Orang-orang yang Bangkrut di Akhirat
Manusia seperti inilah yang kelak merugi di akhirat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabatnya, "Tahukah kalian, siapakah orang yang muflis (orang yang bangkrut) itu?" Karena tidak tahu apa yang dimaksud oleh belia, mereka pun menjawab, "Menurut kami, muflis itu adalah orang yang tidak mempunyai harta benda."
Jawaban itu tentu bukan yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Beliau lalu menjelaskan, "Yang muflis di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal-amal shalat, puasa, dan zakat. Namun, ia pernah mencaci, menuduh zina, merampas harta, membunuh, dan memukul orang lain. Maka pahala kebajikan orang tersebut akan diberikan--sebagai tebusan--kepada orang-orang yang dizaliminya itu."
"Dan, apabila kebajikannya sudah habis, sementara kesalahan-kesalahannya belum semua tertebus, dosa orang-orang tersebut akan ditimpakan kepada orang tadi. Kemudian, ia dilemparkan ke dalam neraka” (HR Muslim).
Hadis tersebut sangat sarat spirit muhasabah (audit diri). Pertama, penyebab kebangkrutan amal seseorang adalah kejahatan sosial, termasuk korupsi. Neraca kesalehan individual seseorang ketika ditimbang dengan kejahatan sosialnya ternyata lebih ringan sehingga seseorang menjadi ‘tekor’ dan akhirnya bangkrut.
Kedua, orang yang miskin harta belum tentu bangkrut di akhirat, sementara orang yang kaya harta belum jaminan beruntung di akhirat. Orang yang kaya harta boleh jadi muflis di akhirat jika hartanya diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal, seperti korupsi. Jadi, koruptor itu pasti merugi, bahkan bangkrut secara moral, baik di dunia maupun akhirat.
Ketiga, muflis itu pasti merugi di akhirat karena neraca keburukan amalnya lebih berat daripada amal salehnya, kendatipun ia mengaku beriman. Oleh karena itu, Alquran mengingatkan kepada kita bahwa agar tidak merugi, kita harus mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal saleh, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menghiasi diri dengan kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3).
Beriman dan beramal saleh saja memang belum cukup karena seseorang terkadang lalai akibat sifat takabur dan riya. Alhasil, amal kebajikannya berkarat dan berkeropos.
Orang muflis mulanya merasa bangga dan takjub kepada dirinya bahwa ia telah shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya, tapi dalam waktu sama ia juga melakukan dosa-dosa sosial dan moral. Oleh karena itu, muhasabah menjadi sangat penting dilakukan kapan pun, lebih-lebih pada akhir tahun, agar jangan sampai amal-amal saleh kita tergerogoti oleh dosa-dosa sosial dan moral sehingga menjadi bangkrut, bahkan tekor.