MUI Jelaskan Dampak dan Hukum Pernikahan Rizky Febian dan Mahalini
MUI menanggapi polemik pernikahan pasangan musisi Rizky Febian dan Mahalini.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengurus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ustadzah Marhamah Saleh menjelaskan tentang kriteria dan syarat menjadi wali hakim dalam pernikahan. Hal ini disampaikan menyusulnya adanya polemik pernikahan pasangan musisi Rizky Febian dan Mahalini yang ditolak oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Berdasarkan pemeriksaan pengadilan, wali nikah yang menikahkan Rizky Febian dan Mahalini adalah seorang ustaz bernama Yahya NY. Sementara, kriteria wali hakim dalam Islam adalah seorang sultan atau penguasa, atau pejabat hukun.
Ustadzah Marhamah menjelaskan, wali hakim adalah wali nikah dari hakim (qadhi). Dasar hukum yang menyatakan bahwa sulthan (penguasa umum) dapat menjadi wali dalam pernikahan adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A:
أيما امرأة أنكحت نفسها بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، باطل ، باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Artinya: perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”.
Menurut Ustadzah Marhamah, sulthan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu.
"Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah tergantung pada walinya," ucap jebolan Universita Al-Azhar Kairo Mesir ini.
Jadi, lanjut dia, apabila wali melarang perempuan menikah yang berada dibawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim. Demikian pula apabila tidak ada ditempat atau sedang ihram, atau calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali maka wali hakim boleh menikahkannya.
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya : Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa (wali hakim) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).
Adapun syarat menjadi wali nikah, ada delapan. Pertama, baligh (Dewasa) atau berakal sehat. Kedua, laki-laki. Ketiga, muslim.
"Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk wanita muslimah," ucap dia.
Sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 28, Allah berfirman:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِيْنَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِي شَيْءٍ
Artinya: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah."
Syarat keempat, orang merdeka. Kelima, tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Keenam, berpikiran baik. Ketujuh, Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muru’ah atau sopan santun. Kedepan, tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut:
a. Tidak ada wali nasab
b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad.
c. Wali aqrab gaib atau bepergian dalam perjalanan sejauh-jauhnya 92,5 kilometer atau 2 hari perjalanan.
d. Wali aqrab dipenjara dan tidak dapat ditemui.
e. Wali aqrabnya adlal.
f. Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit).
g. Wali aqrabnya sedang ihram.
h. wali aqrabnya sendiri yang akan menikah dan wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.
"Wali hakim tidak berhak menikahkan wanita yang belum baligh, kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekufu, dan tanpa seizin wanita yang menikahkan dan wanita yang berada di luar daerah kekuasaanya," jelas Ustadzah Marhamah.
Dia menjelaskan, wali hakim adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi perempuan yang tidak mempunyai wali hakim untuk bertindak sebagai wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai atau yang akan menikah itu berselisih paham dengan walinya.
"Wali hakim di Indonesia adalah Menteri Agama atau orang yang diangkat atau ditunjuk oleh Menteri Agama dan diberi hak serta kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah dalam hal ini adalah kepala Kantor Urusan Agama (KUA)," kata dia. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wali Hakim untuk bertindak sebagai wali dalam pasal 23 ayat 1:
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal / enggan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan mengenai wali hakim. Namun demikian, menurut Ustadzah Marhamah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberi rumusan mengenai wali hakim sebagaiman termaktub dalam pasal 1 huruf b bahwa wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyatakan:
Pasal 1 huruf b, wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Pasal 2 ayat 1, bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstar-tertoria Indonesia ternyata tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
Lalu bagaimana hukum pernikahan Rizky Febian dan Mahalini?
Ustadzah Marmhamah menjelaskan, pernikahan Rizky Febian dan Mahalini ternyata sejak awal tidak didaftarkan dan tercatat di KUA, sehingga tidak memiliki buku nikah yang diterbitkan resmi oleh KUA.
"Artinya tidak tecatat secara hukum keabsahan perkawinannya," ujar Ustadzah Marhamah.
Menurut dia, hal ini mendorong Rizki dan Mahalini ataupun pengacara keduanya untuk mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama. Namun, kata doa, setelah terkumpul bukti terkait pernikahan tesebut di mana Mahalini adalah seorang mualaf yang tidak mempunyai wali nasab karena ayah kandungnya non muslim sehingga tidak bisa menjadi wali nikah. Karena persyaratan seorang wali harus beragama Islam.
"Seorang non-Muslim tidak bisa menjadi wali bagi seorang perempuan Muslimah," kata dia.
Hal itu didasarkan pada firman Allah pada ayat 71 Surat At-Taubah:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Artinya: “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.”
Oleh karena tidak bisa menghadirkan wali nasab, lanjut Uatadzah Marhamah, maka harus menghadirkan wali hakim untuk memenuhi rukun nikah agar sah pernikahan secara Islam. Wali hakim berdasarkan peraturan undang-undang di Indonesia adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk mewakilinya dalam hal ini kepala KUA.
"Hanya saja terjadinya ijab qabul pernikahan tersebut adalah antara Rizki Febian dan seorang ustadz yang bukan merupakan penunjukan dari KUA," ucap dia.
"Sehingga pengajuan itsbat nikah tersebut ditolak oleh pihak pengadilan agama dan keduanya diharuskan nikah ulang," jelas Ustadzah Marhamah.
Dalam Undang-Undang Perkawinan mengadopsi mazhab Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa wali nikah merupakan salah satu syarat sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut memperjelas bahwa suatu perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali menyebabkan tidak sahnya suatu perkawinan.
Ketentuan ini dimuat secara implisit dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”
"Dengan demikian tidak ada perkawinan dalam Islam tanpa adanya wali sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah menurut Hukum Islam," kata Ustadzah Marhamah.
Sebab, lanjut dia, dalam hukum Islam wali merupakan rukun nikah, di mana keberadaannya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pernikahan itu sendiri. Sehingga, kata dia, dengan ketiadaan wali itu sendiri, baik wali nasab maupun wali hakim, dapat menyebabkan perkawinan atau pernikahan itu dianggap tidak sah atau batal secara hukum Islam.
Dia menururkan, suatu perkawinan dapat dibatalkan karena terdapat dua alasan yaitu pertama, disebabkan adanya pelanggaran terhadap prosedural perkawinan yang berkaitan dengan tidak terpenuhinya rukun-rukun pernikahan, misalnya wali nikah tidak memenuhi syarat yang diatur dalam dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, disebabkan adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan, misalnya istri ternyata terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Lalu bagaimana akibat hukum perkawinan bila dinyatakan batal oleh pengadilan?
Uatadzah Marhamah menjelaskan empat akibat hukum perkawinan jika dinyatakan batal oleh pengadilan. Pertama, putusnya hubungan antara pemohon dan termohon sebagai suami dan istri. Kedua, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tetap menjadi anak sah.
Ketiga, harta benda dari perkawinan kembali seperti semula, harta bersama dibagi sesuai ketentuan pembagian harta bersama. Namun, kata dia, apabila perkawinan tersebut disertai perjanjian perkawinan, maka perjanjian perkawinan tersebut juga dinyatakan batal.
"Keempat, pihak yqng perkawinannya dinyatakan batal dapat menikah kembali, asalkan memenuhi rukun dan syarat perkawinan," jelas Ustadzah Marhamah.