Mengapa Kristen Vatikan dan AS Terbelah Soal Genosida di Gaza?
Paus Fransiskus menyerukan penyelidikan atas genosida oleh Israel di Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN – Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus mengeluarkan pernyataan mengejutkan agar dugaan genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza diselidiki. Sikap dari satu sisi agama Kristiani ini berbeda dengan pembelaan mati-matian Kristen konservatif dan evangelis terhadap Israel di Amerika Serikat.
Dalam lansiran pada Ahad, Paus Fransiskus telah menyerukan penyelidikan untuk menentukan apakah serangan Israel di Gaza merupakan genosida, menurut kutipan dari sebuah buku baru menjelang Tahun Yobel Paus.
Ini adalah pertama kalinya Fransiskus secara terbuka mendesak dilakukannya penyelidikan atas tuduhan genosida atas tindakan Israel di Jalur Gaza. Pada bulan September, dia mengatakan serangan Israel di Gaza dan Lebanon “tidak bermoral” dan tidak proporsional, dan militernya telah melampaui aturan perang.
Buku tersebut, yang ditulis oleh Hernán Reyes Alcaide dan berdasarkan wawancara dengan Paus. Buku ini akan dirilis pada Selasa menjelang ulang tahun Paus pada tahun 2025. “Menurut beberapa ahli, apa yang terjadi di Gaza memiliki ciri-ciri genosida,” kata Paus dalam kutipan yang diterbitkan Ahad oleh harian Italia La Stampa.
“Kita harus menyelidikinya secara hati-hati untuk menentukan apakah hal tersebut sesuai dengan definisi teknis yang dirumuskan oleh para ahli hukum dan badan internasional,” tambahnya.
Tahun lalu, Fransiskus bertemu secara terpisah dengan keluarga sandera Israel di Gaza dan warga Palestina yang hidup selama perang dan memicu polemik dengan menggunakan kata-kata yang biasanya dihindari diplomat Vatikan: “terorisme” dan, menurut orang Palestina, “genosida.” Paus Fransiskus berbicara pada saat itu tentang penderitaan warga Israel dan Palestina.
Sikap Vatikan terhadap genosida ini penting jika menengok sejarah. Gereja Buku David Kertzer tahun 2022, The Pope at War, menjelaskan bahwa sepanjang holocaust alias pembantaian Nazi Jerman terhadap umat Yahudi pada Perang Dunia II, Vatikan yang dipimpin Paus Pius XII mengambil kebijakan netralitas dan imparsialitas.
Sikap ini menurutnya membuat dampak holocaust jadi lebih masif. MEski di akar rumput, banyak gereja-gereja Katolik juga melindungi ribuan umat Yahudi. Tinjauan Kertzer terhadap file-file yang baru dibuka segelnya mengungkapkan bahwa Paus Pius XII bersikeras untuk tidak menyinggung perasaan Adolf Hitler dan Benito Mussolini dan khawatir bahwa menentang Hitler secara terbuka akan berdampak pada umat Katolik Jerman.
Kertzer menemukan ada petinggi Nazi Jerman bertindak sebagai perantara antara Hitler dan Paus dan bahwa seorang penasihat penting Vatikan menulis surat kepada Paus yang mendesaknya untuk tidak memprotes perintah untuk menangkap orang-orang Yahudi di Italia dan mengirim mereka ke kamp konsentrasi. Paus Fransiskus agaknya hendak menghindari sikap diam yang berujung fatal itu terulang kembali.
Sikap Paus Fransiskus yang merupakan perwakilan tertinggi Gereja Katolik ini berkebalikan dengan sentimen umat Kristen non-Katolik di Amerika Serikat. Merujuk media AS, NPR, umat Kristen konservatif, dan khususnya kaum evangelis, telah menjadi pendukung setia Israel selama beberapa dekade. Mengapa Kristen Katolik dan kaum konservatif serta evangelis demikian berbeda sikap soal genosida di Gaza?
Akar dukungan...
Gereja Kristen evangelis di AS selama ini beralasan adanya hubungan agama dengan orang-orang Yahudi dan tanah air mereka. Dukungan ini berasal dari keyakinan beberapa denominasi bahwa nubuatan akhir zaman akan terjadi di Israel, dan bahwa Israel adalah tanah yang sah bagi orang Yahudi, menurut penafsiran mereka terhadap Alkitab.
Associated Press melaporkan. salah satu kelompok utama pro-Israel di AS adalah Christians United for Israel (CUFI), yang didirikan dan dipimpin oleh pendeta evangelis John Hagee. CUFI mengatakan pihaknya telah mengumpulkan dan menyalurkan lebih dari 3 juta dolar AS untuk mendukung pekerja pertolongan pertama di Israel, pekerja layanan kesehatan, dan mereka yang selamat dari serangan 7 Oktober.
Dalam kunjungan terakhirnya ke AS, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menemui kelompok tersebut dan menggarisbawahi aliansi mendalam antara Israel dan komunitas Kristen evangelis. “Kami tidak punya teman yang lebih baik dari Anda,” kata Netanyahu kepada para pemimpin evangelis terkemuka di Washington DC. Pertemuan tersebut berlangsung tepat sebelum pidatonya di sidang gabungan Kongres, dan dihadiri oleh tokoh-tokoh berpengaruh termasuk Pastor John Hagee.
Komentar Netanyahu mencerminkan ikatan mendalam yang telah terjalin selama beberapa dekade dan bahkan berabad-abad antara Zionisme dan Milenarianisme Kristen. Jauh sebelum Theodor Herzl mencetuskan Zionisme, sejumlah umat Kristen merupakan satu pendukung awal “kembalinya” orang Yahudi ke Tanah Suci.
“Dukungan umat Kristiani AS terhadap Israel muncul dengan sungguh-sungguh pada 1960-an dan 1970-an,” kata Daniel Hummel, seorang peneliti di Universitas Wisconsin-Madison dan pakar hubungan AS-Israel dan evangelikalisme Amerika. Ia juga direktur The Lumen Center, di Madison, Wisconsin, yang berfokus pada studi agama Kristen dan budaya.
Perang Enam Hari (juga disebut Perang Arab-Israel tahun 1967), yang terjadi antara Israel dan aliansi negara-negara Arab termasuk Yordania, Mesir, dan Suriah "membawa kita ke garis depan evangelikalisme Amerika," kata Hummel.
Momen ini benar-benar penting karena bagi banyak orang Kristen, khususnya kaum Pantekosta dan fundamentalis, momen ini tampaknya memenuhi keyakinan mereka yang menjelaskan ramalan tentang akhir zaman, kata Hummel.
Dia mengatakan Perang Enam Hari tampaknya memenuhi nubuatan tertentu dalam Alkitab yang menurut pemahaman sebagian orang Kristen dalam Alkitab, termasuk orang-orang Yahudi yang mengusir orang-orang non-Yahudi dari Yerusalem sebelum akhir zaman karena lebih dari 200.000 orang Palestina menjadi pengungsi. “Hal ini memicu banyak spekulasi dalam agama Kristen mengenai apakah akhir zaman sudah dekat dan Israel adalah bagian dari kisah tersebut,” kata Hummel.
Pada saat Perang Yom Kippur pecah pada tahun 1973, terdapat banyak kaum evangelis di AS yang kemudian membantu Israel menanggapi upaya perang tersebut. Hal ini termasuk menjaga dapur makanan, mengemudikan ambulans dan berdoa untuk keberhasilan Israel. Pekerjaan pengabdian ini berlanjut selama konflik Arab-Israel yang berlanjut hingga tahun 1980-an, 1990-an dan awal tahun 2000-an.
dan yang dulu bermula dari beberapa organisasi kecil, kini terdapat puluhan organisasi, yang berbasis secara internasional atau di Israel. Mereka paling sering melakukan penggalangan dana untuk kebutuhan Israel dan sangat bergantung pada pendanaan evangelis Amerika yang konservatif, kata Hummel.
Dukungan ini juga berdampak pada politik umat Kristen evangelis di AS yang sangat condong ke Partai Republik. Mereka termasuk pendukung terbesar Israel dalam perang ini. Saat kemudian Donald Trump baru-baru ini terpilih sebagai presiden AS, ia kemudian menempatkan para Kristen evangelikal ini di kursi-kursi menteri.
Salah satunya Pete Hegseth, ditunjuk sebagai menteri pertahanan yang akan punya kuasa menggerakkan militer terkuat di dunia. Veteran Garda Nasional Minnesota dan penyiar di stasiun televisi yang terkenal Islamofobik, Fox News ini memiliki banyak tato yang menunjukkan kecenderungan religius dan politiknya, yakni sayap ekstrem nasionalis kulit putih Kristen.
Hegseth yang merupakan seorang Kristen Zionis garis keras, menentang solusi dua negara dan mendukung kedaulatan eksklusif Israel di Yerusalem. Ia mendukung gagasan pembangunan Kuil Ketiga di Yerusalem. Untuk melakukan hal tersebut, diperlukan penghancuran Kubah Batu di Masjid al-Aqsa, sebuah masjid yang terletak di salah satu situs paling suci umat Islam. Pilihan selanjutnya ada Mike Huckabee untuk menjabat duta besar untuk Israel. Huckabee adalah juga seorang Zionis Kristen, yang memiliki tujuan untuk menegakkan kedaulatan penuh Israel atas Gaza dan Tepi Barat.