Razia Syariat Islam di Aceh, Lantas Bagaimana dengan Non-Muslim?
Ada empat aspek pelanggaran yang dirazia yakni busana, khalwat, ikhtilat, dan hamar.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Otoritas Aceh menggelar razia syariat Islam fokus terhadap empat aspek pelanggaran yakni busana, khalwat, ikhtilat, dan hamar. Operasi razia itu akan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol-WH) Kota Banda Aceh.
Lantas bagaimana dengan Non-Muslim, apakah akan dirazia?
Menurut Kepala Bidang Penegakan Syariat Islam Satpol PP-WH Banda Aceh Roslina A Djalil, di Banda Aceh, petugas memberikan toleransi kepada non-Muslim yang tidak mengenakan jilbab tanpa ada paksaan untuk memakai jilbab bagi mereka.
"Tetapi, non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan tetap diminta memakai pakaian yang sopan sebagai bentuk menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh," katanya, Sabtu.
Lantas terkait perbuatan khalwat adalah adanya laki-laki dan perempuan bukan muhrim yang secara sengaja berdua-duaan di tempat sunyi.
Sementara, ikhtilat yakni laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan melakukan perbuatan bermesraan (berciuman, berpelukan atau bentuk sentuhan lainnya) baik di tempat sunyi ataupun terbuka, dan khamar (minuman keras).
Dia menegaskan bagi pelanggar busana maka diberikan sanksi pembinaan oleh petugas dan membuat pernyataan tidak mengulanginya lagi.
"Mereka juga diminta untuk menandatangani surat pernyataan/perjanjian tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang melanggar qanun syariat Islam," ujarnya.
Sedangkan untuk pelanggar khalwat, ikhtilat dan khamar, akan dikenakan sanksi hukuman cambuk sesuai ketentuan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Roslina menjelaskan bagi pelaku khalwat diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 10 kali atau denda paling banyak 100 gram emas murni atau penjara paling lama 10 bulan.
Kemudian ikhtilat, diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 30 kali atau denda paling banyak 300 gram emas murni atau penjara paling lama 30 bulan.
"Lalu, bagi yang menyediakan fasilitas jaga terancam 45 kali cambuk atau denda 450 gram emas murni atau penjara 45 bulan," katanya.
Selanjutnya, terhadap kasus orang yang sengaja minum khamar diancam 40 kali cambuk. Sedangkan, bagi yang memproduksi, menyimpan, menjual atau memasukkan diancam cambuk maksimal 60 kali atau denda paling banyak 600 gram emas murni atau penjara paling lama 60 bulan.
"Terakhir, setiap orang yang sengaja membeli, membawa/mengangkut atau menghadiahkan khamar diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 20 kali atau denda paling banyak 200 gram emas murni atau penjara paling lama 20 bulan," demikian Roslina.
Sejarah penerapan syariat
Seperti dilansir dari laman atjehwatch, penerapan syariat Islam di Aceh sebenarnya telah berlaku di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ada, yaitu sejak memerintahnya Raja Iskandar Muda. Kemudian dilanjutkan masa setelah kemerdekaan, masa Orde baru, reformasi dan sampai dengan masa sekarang ini.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usahanya adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam.
Kemudian, Peradilan Islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang diatur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini
Pada tahun 1998, sebagai salah satu komitmen penyelesaian konflik di Aceh, pemerintah pusat di Jakarta menerbitkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh. Kemudian dikuatkan lagi dengan hadirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dua undang-undang ini menjadi dasar pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) sebagai perangkat daerah di Aceh.