Ramai Pilkada, Ini Risiko Pemimpin yang Gagal Menjalankan Tanggung Jawab dalam Islam

Islam menuntut pemimpin untuk bersikap adil tanpa membedakan status sosial.

Republika/Thoudy Badai
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengenakan seragam sekolah saat menggunakan hak pilihnya pada Pilkada serentak 2024 di TPS 005, Petanburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2024). Sebanyak 8,2 juta pemilih yang telah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada Jakarta 2024 menggunakan hak pilihnya di 14.835 tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut satu Ridwan Kamil-Suswono, nomor urut dua Dharma Pongrekun-Kun Wardana dan nomor urut tiga Pramono Anung-Rano Karno.
Rep: Muhyiddin Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Menjadi seorang pemimpin dalam Islam adalah amanah yang berat dan tanggung jawab yang besar. Kepemimpinan tidak hanya dipandang sebagai posisi terhormat, tetapi juga sebagai tugas yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan umat manusia. 

Baca Juga


Dalam potongan hadits, Rasulullah SAW bersabda:  
 
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 
 
Artinya, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya..." (HR Bukhari).
 
Maka, seorang pemimpin dalam Islam harus memastikan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Amanah ini mencakup setiap aspek kehidupan masyarakat, dari keadilan hukum hingga kebutuhan ekonomi.
 
Islam juga menuntut pemimpin untuk bersikap adil, tanpa membedakan status sosial, ras, atau golongan. Ketidakadilan seorang pemimpin dapat membawa kerusakan besar, baik di dunia maupun di akhirat.
 
Jika menjadi pemimpin yang zalim, Rasulullah SAW telah memperingatkan:  
 
  مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
 
Artinya: “Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sedangkan dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR Bukhari dan Muslim)
 
Hadits ini menegaskan betapa besarnya risiko jika seorang pemimpin gagal menjalankan tanggung jawabnya dengan benar.
 
 
 

Seorang pemimpin dalam Islam bertanggung jawab tidak hanya atas urusan duniawi, tetapi juga atas pengaruh keputusan mereka terhadap akhlak dan keimanan umat. Mereka harus menjadi teladan yang baik, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan para pemimpin Islam lainnya.
 
Seorang pemimpin dalam Islam juga diharapkan mengutamakan kepentingan umat daripada dirinya sendiri. Umar bin Khattab, misalnya, dikenal hidup sederhana meskipun memimpin wilayah kekhalifahan yang luas. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.
 
Jadi, beban dan tanggung jawab seorang pemimpin dalam Islam tidak ringan, tetapi jika dijalankan dengan benar, hal itu menjadi ladang pahala yang besar. Namun, jika diabaikan, ia bisa menjadi penyebab kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat.
 
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa memohon bimbingan Allah dan mengedepankan kepentingan umat di atas segalanya.
 
 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler