Foto Satelit Ini Ungkap Lokasi Perang Qadisiyyah Tumbangkan Kerajaan Persia 14 Abad Silam

Perang Qadisiyah di Irak pada 637 Masehi dimenangkan Umat Islam

Dok Istimewa
Lokasi Perang Qadisiyyah di Irak.
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Foto-foto mata-mata yang telah dideklasifikasi dari Irak telah membantu para arkeolog menemukan sebuah medan perang Islam yang bersejarah.

Baca Juga


Dikutip dari Space.com, Senin (2/12/2024), Setelah menganalisis gambar-gambar tersebut, yang diambil pada tahun 1973 oleh sistem satelit Amerika Serikat bernama KH-9 (Hexagon), tim menemukan sisa-sisa pemukiman berusia 1.400 tahun.

Hal ini membantu mereka mencocokkan situs tersebut dengan lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah yang hilang, para peneliti melaporkan dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 12 November di jurnal Antiquity.

Namun, William Deadman, seorang arkeolog di Universitas Durham di Inggris dan penulis utama studi ini, dan rekan-rekannya awalnya tidak bermaksud untuk menemukan lokasi pertempuran yang hilang tersebut.

Dengan menggunakan citra satelit tahun 1973, mereka meneliti rute perjalanan haji Darb Zubaydah sebagai bagian dari pertimbangan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Menurut UNESCO, Darb Zubaydah menghubungkan kota Kufah, Irak, dengan Makah, Arab Saudi, dan merupakan rute haji terpenting antara tahun 750 dan 850 Masehi, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, sebuah masa keemasan peradaban umat Islam.

Ketika para peneliti melihat gambar-gambar yang baru saja dideklasifikasi, mereka menyadari bahwa mereka mungkin memiliki kesempatan untuk menemukan medan perang al-Qadisiyyah yang hilang, menurut sebuah pernyataan dari Universitas Durham.

Catatan pertempuran telah memberikan petunjuk tentang lokasinya. Misalnya, mereka menyebutkan bahwa ada tembok sepanjang 6 mil (10 kilometer) yang menghubungkan al-Qadisiyyah dengan kota tetangga dan bahwa kota itu “berada di selatan sebuah perairan, di antara parit dan sungai yang dijembatani,” tulis surat kabar itu. Dengan menggunakan petunjuk ini, Deadman menemukan ladang pertanian modern yang cocok dengan deskripsi tersebut.

BACA JUGA: PBNU Bekukan JATMAN Pimpinan Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, Ada Apa? 

Sebuah survei di lapangan mengkonfirmasi temuan tersebut. Para peneliti mengidentifikasi tembok sepanjang 6 mil dan parit di utara kota yang disebutkan dalam teks-teks sejarah.

“Penemuan ini memberikan lokasi geografis dan konteks untuk pertempuran yang merupakan salah satu kisah awal dari ekspansi Islam ke Irak, Iran, dan sekitarnya,” kata Deadman dalam pernyataannya.

Pertempuran al-Qadisiyyah terjadi pada 636 atau 637 Masehi antara tentara Muslim Arab dan Kekaisaran Sasania, yang memerintah wilayah yang sekarang menjadi Iran antara tahun 224 dan 651 Masehi.

Menurut Encyclopedia Britannica, pertempuran tersebut merupakan kemenangan penting bagi tentara Muslim dan awal dari penaklukan Muslim atas Persia.

Perang ini menjadi kunci penting penaklukkan umat Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khatab, atas wilayah Persia dan sekitarnya yang dikuasai oleh Kekaisaran Sassania Persia saat itu.

Peristiwa tersebut menjadi momen yang menentukan antara kaum Muslimin dan Imperium Persia. Dalam pertempuran tersebut, kerajaan yang menganut agama Majusi itu menderita kekalahan hebat.

Pasukan Islam dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqash. Sebelum pecah peperangan tersebut, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW itu sudah mengirimkan beberapa utusan untuk mendakwahi para elite Persia. Para delegasi tersebut datang silih berganti untuk menemui Rustam Farrokhzad, jenderal Persia saat itu.

Meski kubu Islam hanya diperkuat dengan 70 ribu pasukan sementara pihak Persia ditopang dengan 130 ribu personel, kemenangan ada di pihak Islam.    

Seorang utusan yang diamanahi tugas oleh Sa’ad ialah Rib’iy bin Amir. Sebelumnya, telah sampai kepada Rustam al-Mughirah bin Syubah. Sebenarnya, komandan Persia tersebut mulai menunjukkan ketertarikan akan Islam setelah berdialog dengan al-Mughirah.

BACA JUGA: Buat Badan Hukum Sendiri, JATMAN Pimpinan Habib Luthfi Pekalongan Ingin Keluar dari PBNU?

Apalagi, setelah delegasi Muslim tersebut menjelaskan bahwa dalam agama ini, semua orang dipandang setara. Yang membeda-bedakan hanyalah derajat ketakwaan dan ilmu di sisi Allah SWT.

Namun, Rustam masih mudah dipengaruhi para petinggi istana yang bermulut besar dan sombong. Mereka menilai, bangsa Arab lebih rendah daripada Persia sehingga mustahil orang-orang Islam itu dapat mengalahkan imperium besar. Mengetahui gelagat lawannya itu, Sa’ad pun mengirim lagi delegasi berikutnya kepada Rustam, yakni Ibnu Amir.

 

Nama lengkapnya, Rib’iy bin Amir ats-Tsaqafi. Saat mendatangi istana tempat Jenderal Rustam berada, penampilannya amat bersahaja. Bahkan, masyarakat setempat serta para pengawal istana mungkin saja akan mengusirnya kalau dirinya tidak menunjukkan surat dari Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash.

Keadaan Ibnu Amir sangat kontras dengan penampilan orang-orang Persia di istana.

Keadaan Rib’iy sangat kontras dengan penampilan orang-orang Persia di istana. Di ruang pertemuan, ada banyak hiasan yang menampilkan kemilau pernak-pernik. Bantal-bantal yang ada di sana dirajut dengan benang emas. Permadani-permadaninya terbuat dari kain sutera.

Rib’iy menyaksikan, orang-orang setempat sedang memamerkan kepadanya berbagai macam kemewahan. Ada permata-permata dan perhiasan lainnya yang menyilaukan mata.

Jenderal Rustam dengan mahkota di atas kepalanya sedang duduk. Singgasananya terbuat dari emas. Sementara, Rib’iy di hadapannya hanya mengenakan baju yang sangat sederhana. Di pinggangnya, terdapat pedang dalam sarung dan perisai.

Utusan Muslim tersebut juga membawa seekor kuda yang pendek. Rib’iy masih tetap di atas kudanya saat menjumpai Rustam. Kaki-kaki hewan itu menginjak ujung permadani. Beberapa bantal yang berserakan di atas lantai robek lantaran tersapu kaki kuda tersebut.

Rib’iy masih tetap di atas kudanya saat menjumpai Rustam. Kaki-kaki hewan itu menginjak ujung permadani.

Setelah itu, Rib’iy langsung masuk lengkap dengan senjata, baju besi, dan penutup kepalanya. Seorang penjaga membentaknya agar meletakkan semua senjata yang dibawanya.

“Aku tidak pernah berniat mendatangi kalian, tetapi kalianlah yang mengundangku datang kemari. Jika kalian memerlukanku, biarkan aku masuk dalam keadaan begini. Jika tidak kalian izinkan, aku akan segera kembali!” kata Rib’iy.

Akhirnya, penjaga itu membiarkan sang utusan Muslim untuk menemui Rustam sesuai kemauannya. Rib’iy pun datang sambil bertongkat dengan tombaknya. Posisi ujung tombak itu menghujam ke bawah sehingga permadani yang dilewatinya memunculkan lubang-lubang tergores tombaknya.

Para pejabat di sekitar Rustam bertanya dengan nada ketus, “Apa yang membuatmu datang ke sini?”

“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan diri kepada sesama manusia agar mereka menghambakan diri hanya kepada Rabb manusia. Dia mengeluarkan mereka dari dunia yang sempit menuju akhirat yang luas, dan mengeluarkan mereka dari kezaliman agama-agama yang ada kepada keadilan Islam,” jawab Rib’iy lugas.

Orang-orang itu kembali bertanya, “Apa yang dijanjikan Allah kepada kaummu?”

“Surga bagi siapa saja dari kami yang terbunuh dalam peperangan di jalan Allah, dan kemenangan bagi yang hidup.”

Rustam menyelanya, “Aku telah mendengar seluruh perkataan kalian itu, tetapi maukah kalian memberi kami tangguh sejenak hingga kami berpikir? Kalian juga akan punya waktu berpikir?”

“Ya! Berapa hari kalian minta ditangguhkan? Satu atau dua hari?” tanya Rib’iy.

“Tidak, tetapi hingga kami menulis surat kepada raja kami dan para pemimpin kaum kami.”

Rib’iy kemudian menjelaskan, “Rasul kami tidak pernah mengajarkan kepada kami untuk menunda-nunda peperangan setelah bertemu musuh lebih dari tiga hari. Silakan kalian berpikir ulang dan pilih satu pilihan jika masa penangguhan berakhir.”

Seorang pejabat Persia bertanya, “Apakah kamu pemimpin kaummu?”

“Tidak, tetapi seluruh Muslimin ibarat satu tubuh. Yang paling rendah dari mereka dapat memberikan jaminan keamanan terhadap yang paling tinggi sekalipun,” tegas Rib’iy.

Akhirnya Rustam segera mengumpulkan para petinggi kaumnya dan berkata kepada mereka, “Pernahkah kalian melihat seseorang yang perkataannya lebih mulia dan lebih baik dari orang ini?”

BACA JUGA: GP Ansor Tegas Tolak Wacana Penggabungan Polri ke TNI, Ini Alasannya 

 

Mereka berkata, “Jangan sampai engkau terpengaruh dengan ucapan anjing ini dan meninggalkan agamamu, tidakkah kau lihat bagaimana penampilannya? Bagaimana kumuh pakaiannya?”

Rustam berkata kepada mereka, “Celakalah kalian jangan hanya melihat kepada penampilan dan bajunya, tetapi lihatlah betapa cemerlangnya perkataan pemikiran dan jalan hidupnya. Sesungguhnya orang Arab tidak pernah merasa bangga dan begitu peduli dengan pakaian dan makanan. Tetapi mereka benar-benar menjaga harga diri.”

Rib’iy dan sejumlah utusan Khalifah telah menawarkan tiga pilihan: masuk Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Ternyata, Rustam memilih yang ketiga. Maka pecahlah Perang Qadisiyyah. Sejarah mencatat, Imperium Persia jatuh di tangan Khalifah Umar bin Khattab atas izin Allah.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler