Kampus Tertua di Dunia Ini Langgeng Berkat Wakaf

Al-Qarawiyyin dirintis oleh seorang Muslimah, Fatimah al-Fihri.

dok wiki
Universitas al-Qarawiyyin di Fez, Maroko.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakaf merupakan instrumen yang efektif untuk membina peradaban. Salah satu buktinya adalah keberadaan institusi pendidikan tinggi di dunia Islam. Sebut saja, Universitas al-Qarawiyyin di Maroko.

Baca Juga


Al-Qarawiyyin diakui sebagai cikal bakal konsep universitas modern. Awalnya, ia merupakan masjid yang berdiri sejak tahun 859 Masehi di Fez, Maroko.

Fatimah al-Fihri (wafat 880) merupakan sosok penting di balik pendirian Universitas al-Qarawiyyin. Putri saudagar Fez, Muhammad al-Fihri, ini mewariskan kekayaan dalam jumlah besar ketika orang tua dan saudara laki-lakinya wafat.

Saat itu, Fatimah hanya tinggal dengan saudara perempuannya, Maryam. Dalam kondisi kaya raya, anak-anak almarhum al-Fihri itu tidak ingin menumpuk harta untuk kepentingan pribadi. Sebagai orang terpelajar, keduanya lebih suka menginvestasikan aset-aset tertentu milik keluarganya demi kebermanfaatan sosial.

Mereka memilih jalan wakaf. Maryam memutuskan untuk membangun Masjid al-Andalus di atas lahan miliknya di Fez. Sementara itu, di Fez pula pada 859 Fatimah mendirikan Masjid al-Qarawiyyin.

Fatimah tidak ingin Masjid al-Qarawiyyin jadi sekadar tempat ibadah. Beberapa waktu setelah al-Qarawiyyin berdiri, ia berinisiatif menyumbangkan perpustakaan pribadi keluarganya untuk kepentingan publik, utamanya jamaah masjid. Perpustakaan itu merupakan salah satu yang termegah di Afrika Utara.

Berbagai kegiatan intelektual pun berlangsung semakin giat di sana. Awalnya masih berupa halakah tradisional, yakni seorang alim duduk menerangkan suatu materi, sedangkan para murid duduk melingkar dan menyimaknya. Secara bertahap, aktivitas pendidikan kemudian terlembagakan sebagai Madrasah al-Qarawiyyin.

Setelah kematian Fatimah pada 880, para sultan sambung-menyambung memberikan dukungan bagi keberlangsungan kegiatan akademik di Al-Qarawiyyin. Pada 956, Khalifah Abdurrahman III dari Kordoba memperbaiki masjid beserta madrasah di sekitarnya. Pada 1135 Sultan Ali bin Yusuf dari Dinasti al-Murabithun memperluas kompleks masjid dan madrasah tersebut hingga mencapai tiga ribu meter persegi.

Mayoritas penampakan Al-Qarawiyyin yang dapat dijumpai sekarang merupakan hasil restorasi Sultan Ali. Perbaikan yang lebih menyeluruh berlangsung dalam abad ke-16 atas restu para sultan Dinasti Saadi.

Pada 1349, Sultan Abu Inan Faris memperkaya perpustakaan al-Qarawiyyin dengan koleksi pribadinya. Di antara buku-buku yang terdapat di sana adalah kumpulan hadis sahih tulisan Imam Malik, Sirat Ibnu Ishaq dari abad kesembilan, salinan Alquran pemberian Sultan Ahmad al-Mansur adz-Zhahabi tahun 1602, dan salinan asli buku karya Ibnu Khaldun, Kitab al-Ibar, tahun 1396.

Al-Qarawiyyin tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga sains, seperti ilmu kedokteran, astronomi, kimia, matematika, geografi, musik, serta tata bahasa Arab, retorika, dan logika. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kampus ini menghasilkan banyak ilmuwan kelas dunia.

Beberapa nama di antaranya adalah Abu Madhab al-Fasi (pemrakarsa studi fiqih mazhab Imam Maliki), Abu Abullah as-Sati, Abu al-Abbas az-Zawawi, Ibn Rashid as-Sabti (pakar hadis dan pengelana), Ibnu al-Hajj al-Fasi, Abu Imran, dan al-Idrisi. Adapun sosok-sosok semisal Ibnu al-Arabi, Ibnu Khaldun, al-Bitruji, dan al-Wazzan diketahui memiliki pertalian akademis dengan al-Qarawiyyin.

Selain kaum terpelajar Muslim, universitas ini juga terbuka bagi intelektual Kristen dan Yahudi. Mereka antara lain Musa bin Maymun (Maimonides), Leo Africanus, Nicolas Cleynaerts, Golius, dan bahkan Paus Sylvester II (Gerbert dari Aurillac). UNESCO telah mengakui al-Qarawiyyin sebagai salah satu warisan peradaban dunia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler