Sejarah Muhammadiyah: Bermula dari Dakwah Sang Pencerah
Muhammadiyah kini tepat berusia 112 tahun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mencapai 112 tahun. Sejak awal berdirinya, gerakan Islam ini konsisten melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar serta tajdid yang bersumber pada Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tujuannya mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kelahiran Muhammadiyah tidak terpisahkan dari pemikiran, sikap, dan perjuangan KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Lahir dengan nama Muhammad Darwisy, ia berasal dari keluarga alim ulama. Ayahandanya, KH Abu Bakar, merupakan khatib Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta—posisi yang di kemudian hari juga dijalaninya. Seperti halnya KH Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia termasuk keturunan Wali Songo.
Bila silsilah pendiri Nahdlatul Ulama (1926) tersebut dapat dirunut hingga Maulana ‘Ainul Yaqin alias Sunan Giri, Kiai Ahmad Dahlan memiliki nasab yang bersambung pada Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik. Jika ditelusur lebih lanjut, kedua Wali Songo itu merupakan keturunan Rasulullah SAW.
Tatkala berusia 15 tahun, Muhammad Darwisy berangkat ke Tanah Suci. Usai musim haji, pemuda ini menuntut ilmu pada para masyayikh di Haramain selama lima tahun. Sebelum berencana kembali ke Tanah Air, ia memperoleh nama baru dari Sayyid Bakri Syatha, yakni “Ahmad Dahlan.” Sebab, gurunya di Masjidil Haram itu melihat Darwisy memiliki banyak kemiripan sifat dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii di Makkkah.
Pada 1888, ia kembali ke Tanah Air. Kesultanan Yogyakarta kemudian mengangkatnya menjadi salah satu dari 12 khatib (ketib amin) di Masjid Agung. KH Ahmad Dahlan tinggal di sebuah rumah di Kampung Kauman. Selain menjalankan tugas-tugas resmi di Masjid Agung, suami Siti Walidah ini juga memberikan pelajaran agama Islam di rumahnya serta terlibat dalam perdagangan kain batik.
Saat berusia 35 tahun, KH Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Saat menuntut ilmu di Makkah, ia amat terkesan dengan ide-ide para pemikir Islam modernis, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).
Menurut Mitsuo Nakamura dalam buku The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town 1910s-2010, pemikiran ketiga tokoh reformis tersebut membuka kesadaran putra abdi dalem Kesultanan Yogyakarta itu.
Kiai Dahlan merasa, betapa keterbelakangan kaum Muslimin Jawa dan penderitaan mereka di bawah kekuasaan kolonial Belanda berakar pada buruknya keadaan Islam di Jawa, yang terkontaminasi oleh sinkretisme dan penyimpangan. Maka, ia mulai menganjurkan perlunya umat Islam kembali pada ajaran Alquran dan Sunnah yang murni, menghidupkan agama ini melalui ijtihad, serta menolak taklid.
Usai dua tahun belajar di Tanah Suci, KH Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta dengan membawa semangat pembaruan agama. Berbagai tajdid dilakukan sang ketib amin dalam praktik-praktik keislaman. Misalnya, penggunaan bahasa lokal, alih-alih bahasa Arab, dalam menyampaikan khutbah Jumat dan pengajian di Masjid Agung. Dengan demikian, ajaran Islam dapat lebih dimengerti oleh jamaah, terutama mereka yang awam.
Pembaruan yang dibawa Kiai Ahmad Dahlan bukan tanpa tantangan. Masyarakat, terutama lapisan elite keraton, cenderung keras mempertahankan tradisi keagamaan mereka yang eksklusif dan stagnan secara turun-temurun. Sebagai seorang abdi dalem, Kiai Dahlan pun berada dalam posisi dilematis.
Di satu sisi, ia dituntut untuk seiring sejalan dengan kebanyakan pemuka agama di lingkungan Keraton, terutama dalam memelihara mata rantai tradisi beragama yang sekaligus merupakan simbol kewibawaan raja Yogyakarta (Sri Sultan) sebagai “Senopati ing Ngalogo” dan “Sayyidin Panatagama.” Di sisi lain, Kiai Dahlan tidak mungkin dan tidak bisa menawar-nawar, apalagi berpaling dari, misi dakwah Islam di tengah umat.
Untuk itu, ia memilih tetap memelihara cinta kasih terhadap sesama Muslim (ruhama’u bainahum) dan jalan dialogis, alih-alih konfrontatif. Sebagai contoh, ketika Kiai Dahlan menemukan bahwa berdasarkan perhitungan ilmu falak dan ilmu bumi, sebagian besar masjid di Yogyakarta mengarah ke barat. Alhasil, jamaah termasuk mereka yang shalat di Masjid Agung tidak tepat menghadap Ka’bah yang 24 derajat arah barat laut.
Upaya Kiai Dahlan meluruskan arah kiblat mendapat pertentangan dari segelintir elite Keraton. Bahkan, kanjeng penghulu Kesultanan saat itu menyuruh orang-orang agar merobohkan Langgar Kidul, yakni mushala yang didirikan sang kiai di Kauman. Walau sempat kecewa, Kiai Dahlan tetap bertahan. Atas sokongan keluarga dan murid-muridnya, mushala yang roboh itu kembali didirikan.