Analis: Trump Menang, Perang di Gaza Berhenti, Abraham Accord Lanjut

Pada 2017, Trump mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel.

AP Photo/Evan Vucci
Donald Trump
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga Amerika Serikat telah memberikan suaranya pada Pemilu Presiden 2024. Donald Trump mengungguli Kamala Harris dan bersiap untuk kembali ke Gedung Putih setelah empat tahun setelah kepergiannya.

Baca Juga


Kemenangan Donald Trump dan Partai Republik di Senat dinilai akan membawa dampak terhadap perang yang tengah terjadi di Timur Tengah. Termasuk,  kebijakan AS di kawasan tersebut, sikap AS terhadap Iran dan perjanjian perdamaian regional. 

"Kembalinya Trump kemungkinan akan berdampak pada perang Israel melawan Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon," ujar Direktur program MENA di lembaga pemikir Chatham House, Sanam Vakil dilansir Al-Arabiya, Kamis (7/11/2024). 

AS dikenal sebagai sekutu utama dan pendukung militer Israel. Pilpres tersebut pun dihelat  pada situasi kritis bagi Timur Tengah. "Saya pikir pemerintahan Trump, dan Presiden khususnya, akan berupaya menghentikan operasi militer yang sedang berlangsung di Gaza dan Lebanon," ucap Vakil."Namun, itu tidak serta merta berarti perdamaian sudah di depan mata," kata dia. 

Menurut dia, yang dihadapi saat ini adalah konflik yang berlangsung lama, di mana Israel masih diberi izin untuk mengatasi masalah keamanannya dan melemahkan Poros Perlawanan. Namun, menutup adanya penyelesaian politik atau negosiasi di masa mendatang. 

Vakil mengatakan, negara-negara di Timur Tengah, baik sekutu maupun musuh, sekarang akan memperhatikan dengan saksama. Mereka hendak melihat bagaimana hasilnya dapat membentuk kebijakan di kawasan tersebut.

Pertanyaan pun muncul tentang apakah pemerintahan AS mendatang akan mengubah arah dalam masalah kritis konflik dan diplomasi, dan apakah akan bekerja sama dengan Kongres yang kooperatif atau konfrontatif? 

 

Vakil mengatakan, masih ada pertanyaan mengenai bagaimana Trump akan menangani ketidakstabilan yang terjadi di kawasan tersebut, meskipun ia pernah menegaskan bahwa serangan Hamas pada 7 Oktober “tidak akan pernah terjadi” di bawah pemerintahannya.

"Saya pikir ada (beberapa) area yang (mungkin memengaruhi Timur Tengah). Pertama-tama, Trump berupaya mengakhiri kampanye militer di Gaza. Namun, itu tidak serta merta berarti cakrawala politik negara Palestina itu sendiri...melainkan mengakhiri kampanye militer dan mengakhiri konflik yang sedang berlangsung," jelas Vakil. 

Seorang wanita Palestina menangisi jenazah anak-anak yang syahid akibat serangan udara Israel di rumah sakit Indonesia, Jalur Gaza utara, 18 November 2023. - (AP Photo/Ahmed Alarini)

Kemungkinan lain adalah memberi tekanan maksimum terhadap Iran. Menurut Vakil, hal tersebut tidak berarti harus ada kesepakatan atau pergantian rezim, tapi hanya upaya untuk membatasi dan membendung kemampuan manuver Iran di Timur Tengah.

Selama masa jabatan pertamanya, Trump memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran setelah menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 dengan negara-negara besar dunia, yang telah membatasi aktivitas nuklir Teheran dengan imbalan insentif ekonomi.

Sanksi yang diperbarui pada 2018 ini berdampak parah pada ekspor minyak Iran, mengurangi pendapatan pemerintah, dan memaksa negara tersebut untuk mengadopsi tindakan yang tidak populer, seperti menaikkan pajak dan menjalankan defisit anggaran yang besar, sehingga inflasi tahunan tetap berada di kisaran 40 persen.

Selain itu, kata Vakil, Trump kemungkinan juga akan “menggandakan” Abraham Accord, serangkaian perjanjian yang menormalisasi hubungan antara Israel dan berbagai negara Arab.

Pada 2017, Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke sana. Dua tahun kemudian, ia mengakui kendali Israel atas Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki Israel selama Perang Enam Hari pada 1967 dan masih diklaim oleh Suriah. 

Trump juga memfasilitasi Abraham Accord. Proposal perdamaiannya pada 2020 bertujuan untuk memberikan kedaulatan kepada Israel atas wilayah Palestina yang luas. Trump baru-baru ini memuji Kesepakatan Abraham tersebut, yang mengisyaratkan ia akan mendorong perjanjian normalisasi lebih lanjut antara Israel dan negara-negara Arab.

Menyoroti pentingnya perjanjian damai, Trump mengatakan kepada Al-Arabiya bulan lalu bahwa dia akan berupaya memperluasnya jika dia menjadi presiden.

Vakil mengatakan, dorongan Trump untuk perluasan Perjanjian Abraham tersebut  kemungkinan menjadi salah satu item teratas dalam agendanya. Hal ini akan semakin kuat di bawah pemerintahan Trump, kata Vakil.

"Karena tidak banyak ide lain, dan pemerintahan yang akan datang akan melihat Kesepakatan tersebut sebagai kerangka kerja yang sangat baik untuk memperluas, berbagi, dan mentransfer pengelolaan konflik Timur Tengah ke negara-negara Timur Tengah," jelas Vakil. 

Sementara itu, pakar Israel di lembaga pemikir International Crisis Group, Mairav Zonszein mengatakan, masih harus dilihat bagaimana Trump akan menangani konflik di kawasan itu.

"Kita harus menerimanya dengan skeptis. Sungguh, masih terlalu dini untuk mengatakannya, dan kita harus melihat bagaimana keadaannya," ujar dia kepada AFP.

"Kita harus menerimanya dengan skeptis. Sungguh, masih terlalu dini untuk mengatakannya, dan kita harus melihat bagaimana keadaannya," ucap dia. 

Seorang analis politik Palestina dan mantan menteri dan diplomat, Ghassan Khatib mengatakan, "Saya pikir Trump mungkin akan terus mendukung Netanyahu dalam pertempurannya di Gaza dan di Lebanon dan mungkin di Suriah tanpa membiarkannya terlibat dalam perang besar-besaran melawan Iran."

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler