Sekjen IIFA: Ulama Indonesia Berhasil Rekontekstualisasi Syariat Islam
Syariat Islam dinilai terbentuk dari kemaslahatan sebagai fondasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Akademi Fiqih Islam Internasional (IIFA), Prof Koutoub Moustapha Sano mengapresiasi ulama Indonesia dalam inisiatif merekontekstualisasi prinsip syariah sesuai dengan kehidupan masyarakat modern.
"Saya merasa Indonesia juga punya ribuan ulama yang mumpuni untuk berkontribusi bersama dalam persoalan ini," ujar Sano dalam pidato kuncinya pada pembukaan Sharia International Forum (SHARIF) 2024 di Jakarta, Rabu (20/11/2024) malam.
Dia juga menyampaikan apresiasi IIFA atas inisiasi Indonesia melalui Kemenag dalam menghadirkan forum untuk mendiskusikan isu global secara bersama-sama dengan perspektif syariat Islam."IIFA adalah sebuah institusi ijtihad kolektif yang berarti tidak ada ruang untuk melakukan ijtihad individualis untuk isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik," ucap Sano.
"Oleh karena itu saya mengucapkan selamat atas inisiasi Indonesia dalam menggelar diskusi bersama lintas bangsa dan negara untuk isu-isu yang sangat penting ini," kata dia.
Sejalan dengan tema konferensi "Sharia Service by Government Toward Mashlaha Ammah", Sano menyebut bahwa maslahah merupakan dasar dari segala hal yang terkait dengan kepentingan manusia. Syariat Islam juga terbentuk dari kemaslahatan sebagai fondasinya.
"Ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa ketika kita menangani sesuatu kita harus memastikan keputusan ini akan membawa kemaslahatan," ujar dia.
Sebagai contoh, Sano mengisahkan saat sahabat Utsman bin Affan menyadari bahwa orang-orang kerap terlambat dalam melaksanakan ibadah shalat Jumat karena menyelesaikan urusannya.
Oleh karena itu, dengan berlandaskan kemaslahatan, Sayyidina Utsman memberlakukan kebijakan dua adzan pada waktu shalat Jumat. Adzan pertama sebagai penanda umat Islam untuk segera menyelesaikan urusannya dan beranjak ke masjid. Sedangkan Adzan kedua mengharuskan orang-orang langsung meninggalkan urusannya untuk mendirikan shalat Jumat.
Sekjen IIFA juga mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk meninggalkan ijtihad secara individu, jika permasalahan yang diijtihadkan berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Dia berpesan agar Indonesia dapat menjadi model dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi rekontekstualisasi penerapan prinsip syariat bagi kepentingan masyarakat modern.
"Indonesia harus terus memainkan perannya dalam inisiasi-inisiasi semacam ini karena memiliki akademisi yang memenuhi syarat untuk berkontribusi dalam menyusun yurisprudensi Islam," ucap dia.
Sebelumnya, pembukaan konferensi berskala internasional ini diawali dengan penampilan Tari Ratoh Jaroe dari Daerah Istimewa Aceh yang dibawakan oleh para siswi MAN 23 Al-Azhar Asy-Syarif Jakarta. Tari Ratoh Jaroe telah dikukuhkan UNESCO sebagai warisan budaya internasional pada tahun 2018.
Selain Tari Ratoh Jaroe, Grup Shalawat An-Nabawy juga turut memeriahkan pembukaan SHARIF 2024 dengan beragam lantunan pujian kepada Baginda Rasulullah SAW.
Sebagai bagian dari rangkaian pembukaan acara, juga dilantunkan pembacaan ayat suci Alquran oleh Ahmad Zahran Nasywa yang dilanjutkan dengan doa oleh KH Hasanuddin Sinaga.
Peserta forum internasional ini berasal dari kalangan akademisi dan ulama yang hadir untuk bertukar gagasan. Mereka merupakan perwakilan dari 13 negara sahabat yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Persatuan Emirat Arab (PEA), Mesir, Yordania, Palestina, Qatar, Maroko, Arab Saudi, Tunisia, Turki, dan Australia.
Para delegasi akan membahas tiga topik utama pada Sesi Pleno Kamis (21/11/2024), yakni Kriteria dan Standardisasi Penentuan Awal Bulan Hijriyah, Aset Digital dan Investasi dalam Ketentuan Hukum Islam, serta Hukum Waris Islam dalam Kerangka Hukum Nasional.