Keputusan Tanpa Anak: Menyoroti Fenomena Childfree di Indonesia
Pilihan hidup tanpa anak semakin marak, manantang norma sosial dan keluarga. Apa latar belakang dan dampaknya? Simak tren yang satu ini.
Keputusan Tanpa Anak: Menyoroti Fenomena Childfree di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “childfree” semakin marak terdengar di tengah masyarakat Indonesia. Bukan hanya sekedar keputusan pribadi, namun fenomena ini ternyata juga menjadi cerminan dari suatu perubahan nilai, tantangan sosial terhadap norma tradisional, dan juga ekspektasi sosial yang mengharuskan bahwa setiap pasangan harus memiliki keturunan. Meskipun sering dihadapkan dengan stigma dan juga pertanyaan dari masyarakat, tidak sedikit juga individu ataupun pasangan yang tetap berani untuk mengekspresikan keputusan mereka dalam memilih hidup tanpa anak dengan berbagai alasan dibaliknya. Keputusan ini memunculkan diskusi yang menarik mengenai bagaimana pandangan sosial, peran keluarga serta persepsi agama dalam melihat fenomena ini.
Childfree merupakan istilah yang merujuk pada individu atau pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui proses adopsi. Keputusan ini berbeda dengan istilah childless, yang menunjukkan ketidakmampuan untuk memiliki anak karena alasan medis. Memilih hidup tanpa anak tidak ada kaitannya dengan kesehatan fertilitas seseorang, tetapi murni karena pilihan hidup. Pilihan childfree ini kerap kali didasarkan pada keinginan untuk fokus pada karier, kesehatan mental, kebebasan finansial dan juga berbagai alasan pribadi lainnya. Bagi mereka, masyarakat yang memutuskan untuk childfree beranggapan bahwa akan ada banyak hal yang harus dikorbankan mulai dari aspek sosial, ekonomi, bahkan psikologi saat parenting. Fenomena ini sering muncul pada masyarakat dengan tingkat urbanisasi tinggi dan adanya perubahan pola pikir terhadap peran keluarga tradisional.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan bahwa childfree mulai berkembang sejak abad ke-16 di Eropa. Hal ini diperkuat dengan adanya perkembangan industri yang menyebabkan seseorang untuk lebih fokus dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Selain itu, dengan adanya dampak dari demokratisasi yang ditandai dengan faktor pendidikan yang semakin baik telah melahirkan pola pikir baru mengenai anak dalam sebuah hubungan keluarga.
“Anak itu sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban. Apalagi perempuan-perempuan yang memang menjadi pusat dari kelahiran manusia tadi kemudian juga makin banyak yang sekolah, makin banyak kesadaran baru, sehingga kemudian secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak dengan berbagai alasannya,” papar dia.
Menurut Doyle, berkembangnya jumlah perempuan yang memilih childfree dipicu oleh penemuan alat kontrasepsi yang aman, pendidikan yang semakin meningkat, serta merebaknya advokasi kesetaraan gender. Crawford dan Solliday juga berpendapat bahwa orientasi homoseksual juga mempengaruhi keputusan untuk hidup childfree.
Secara global, tren childfree ini sudah mulai mendapat perhatian sejak tahun 1970-an, terutama di negara-negara Barat yang mempunyai nilai-nilai yang lebih individualistik. Namun, di Indonesia, fenomena ini baru mulai terlihat dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya akses pendidikan, karier, dan perubahan gaya hidup modern yang lebih independensi.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran di Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Angka kelahiran di Indonesia pada tahun 2020 adalah 4,69 juta dan terus menurun setiap tahunnya hingga pada tahun 2023 angka kelahiran di Indonesia menjadi 4,62 juta. Meskipun belum secara khusus mencatat angka pasangan childfree, tren ini mengindikasikan adanya perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap keluarga dan memiliki anak.
Pada tahun 2022, Prevalensi perempuan childfree yang hidup di Indonesia sekitar 8%. SUSENAS mengestimasi angka tersenut pada perempuan yang berusia 15-49 tahun yang sudah pernah kawin namun belum pernah melahirkan anak namun dalam keadaan hidup dan juga tidak sedang menggunakan alat KB dan diperoleh 71 ribu dari mereka tidak ingin mempunyai anak. Pravalensi perempuan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak diperkirakan juga akan meningkat di tahun berikutnya dilihat dari presentase perempuan childfree dalam empat tahun terakhir yang cenderung naik. Jika tren childfree ini terus berlanjut, Indonesia beresiko kehilangan segmen generasi tertentu dalam piramida penduduk.
Di sisi lain, keputusan childfree di Indonesia masih sering kali memicu kontroversi dan stigma dari lingkungan sosial, terutama yang menganggap bahwa memiliki anak adalah kewajiban setelah menikah. Meskipun demikian, masih banyak orang yang mengadvokasi keputusan ini dengan alasan kesejahteraan pribadi dan kebebasan dalam memutuskan jalan hidup mereka.
Fenomena childfree di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai reaksi dan pandangan sosial yang cenderung beragam, namun umumnya konservatif. Di negara yang menganggap keluarga sebagai pondasi utama masyarakat, keputusan untuk tidak memiliki anak sering kali dipandang sebagai pilihan yang tidak lazim atau bahkan dapat dikatakan menyimpang dari norma sosial.
Masyarakat Indonesia, yang masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, sering kali menganggap bahwa mempunyai anak merupakan tahap penting dalam kehidupan pernikahan. Anak dianggap sebagai simbol kesuksesan dalam pernikahan, penerus keturunan, serta sumber kebahagiaan keluarga. Oleh karena itu, pasangan yang memutuskan untuk childfree sering kali dianggap tidak sempurna atau bahkan juga egois karena dianggap telah mengabaikan tanggung jawab untuk memiliki keturunan.
Stigma yang melekat pada keputusan childfree ini sering memicu pertanyaan atau komentar yang tidak nyaman dari lingkungan sekitar. Misalnya pertanyaan seperti “Kapan punya anak?” atau “Nggak takut menyesal nanti?” menjadi tekanan psikologis yang dihadapi pasangan childfree. Dalam banyak kasus, pilihan untuk tidak memiliki anak dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap tradisi dan kewajiban sosial.
Tekanan sosial untuk memiliki anak di Indonesia sangat kuat, terutama di lingkungan yang masih memegang teguh nilai-nilai patriarki dan tradisional. Dalam keluarga besar, harapan untuk memiliki cucu, melanjutkan nama keluarga, dan menjaga silsilah sering kali membuat keputusan childfree menjadi sulit diterima. Di tingkat keluarga, keputusan childfree sering kali memicu ketidaksetujuan dari orangtua dan kerabat. Dalam budaya negara ini, peran anak sangat penting sebagai penerus keluarga dan sumber dukungan emosional di masa tua. Selain itu, pasangan yang memilih childfree sering dihadapkan pada tekanan dari teman sebaya yang telah memiliki anak. Menciptakan perasaan terisolasi atau dianggap tidak mengikuti jalur hidup yang normal.
Dari sudut pandang agama, sebagian besar ajaran agama di Indonesia, baik Islam, Kristen, Hindu, maupun agama lainnya, memandang anak sebagai anugerah dan bagian integral dari kehidupan pernikahan. Islam, misalnya mengajarkan pentingnya memperbanyak keturunan untuk melanjutkan umat. Al-Qur’an dan hadis Nabi sering dijadikan dasar bahwa memiliki anak merupakan bagian dari tujuan pernikahan. Oleh karena itu, pilihan childfree sering dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mendukung keluarga besar dan pentingnya memiliki keturunan.
Keputusan childfree dipengaruhi oleh berbagai alasan yang berakar pada perubahan gaya hidup modern. Dari segi ekonomi dan karier, banyak pasangan memilih untuk tidak memiliki anak agar bisa fokus pada karier dan mencapai kestabilan finansial. Biaya hidup yang semakin tinggi, terutama di perkotaan, turut mempengaruhi keputusan ini. Psikolog juga mencatat bahwa childfree sering kali dipilih demi menjaga Kesehatan mental dan mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik, tanpa tekanan tanggung jawab sebagai orang tua. Selain itu, alasan filosofis atau lingkungan juga sering diangkat, dengan beberapa pasangan yang peduli terhadap overpopulasi dan dampaknya terhadap lingkungan.
Dari segi dampak, para pakar mencatat adanya dampak psikologis positif berupa kepuasan pribadi dan kebebasan. Namun, mereka juga mengingatkan potensi dampak negative, seperti perasaan terisolasi atau penyesalan di usia tua, terutama karena tekanan sosial yang kuat. Relasi sosial pasangan childfree dapat terganggu, khususnya dengan keluarga dan teman yang memiliki anak, mengakibatkan perasaan terpinggirkan dalam lingkungan sosial yang berpusat pada kehidupan keluarga.
Secara ekonomi, pasangan childfree memiliki keuntungan berupa kebebasan finansial yang lebih besar, namun dalam jangka panjang, tren ini bisa berdampak pada struktur sosial. Penurunan angka kelahiran dapat memicu tantangan berupa penuaan populasi dan kekurangan tenaga kerja di masa depan, yang pada akhirnya memengaruhi keseimbangan ekonomi dan sistem jaminan sosial suatu negara.
Fenomena childfree di Indonesia mencerminkan perubahan besar dalam pandangan masyarakat terhadap keluarga, pernikahan, dan peran individu dalam masyarakat. Meskipun keputusan untuk tidak memiliki anak sering kali dihadapkan pada stigma dan tekanan sosial yang kuat, semakin banyak pasangan yang memilih untuk menjalani hidup sesuai keinginan dan nilai pribadi mereka. Dengan latar belakang yang beragam mulai dari alasan finansial hingga kesehatan mental, childfree menjadi bagian dari transformasi nilai-nilai modern yang menantang norma-norma tradisional.
Namun, keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Dampak psikologis, sosial, dan ekonomi, baik bagi individu maupun masyarakat, harus dipertimbangkan. Di satu sisi, childfree memberikan kebebasan dan kesejahteraan pribadi, namun di sisi lain, dapat memicu konflik sosial dan ketidakstabilan demografis di masa depan.
Pada akhirnya, pilihan untuk memiliki atau tidak memiliki anak adalah hak setiap individu dan pasangan, yang seharusnya dihormati tanpa penghakiman. Perubahan pandangan terhadap fenomena ini mungkin akan semakin berkembang seiring dengan kemajuan pendidikan dan kebebasan individu dalam menentukan jalan hidup mereka sendiri. Fenomena childfree, meski masih dianggap kontroversial, merupakan bukti nyata bahwa masyarakat kita sedang berproses menuju pemahaman yang lebih inklusif dan beragam tentang makna keluarga.