Miris, Rerata Gaji Guru Honorer Madrasah tak Sampai Rp 1 Juta
Guru madrasah disebut masih jadi anak tiri sistem pendidikan Indonesia.
Oleh Dian Fath Risalah, Rizky Suryarandika
REPUBLIKA.COID, JAKARTA - Secara umum, kesejahteraan guru honorer di Indonesia masih tergolong memprihatinkan. Ternyata, situasinya lebih menyedihkan untuk guru honorer yang mengajar di berbagai jenjang madrasah.
Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) melansir kajian terbaru, bahwa dari total 3,7 juta guru di Indonesia, sebanyak 56 persen atau sekitar 2,06 juta adalah guru honorer.
Di sekolah umum, rerata paling rendah guru honorer di tingkat SD yakni sebesar Rp 1,2 juta per bulan. Sementara rerata gaji guru honorer tingkat SMP mencapai Rp 1,9 juta, kemudian SMA sebesar Rp 2,7 juta, dan SMK senilai Rp 3,3 juta.
Situasi lebih buruk terjadi di jenjang madrasah. Rata-rata gaji guru honorer Madrasah Ibtidaiyah (MI) hanya Rp 780 ribu, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Rp 785 ribu, dan Madrasah Aliyah (MA) Rp 984 ribu per bulan.
"Di beberapa daerah, bahkan masih banyak guru honorer yang menerima gaji di bawah Rp 500 ribu per bulan," ujar Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini, Senin (25/11/2024).
Sebagai gambaran kecilnya angka tersebut, rerata Rerata Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia pada 2024 ini adalah Rp 3,1 juta. Upah regional tertinggi berada pada angka Rp 5,3 juta sementara terendah pada Rp 2 juta.
Temuan IDEAS juga menunjukkan ketimpangan besar dalam penghasilan guru honorer di berbagai wilayah, sebanyak 220 kabupaten/kota menggaji guru honorer tingkat SD di bawah Rp 1 juta. Bahkan, di jenjang MI, kondisi lebih buruk, dengan 328 kabupaten/kota memberikan gaji serupa.
Adapun sumber utama gaji guru honorer adalah Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Meski alokasi dana tersebut telah dimaksimalkan hingga 50 persen untuk sekolah umum dan 60 persen untuk sekolah madrasah, hasilnya tetap tidak cukup untuk memberikan penghasilan layak bagi guru honorer.
"Simulasi kami menunjukkan bahwa meskipun porsi Dana BOS dinaikkan lebih besar, kondisi ini tidak akan cukup untuk memperbaiki kesejahteraan guru honorer secara signifikan," ungkap Agung.
IDEAS merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini, salah satunya adalah mencontoh kebijakan DKI Jakarta yang mengangkat guru honorer menjadi Guru Kontrak Kerja Individu (KKI). Kebijakan ini memberikan status kerja yang lebih jelas dan penghasilan yang lebih baik bagi guru honorer.
Agung juga menyoroti pentingnya intervensi pemerintah pusat dan daerah secara langsung. "Kesejahteraan guru honorer harus menjadi prioritas utama, tidak bisa hanya bergantung pada alokasi Dana BOS," tegasnya.
Anak tiri sistem pendidikan...
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menyoroti kondisi guru madrasah dalam momentum Hari Guru Nasional 2024 yang jatuh pada 25 November 2025. JPPI mengamati guru madrasah seakan-akan menjadi kelompok terpinggirkan dalam percaturan kebijakan guru.
"Bisa dibilang, keberadaanya tidak begitu mendapat perhatian pemerintah. Mereka ini diperlakukan seperti anak tiri dalam sistem tata kelola guru di Indonesia," kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji dalam keterangannya pada Senin (25/11/2024).
Soal kesejahteraan, Ubaid menyebut guru madrasah bisa dikatakan menempati kasta paling bawah dibandingkan dengan guru-guru di sekolah. Ubaid merasa hal ini aneh karena mereka sama-sama guru, punya hak dan kewajiban yang sama, tapi pemberian haknya dibeda-bedakan.
"Padahal peraturan rujukannya sama, UU Guru dan Dosen No.14 tahun 2005. Apalagi, jika status mereka adalah guru honorer di madrasah, beban penderitaannya pun berlipat ganda," ujar Ubaid.
Soal kualitas, Ubaid menyebut juga tak kalah memprihatinkan. Hingga kini, jumlah guru madrasah yang sudah tersertifikasi hanya berjumlah 39,2 persen. Padahal, berdasarkan amanah UU guru dan dosen (pasal 82 Ayat 2 ), ditegaskan bahwa 10 tahun sejak berlakunya UU Guru dan Dosen, seluruh guru harus sudah tersertifikasi.
"Kini, sudah 19 tahun berlalu, nyatanya masih ditemukan sebanyak 484.737 (atau 60,8 persen) guru madrasah yang belum mengantongi sertifikat pendidik. Mengapa ini dibiarkan?" sindir Ubaid.
Selain itu, Ubaid menekankan jika tidak ada perubahan kebijakan pemerintah soal ini, maka diperkirakan daftar antrian PPG (Pendidikan Profesi Guru) untuk guru madrasah mencapai 53 tahun. Panjangnya antrian PPG dikarenakan pemerintah hanya memberi jatah kuota PPG untuk guru madrasah rata-rata 9.000 per tahun.
"Dari data ini kita bisa tahu bahwa antrian guru madrasah untuk mengikuti PPG itu lebih panjang daripada antrian haji," ujar Ubaid.
Ubaid memprediksi nasib guru madrasah bisa jadi kian sengsara. Nasib ini tetap berlaku bahkan jika pemerintah berkomitmen menunaikan janji politiknya untuk menambah gaji guru Rp 2 juta. Sebab gaji tambahan ini ternyata tidak untuk semua guru, tapi kabarnya hanya akan diberikan kepada guru-guru yang sudah tersertifikasi. "Artinya, kebijakan ini hanya akan dinikmati oleh segelintir guru madrasah," ujar Ubaid.
Padahal JPPI mendata dari 484.737 guru madrasah yang belum tersertifikasi, terdapat 455.767 (94,1 persen) guru madrasah yang berstatus non-ASN. "Merekah yang paling terdampak dari sistem tata kelola guru yang belum berkeadilan ini," ujar Ubaid.