Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh, Psikolog: Bicara dengan Orang Lain Harus Pakai Empati
Pendakwah dinilai harus menyampaikan ilmu agama dengan penuh empati dan moral baik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah dikecam publik setelah mengolok-olok penjual es teh dalam sebuah majelis di Magelang. Dalam video yang beredar di media sosial, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan itu terlihat mengolok-olok dan mengucapkan kata kasar kepada pria penjual es.
Menanggapi kasus ini, ahli psikologi dari Universitas Indonesia Prof Rose Mini Agoes Salim menegaskan seorang pendakwah seharusnya menyampaikan ilmu agama dengan penuh empati dan moral yang baik. Terutama ketika berbicara kepada orang lain, ia perlu menjaga sikap, jangan sampai meledek dan menyinggung.
“Sebetulnya kalau dia memahami moral, kan harusnya paham, bahwa kita harus memakai empati saat berbicara dengan orang lain. Jangan seenaknya, meledek, atau menghina terhadap orang lain,” kata Prof Rose Mini saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (4/12/2024).
Dalam ilmu psikologi, jelas Prof Rose, suasana interaksi dengan audiens sering kali memengaruhi cara berbicara seseorang. Karenanya ketika audiens menunjukkan antusiasme atau tertawa dengan pernyataan yang disampaikan, maka pembicara akan cenderung terdorong untuk terus membuat suasana lebih menarik. Namun, dorongan ini bisa menjadi keliru jika tidak diiringi dengan kontrol diri yang baik.
“Kita harus memiliki kontrol diri dan juga nurani. Nurani adalah kemampuan manusia untuk melihat apakah dia ada di jalan yang benar atau tidak. Kemudian kita juga harus respek sama orang lain,” kata Prof Rose.
Dia menilai bahwa bercanda ataupun guyon boleh saja dilakukan, namun ada batas-batas tertentu. Misalnya, jelas Prof Rose, candaan tersebut tidak boleh menghina fisik seseorang (body shaming) ataupun menghina pekerjaan orang lain.
“Menurut saya, guyon itu boleh saja. Tapi asal jangan dengan body shaming atau meledek orang terlalu berlebihan. Itu jadinya tidak elok ya,” kata Prof Rose.
Prof Rose pun berharap kasus seperti ini tidak terulang, dan pendakwah atau tokoh publik bisa menjaga ucapan dan prilaku mereka. Ia menegaskan bahwa seorang pendakwah atau tokoh masyarakat harus mampu mengontrol diri, menghargai orang lain, memiliki empati, dan Nurani.
“Saya berharap ini bisa menjadi pembelajaran untuk jangan sampai terpancing. Jangan sampai melupakan empati, tidak punya kontrol diri dan nurani saat bicara dengan orang lain,” kata Prof Rose.