Pemimpin Dunia Arab Desak Genosida Dihentikan, Aksi Nyata atau Omon-omon ?
Sebagian besar negara Arab dinilai hanya menjadi pengamat pembantaian warga Gaza
REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH — Sejumlah pemimpin dunia Arab mendesak agar Israel segera menghentikan genosida kepada rakyat Palestina di jalur Gaza dan serangan terhadap rakyat Lebanon. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato perwakilan Kuwait, Bahrain, Oman, Sudan, Mauritania, Liaga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada pertemuan puncak Islam-Arab luar biasa di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, Senin (11/11/2024).
Pertemuan puncak tersebut membahas cara mengakhiri genosida Israel dan Lebanon, sebagai lanjutan atas pertemuan Arab-Islam di Riyadh, November tahun lalu, menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi.
Genosida
Putra Mahkota Kuwait Sheikh Sabah Al-Khaled Al-Sabah mengutuk tindakan Israel di Gaza sebagai "genosida" dan sebuah "penargetan sistematis terhadap nyawa warga Palestina."
Ia menekankan bahwa Israel tidak boleh diperlakukan istimewa di atas hukum internasional. Dia memperingatkan bahwa lembaga-lembaga internasional kini berada di persimpangan jalan karena genosida terus berlanjut di Gaza dan Lebanon.
Sementara itu, Khalid bin Abdullah Al Khalifa, wakil perdana menteri Bahrain, menekankan, perang berkepanjangan di Gaza dan perluasannya ke Lebanon telah memperburuk ketegangan dan eskalasi militer di wilayah tersebut.
Ia meminta masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas, memenuhi tanggung jawab kemanusiaan dan penegakan hukum. Dia juga meminta dunia segera mengakhiri permusuhan di Gaza dan Lebanon untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Eskalasi berbahaya
Menlu Oman Badr bin Hamad Al Busaidi mengatakaan situasi tragis yang terjadi di Palestina dan Lebanon telah meningkatkan ketegangan ke level berbahaya di seluruh Timur Tengah, mengancam stabilitas regional, yang hanya bisa dicapai dengan visi komperehensif berdasarkan hak dan keadilan.
Senada dengan Badr, Presiden Mauritania Mohammed Ould Cheikh Ghazouani menggaungkan sentimen serupa, mengkritik Israel atas genosida dan mendesak gencatan senjata serta kemerdekaan Palestina.
Ketua Dewan Kedaulatan Sudan Abdel Fattah al-Burhan menyerukan masyarakat internasional untuk mempercepat gencatan senjata, penerapan solusi dua negara dan mencegah meluasnya konflik, termasuk menghentikan pemindahan paksa warga Palestina dan memastikan bantuan kemanusiaan sampai kepada pengungsi.
Kelambanan internasional
Di bidang organisasi, Sekretaris Jenderal OKI Hussein Ibrahim Taha mengutuk agresi militer dan genosida terang-terangan Israel di Palestina dan Lebanon. OKI menyerukan gencatan senjata segera dan menyeluruh.
Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit menyuarakan sentimen yang sama. Gheit menuduh masyarakat internasional gagal mencegah nafsu berdarah Israel, yang memicu siklus kekerasan dari Gaza ke Lebanon dan membahayakan stabilitas kawasan.
Ia menekankan bahwa gencatan senjata segera di Gaza dan Lebanon sangat penting, karena pertemuan puncak tersebut mengirimkan pesan kuat bahwa bahaya telah mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi lagi.
Akhir bulan lalu, Arab Saudi menyerukan pertemuan puncak gabungan Arab-Islam untuk mengatasi serangan Israel yang terus berlanjut di wilayah Palestina dan Lebanon serta situasi yang memburuk di kawasan tersebut.
Kritik terhadap dunia Arab
Pertemuan di Riyadh bukanlah yang pertama kali dilakukan para pemimpin Arab. Sebelumnya, Arab Saudi juga mendeklarasikan diri sebagai pimpinan di kawasan yang akan menghentikan genosida di Gaza saat mengumpulkan negara-negara Islam. Akan tetapi, wacana tersebut hanya muncul di permukaan.
Para pemimpin Arab bahkan tidak mau melepaskan hubungan diplomatik dan hubungan dagang saat Israel tengah melakukan pembantaian. Dilansir dari Aljazirah, negara-negara tersebut seperti Jordania, Mesir, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Sudan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Tiga negara terakhir meneken pembukaan hubungan tersebut lewat perjanjian Abraham Accords.
Saat Israel melanjutkan perang genosida di Gaza, dan memperluasnya ke Lebanon, sebagian besar negara Arab dinilai hanya menjadi pengamat atau pendukung pembantaian warga sipil di Gaza dan Lebanon dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Analis politik dari Middle East Eye, Miged Mandour, dalam artikelnya bertajuk How Arab Autocrats Enable Israel Gaza Genocide, menulis, adanya ancaman perang regional berskala besar yang membayangi sehingga dapat menimbulkan efek yang sangat mengganggu stabilitas seluruh kawasan, tampaknya tidak membuat negara-negara Arab menahan kesombongan kekaisaran Israel.
Mandour mengungkap, ada alasan kuat untuk menyatakan bahwa pendorong utama krisis yang melanda Timur Tengah saat ini tidak lain adalah Amerika Serikat. Negeri yang mengklaim sebagai polisi dunia ini secara efektif telah mendanai perang Israel di Gaza dan Lebanon, dengan bantuan mencapai 17,9 miliar dolar AS sejak 7 Oktober 2023. Amerika Serikat juga telah memberikan perlindungan diplomatik kepada Israel dan memberi lampu hijau kepada pemerintah sayap kanannya untuk memperluas perang ke Lebanon.
Namun, hal ini mengabaikan aspek penting dari dinamika tersebut. Yaitu, kesombongan kolonial Israel menganggap kemampuannya untuk membentuk kembali Timur Tengah melalui kekerasan massal dipicu oleh sifat otokratis negara-negara Arab dan kegagalan gerakan demokrasi di kawasan tersebut.
Lebih dari satu dekade setelah Arab Spring yang melanda wilayah tersebut, menghasilkan negara-negara yang lemah, dengan legitimasi yang diperebutkan. Negara-negara Arab dinilai hanya mampu menjalankan kekuasaan terhadap warga negaranya sendiri melalui kekerasan massal - tidak berbeda dengan cara Israel memperlakukan Palestina.
Dalam banyak hal, logika bertahan hidup rezim dengan cara apa pun telah mengikis kemampuan negara-negara ini untuk mempengaruhi peristiwa di kawasan. Dalam beberapa kasus, fondasi sosial negara nasional itu sendiri.
Aliran bantuan AS
Contoh penting dari hal ini adalah Mesir, negara Arab yang paling banyak penduduknya dan satu-satunya yang berbatasan dengan Jalur Gaza, yang secara teoritis menjadikannya salah satu negara Arab yang paling berpotensi memengaruhi konflik dan menahan agresi Israel.
Mesir juga merupakan sekutu dekat AS, menerima bantuan sebesar 183,5 miliar AS sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Mesir pun memiliki potensi sebagai calon mitra bicara dengan pelindung Israel.
Namun, posisi strategis ini dikalahkan oleh obsesi pemerintahan Sisi untuk bertahan hidup, yang menempatkannya dalam hubungan ketergantungan dengan Israel, bahkan ketika Israel mengancam stabilitas yang sangat didambakan Sisi.
Israel dinilai memainkan peran yang tidak dapat dianggap remeh dalam konsolidasi pemerintahan Sisi setelah kudeta 2013, dengan menawarkan dukungan politik, kerja sama keamanan, dan hubungan ekonomi yang lebih dalam demi keuntungan langsung para elit Mesir.
Misalnya, selama musim panas tahun 2013, setelah kudeta yang menggulingkan presiden terpilih, Mohamed Morsi, Komite Urusan Publik Amerika-Israel (Aipac) melakukan lobi atas nama otokrasi militer yang masih muda untuk memastikan keberlanjutan aliran bantuan Amerika.
Hubungan dekat antara Presiden Abdel Fattah el-Sisi dan kelompok lobi Zionis berlanjut, dengan laporan yang muncul pada bulan Februari 2017 bahwa Sisi bertemu dengan perwakilan kelompok pro-Israel yang paling berpengaruh, termasuk Aipac, Friends of the Israel Defense Forces (FIDF) dan Zionist Organization of America (Zoa) lima kali dalam 20 bulan.
Hubungan antara Sisi dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah digambarkan sebagai hubungan paling dekat antara pemimpin kedua negara sejak perjanjian damai tahun 1979.
Kedekatan yang nyata ini berakar pada kerja sama keamanan yang erat antara kedua negara, dengan laporan yang muncul pada tahun 2018 bahwa, dalam dua tahun sebelumnya, Israel telah melakukan lebih dari 100 serangan udara terhadap militan di Sinai, dengan persetujuan Kairo.
Kerja sama keamanan ini diperluas untuk mencakup penindasan langsung terhadap perbedaan pendapat damai di Mesir, dengan penjualan perangkat lunak mata-mata Israel kepada pemerintahan Sisi, yang digunakan untuk meretas telepon Ahmed Tantawy , seorang anggota terkemuka oposisi sekuler.
Kedalaman aliansi meluas ke sektor energi, dengan kesepakatan senilai $15 miliar yang ditandatangani pada tahun 2018 antara kedua negara untuk mengimpor gas Israel untuk diekspor kembali dalam bentuk cair.
Investigasi yang dilakukan aktivis hak asasi manusia Hossam Bahgat mengungkap bahwa perusahaan swasta Mesir yang bertanggung jawab atas kesepakatan itu dikelola oleh Badan Intelijen Umum Mesir (GIS), yang memungkinkan elit keamanan negara itu mengambil untung langsung dari kesepakatan itu.