Fenomena Childfree di Indonesia Melonjak, Bagaimana Dampaknya di Masa Depan?
BPS melansir data bahwa sebanyak 71 ribu perempuan memilih childfree pada 2022.
Oleh: Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini menunjukkan peningkatan pasangan di Indonesia yang memilih tak memiliki anak (childfree). Bagaimana fenomena ini akan memengaruhi masyarakat dan bangsa Indonesia kedepannya?
Pertama-tama, mari tengok temuan BPS yang dilansir DATAin dalam laporan berjudul "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia" itu. Menurut laporan tahunan 2023 tersebut, prevalensi perempuan childfree yang hidup di Indonesia saat ini sekitar 8 persen. “SUSENAS 2022 mengestimasi angka tersebut terhadap “perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin namun belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup serta tidak menggunakan alat KB” dan diperoleh 71 ribu dari mereka tidak ingin memiliki anak.”
Angka itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, misalnya, sebanyak 7 persen perempuan yang memilih childfree. Jumlah itu sempat turun menjadi 6,3 persen pada 2020, namun kemudian meningkat menjadi 6,5 persen pada 2021 dan akhirnya melonjak menjadi 8,2 persen pada 2022. BPS memerkirakan, angkanya lebih tinggi tahun ini.
BPS menganalisis, ada sejumlah penyebab terkait fenomena ini. Perempuan yang mengejar pendidikan lebih tinggi diprediksi lebih sering menunda dan bahkan tidak berkeinginan untuk memiliki anak, khususnya mereka yang menempuh S2 atau S3. Meski begitu, menurut BPS keputusan hidup childfree di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh membaiknya level pendidikan, namun juga dilatari oleh kesulitan ekonomi. SUSESAS 2022 mencatat bahwa sekitar 57 persen perempuan yang memilih childfree ternyata tak bekerja.
Meski demikian, BPS juga menganalisis bahwa ada faktor lain kemungkinan berperan. "Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga mejadi alasan tersembunyi," tulis laporan tersebut.
Jika ditengok dari wilayah, persentase terbanyak fenomena childfree juga mengemuka di wilayah dengan jumlah penduduk tertinggi, yakni di Pulau Jawa. Di DKI Jakarta, misalnya, persentase perempuan childfree melonjak nyaris dua kali lipat dari 8,8 persen pada 2019 menjadi 14,3 persen pada 2022. Di Jawa Barat juga terdeteksi lonjakand ari 7,8 persen pada 2019 menjadi 11,3 persen. Lonjakan tertinggi terjadi di Banten, yakni 8,0 persen pada 2019 menjadi 15,3 persen pada 2024.
“Indonesia beresiko kehilangan segmen generasi tertentu dalam piramida penduduk jika tren ini terus berlanjut,” tulis BPS. Merujuk BPS, TFR di Indonesia merosot tajam lima dekade belakangan. Pada 1970-an, pasangan-pasangan di Indoensia rerata memiliki 5,61 anak. Jumlah ini anjlok menjadi rata-rata 2,18 anak pada 2020.
Angka tersebut ada di tubir keseimbangan populasi. Para demograf menyimpulkan, tingkat fertilitas yang ideal untuk komunitas tertentu yang disebut "replacement level" atau "tingkat penggantian" adalah 2,1 anak per perempuan. Dengan angka itu, anak-anak yang lahir cukup untuk menggantikan mereka yang meninggal di populasi tertentu.
Bagaimana kemudian fenomena ini akan memengaruhi masa depan Indonesia khususnya dan dunia secara keseluruhan? Merujuk analisis Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), gambarannya tak menggembirakan.
OECD mencatat, tingkat kesuburan total turun dari 3,3 anak per perempuan pada 1960 menjadi hanya 1,5 anak per perempuan pada tahun 2022, rata-rata di seluruh negara OECD. Angka ini jauh di bawah “tingkat penggantian” yaitu 2,1 anak per perempuan yang diperlukan untuk menjaga populasi tetap konstan tanpa adanya migrasi. Tingkat kesuburan total termasuk rendah di Italia dan Spanyol, yaitu 1,2 anak per perempuan pada tahun 2022, dan terendah di Korea, dengan perkiraan 0,7 anak per perempuan pada tahun 2023.
Tingkat kesuburan yang rendah dapat menyebabkan penurunan populasi pada dekade mendatang, dengan jumlah kematian yang melebihi jumlah kelahiran untuk pertama kalinya dalam setidaknya setengah abad. Jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas untuk setiap 100 orang usia kerja juga diproyeksikan meningkat dua kali lipat dari 30 orang pada tahun 2020 menjadi 59 orang pada 2060 di seluruh wilayah OECD.
Hal ini ujung-ujungnya akan memicu penyusutan populasi pekerja seperti yang terjadi di Jepang. Ini juga dapat menyebabkan masyarakat menua sehingga memberikan tekanan sosial dan ekonomi yang signifikan kepada pemerintah, terutama untuk meningkatkan pengeluaran untuk layanan pensiun dan kesehatan.
Potensi dampak ini di Indonesia juga diamini BPS. "Dalam jangka pendek, perempuan childfree dapat dikatakan meringankan beban anggaran pemerintah karena subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak menjadi berkurang. Namun dalam jangka panjang, kesejahteraan perempuan childfree usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara."
Kejatuhan bangsa...
Apakah ada contoh tingkat kelahiran ini berdampak signifikan terhadap keberlangsungan populasi tertentu. Jawabannya afirmatif, merujuk Emmanuel Todd, seorang antropolog dan sejarawan Perancis sekaligus pakar struktur keluarga dan perannya dalam pembangunan politik dan ekonomi.
Ia jadi sorotan ketika pada 1976 menerbitkan “La Chute Finale". Buku tersebut kala itu memprediksi kejatuhan Uni Soviet dalam waktu dekat. Meski sekarang terbukti benar, saat buku itu terbit sangat sukar mempercayai bahwa negara adidaya saingan Amerika Serikat itu bisa runtuh.
Todd menggunakan pendekatan yang unik dalam menjelaskan keruntuhan Soviet kala itu. Ia mendasari prediksinya dari penurunan angka kelahiran dan statistik demografi lainnya. Meski merupakan negara adidaya, Soviet kala itu mengalami peningkatan angka kematian bayi, struktur keluarga, dan indikasi demografis lainnya.
Belakangan, Emmanuel Todd kembali menerbitkan buku serupa. Kali ini yang ia prediksi akan jatuh adalah Barat, yang artinya Amerika Serikat dan Eropa. Dalam bukunya La Défaite de l’Occident (2023), Todd menyimpulkan bahwa memudarnya kejayaan Barat sudah dimulai dari serangan Rusia ke Ukraina yang sejauh ini tak bisa dihentikan negara-negara NATO.
Serangan Rusia itu juga berbarengan dengan sejumlah kondisi demografi. Dari tahun 2000 hingga 2017, kira-kira sejak awal pemerintahan Putin, angka kematian akibat alkoholisme di Rusia turun dari 25 per 100 ribu warga menjadi 8. Angka bunuh diri menurun dari 39 hingga 13 per 100 ribu orang. Sedangkan untuk angka kematian bayi, yang merupakan standar utama tingkat pembangunan suatu negara, di bawah pemerintahan Putin angka tersebut turun dari 19 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 4,4. Todd mengutip UNICEF yang mencatat bahwa tingkat kematian ini lebih rendah dari di Amerika yang saat ini adalah 5,5 per 1.000.
Sebaliknya, kondisi demografi di Barat terganggu oleh degradasi struktur keluarga yang merosot kian tajam belakangan. Seperti yang disimpulkan BPS soal fenomena childfree di Indonesia, gaya hidup homoseksualitas punya peran dalam hal ini.
Ia mengatakan revolusi LGBT, yang menandai berakhirnya secara pasti agama Kristen sebagai kekuatan moral penopang struktur keluarga yang dominan di Barat. Antara 2005 dan 2015, hampir setiap negara di bawah pengaruh Amerika melegalkan pernikahan sesama jenis, dan sebagian besar negara melangkah lebih jauh dengan melakukan normalisasi dan percepatan transgenderisme. Sementara genderisme radikal juga menguat.
Hal ini akan berujung pada depopulasi di Barat. Perubahan demografi ekstrem juga akan mengambil tempat bila akhirnya imigran akan mencapai populasi yang signifikan sehubungan merosotnya tingkat fertilitas penduduk kulit putih di Eropa. Perubahan demografi itu, pada akhirnya, menurut Todd, akan memicu kejatuhan Barat.
Meski yang terjadi di Indonesia belum seekstrem yang berlaku di negara-negara Barat dan Asia Timur, analisis Todd patut dipertimbangkan. Bahwa pada akhirnya kombinasi fenomena childfree, keengganan menikah, dan merebaknya gaya hidup homoseksual bisa juga berujung perubahan signifikan demografi di Indonesia dan jadi petaka di masa depan.