah tahun yang sulit, mengingat besarnya kematian dan kehancuran di Gaza serta banyaknya korban sipil dan pengungsian di Lebanon”.
“Ini sangat menghancurkan, dan sebagai presiden, saya akan melakukan apapun yang saya bisa untuk mengakhiri perang di Gaza”, katanya yang disambut tepuk tangan, dilansir Aljazirah. Ia menjanjikan untuk memulangkan para sandera, mengakhiri penderitaan di Gaza, memastikan keamanan Israel dan mendorong Palestina mewujudkan haknya atas martabat, kebebasan, keamanan dan penentuan nasib sendiri.
Pernyataan Harris menggemakan apa yang telah dia katakan selama kampanye selama berminggu-minggu. Sebelumnya, para kritikus mengecamnya karena gagal menghentikan bantuan AS kepada Israel ketika negara itu melancarkan perang di Gaza dan Lebanon.
Dukungan AS terhadap serangan brutal yang dilakukan AS di Gaza membayangi Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024. Warga Gaza tak berharap banyak pada kedua kandidat yang bersaing ketat, yakni Kamala Harris dari Donald Trump dari Partai Republik.
Dengan beberapa hari tersisa hingga pemilihan presiden AS, warga Palestina di Gaza mengatakan mereka tidak yakin apa sebenarnya arti kemenangan salah satu kandidat bagi perang Israel di wilayah tersebut. “Pemilu Amerika tidak akan mempengaruhi perang dengan cara apapun, dan tidak akan berdampak. Hal ini mungkin berdampak pada pemilih Amerika, namun tidak berdampak pada warga Palestina di Gaza,” kata Saleh Shonnar, seorang pengungsi Palestina di Deir el-Balah dilansir Aljazirah.
“Amerika adalah mitra israel dalam perang di Gaza, dan dalam pemusnahan anak-anak, perempuan dan orang tua,” tambahnya. Mustafa Abu Hamada, pengungsi Palestina lainnya, mengatakan dia lebih khawatir dengan kemenangan Trump.
“Kami berharap kepada Tuhan bahwa [hasil pemilu AS] akan menguntungkan rakyat Palestina, karena rakyat Palestina sudah lelah dan menderita. Biden menghabiskan empat tahun dan tidak memberikan apa pun untuk rakyat Palestina. Dia menjanjikan solusi dua negara, dan pada akhirnya tidak ada apa-apa,” kata Hamada.
“Dia mendukung masyarakat Israel, dan satu-satunya hal yang dia bicarakan adalah para tawanan. Bagaimana dengan orang-orang yang sedang sekarat? Kami meminta Amerika, jika Trump berhasil, untuk mengampuni rakyat Palestina.”
Tangan penuh darah administrasi Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan wakilnya Kamala Harris yang maju sebagai calon presiden dalam Pilpres AS tahun ini terkait genosida di Gaza memunculkan dilema bagi Muslim AS. Terlebih di sisi sebelah, ada kandidat Partai Republik Donald Trump yang punya rekam jejak Islamofobia.
Dengan memikirkan kematian dan kehancuran di Gaza, Soraya Burhani menderita memikirkan bagaimana cara memberikan suaranya untuk calon presiden pada hari pencoblosan 5 November nanti. “Bagi kami, umat Islam, saya melihat bahwa tidak ada pilihan yang baik,” kata warga Georgia itu dilansir Associated Press, kemarin.
Pemerintah AS belakangan dilaporkan mengetahui sedikitnya 500 insiden saat amunisi mereka dilakukan membantai warga Gaza namun tak mengambil tindakan. Sementara sikap AS memveto tiga kali resolusi gencatan senjata punya peran menimbun syuhada akibat serangan Israel di Gaza yang saat ini mencapai lebih dari 43 ribu jiwa.
Dengan fakta itu, banyak pemilih Muslim Amerika yang sebagian besar mendukung Presiden Joe Biden empat tahun lalu bergulat dengan keputusan pemungutan suara. Dukungan AS terhadap Israel membuat banyak dari mereka merasa marah dan diabaikan. Beberapa pihak berupaya menolak Partai Demokrat, termasuk dengan memilih opsi pihak ketiga untuk menjadi presiden.
Ada juga yang bergulat dengan cara mengekspresikan kemarahan mereka melalui kotak suara di tengah peringatan dari beberapa orang terhadap kepresidenan Donald Trump.