Imam Syafii Menjelang Tutup Usia

Imam Syafii wafat pada tahun 204 Hijriyah.

dok wiki
Makam Imam Syafii di Kairo, Mesir.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Syafi'i memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Usman bin Syaafi' bin Saaib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Haasyim bin 'Abdul Mutthalib bin 'Abdul Manaf.

Baca Juga


Ia merupakan salah satu ulama penting dalam dunia Islam. Dialah sang peletak dasar mazhab fikih Syafii, salah satu dari empat mazhab yang diikuti kalangan ahlus sunnah wa al-jama'ah.

Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang mementingkan ilmu-ilmu agama. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai dari belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran.

Alhasil, saat usianya masih tujuh tahun, Imam Syafi'i telah menyelesaikan hafalan 30 juz Alquran dengan lancar. Setelah itu, ia meneruskan belajar dengan menghafal berbagai macam syair-syair Arab dan kitab Al-Muwattha' karangan Imam Malik.

"Aku menyelesaikan hafalan Alquran pada usia tujuh tahun dan menyelesaikan hafalan kitab Al-Muwattha' pada usiaku 10 tahun," kata Imam Syafi'i.

Ketika berada di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin 'Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka di Makkah dari generasi tabiut tabiin. Imam Syafi'i pernah memuji kedua gurunya itu, "Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin 'Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz."

Sang alim kelahiran Gaza, Palestina, itu tidak hanya mencari ilmu di Makkah dan Madinah, melainkan juga Yaman, Baghdad, Kufah, dan Mesir. Ia merupakan teladan dalam keselarasan antara ilmu dan amal.

Rutinitasnya selalu dimanfaatkan untuk belajar. Dikisahkan, dirinya membagi malamnya menjadi tiga: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga yang kedua untuk shalat, dan sepertiga sisanya untuk tidur.

Ketika berada di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin 'Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka di Makkah dari generasi tabiut tabiin. Imam Syafi'i pernah memuji kedua gurunya itu, "Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin 'Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz."

Sang alim kelahiran Gaza, Palestina, itu tidak hanya mencari ilmu di Makkah dan Madinah, melainkan juga Yaman, Baghdad, Kufah, dan Mesir. Ia merupakan teladan dalam keselarasan antara ilmu dan amal.

Rutinitasnya selalu dimanfaatkan untuk belajar. Dikisahkan, dirinya membagi malamnya menjadi tiga: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga yang kedua untuk shalat, dan sepertiga sisanya untuk tidur.

Wafatnya

Imam Syafii meninggal dunia di Fusthat, Mesir, pada 204 Hijirah atau 819 Masehi. Seorang muridnya, al-Muzani, menuturkan bahwa Imam Syafii sempat sakit beberapa hari lamanya sebelum ajal menjemputnya.

"Bagaimana keadaanmu, wahai guru?" tanya al-Muzani.

Imam Syafii yang sedang di atas dipannya menjawab, "Aku akan meninggalkan dunia, berpisah dengan saudara. Akan minum dari cawan yang dicita-citakan. Dengan segala keburukan amalku, aku akan bersua. Akan menghadap Allah Ta'ala. Aku tidak tahu, apakah ruhku akan ke surga hingga kuucapkan selamat bahagia, ataukah justru ke neraka sehingga aku akan berduka."

Kemudian, Imam Syafii mengambil secarik naskah. Ia ternyata menulis guratan syair, sebagai berikut.

"Ketika hatiku keras dan jalanku sempit terasa, aku jadikan harapan pada maaf-Mu sebagai penyelamat jiwa.

Jika aku banding-bandingkan, terlampau besar dosa-dosa, dibandingkan dengan maaf-Mu, lebih besar lagi ampunan-Mu pada hamba.

Engkau tetap Pemaaf dari segala dosa. Engkau Mahapemurah, Mahapemaaf, dan Mahamulia."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler