Apakah Putin Kali Ini akan Membiarkan Bashar Al-Assad Jatuh?
Fokus Rusia d Ukraina telah melemahkan dukungan eksternal ke Bashar Al-Ashad.
REPUBLIKA.CO.ID, Rezim pemerintah Bashar al-Assad di Suriah saat ini bisa dibilang dalam kondisi terancam dan jatuh ke tangan kelompok pemberontak. Assad di ujung tanduk karena konsentrasi Hizbullah dalam menghadapi Israel di Lebanon, ditambah fokus Rusia pada perang di Ukraina, telah melemahkan dukungan eksternal terhadap pasukan militer pemerintah.
Memang masih ada Iran. Tapi, pemerintahan Presiden Masoud Pezeshkian yang moderat, cenderung menurunkan skala petualangan militer Iran di negeri asing, termasuk Suriah.
Rezim Assad sendiri hanya bisa memerintah di separuh wilayah Suriah. Mereka dikepung kelompok-kelompok pemberontak berbeda haluan dan berperang satu sama lain, di bagian utara, timur, tenggara, dan selatan negara itu. Suriah diketahui berbatasan dengan Lebanon di barat daya, Yordania dan Israel di selatan, Turki di bagian utara, dan Irak di bagian timur serta tenggara.
Kepungan pasukan pemberontak dari berbagai faksi membuat rezim Assad konstan berperang melawan mereka, khususnya pemberontak Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di bagian timur yang didominasi Kurdi, dan pasukan oposisi Arab Suriah, khususnya Hayat Tahrir al-Sham dan Tentara Nasional Suriah (SNA) di bagian lain. SNA mendapat dukungan Turki. Turki merasa berkepentingan langsung di Suriah, karena kaitannya dengan jutaan pengungsi Suriah di Turki selatan, dan upaya Turki dalam menangkal nasionalisme Kurdi tidak meluber ke wilayahnya.
Selama ini rezim Assad sudah terbiasa melawan faksi-faksi pemberontak yang satu sama lain tak pernah akur itu. Tapi perang Hizbullah-Israel di Lebanon, perang Ukraina yang menyita sumber daya militer Rusia, dan reorientasi politik luar negeri Iran, berpengaruh buruk terhadap kemampuan rezim Assad dalam memadamkan pemberontakan.
Perang di Ukraina memaksa Rusia mengurangi kontingen militernya di Suriah, termasuk tentara bayaran Wagner Group yang "dinasionalisasi" oleh Presiden Rusia Vladimir Putin menyusul pemberontakan pemimpinnya, Yevgeny Prigozhin, pada Juni 2023. Tapi Putin mungkin tak akan membiarkan Assad jatuh, karena bisa menjadi pesan buruk bagi sekutu-sekutunya di kawasan lain, bahwa Rusia tak bisa melindungi sekutunya.
Sementara itu, sebagai dampak dari situasi di Jalur Gaza, Hizbullah yang penyokong utama Hamas di Palestina dan menempatkan kontingen besar pejuang mereka di Suriah, terlibat perang dengan Israel di Lebanon, sehingga harus merelokasi sumber daya militernya dari Suriah.
Hayat Tahrir al-Sham
Situasi-situasi di Suriah saat ini jelas merugikan posisi Assad. Kemampuan militer rezim Assad pun berkurang sehingga terus terdesak oleh pemberontak, sampai kehilangan Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, empat hari lalu.
Pasukan pemberontak, khususnya Hayat Tahrir al-Sham terus merangsek ke selatan, dengan tujuan akhir menduduki Damaskus dan menggulingkan Assad. Setelah menduduki Aleppo, Hayat Tahrir menguasai Hama, kemudian Homs, yang merupakan koridor langsung ke Damaskus. Kini milisi yang dulu berafiliasi ke Alqaeda tapi telah lama memutus kaitan dengan organisasi teror itu, tengah membidik Damaskus.
Kecuali ada bantuan dari Hizbullah, Iran, atau Rusia, nasib pemerintahan Assad tinggal menghitung hari. Hanya Iran dan Irak yang berkomitmen kuat menyangga Assad, karena ikatan identitas sebagai sama-sama berpemerintahan didominasi Syiah. Suriah bukan negara Syiah tapi pemerintahannya dari minoritas Syiah.
Kantor berita Tasnim pada 6 Desember 2024 mengungkapkan para menteri luar negeri Iran, Irak, dan Suriah bertemu di Baghdad untuk mengkoordinasikan langkah bersama mengatasi krisis keamanan di Suriah. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi berjanji akan mengirimkan militer ke Suriah, jika Assad memintanya.
Sementara itu, Rusia yang disibukkan oleh perang di Ukraina, terlihat enggan menyangga pemerintahan Assad, mungkin karena tak bisa lagi berperang di lebih dari satu front, selain Ukraina. Rusia memiliki pangkalan angkatan laut di Tarsur dan pangkalan udara Khmeimim di Latakia. Baik Latakia maupun Tarsus belum tersentuh pasukan pemberontak, tapi bisa segera terisolasi dari Damaskus begitu Homs diduduki sepenuhnya oleh Hayat Tahrir al-Sham.
Situasi-situasi eksternal ini merugikan posisi rezim Assad, yang diperburuk oleh perang di Jalur Gaza dan Lebanon, yang melibatkan Hizbullah, padahal selama ini Hizbullah membantu Assad dalam menghadapi pemberontak.
Rezim Assad pun terus terpukul oleh gerak maju pemberontak, khususnya Hayat Tahrir al-Sham, yang dituding pemerintahan Assad didukung Israel. Israel dituding berusaha melemahkan Assad karena dianggap menyokong Iran dan Hizbullah, yang menjadi sekutu utama perlawanan Palestina di Gaza.
Rezim Assad juga direpotkan oleh manuver Turki yang merasa berkepentingan di Suriah. Turki memang tak ingin menduduki wilayah Suriah karena yang lebih mereka inginkan adalah mencegah minoritas Kurdi di Suriah tumbuh besar sampai membentuk pemerintahan otonom seperti terjadi di Irak.
Turki tak ingin hal itu menginspirasi warga Kurdi di negaranya. Mereka tak akan menoleransi persatuan Kurdi yang ditakutkan bukan hanya oleh Turki, tapi juga Suriah, Irak dan Iran, yang semuanya memiliki minoritas Kurdi yang signifikan.
Kurdi Suriah sendiri, dalam payung SDF, didukung penuh oleh AS yang menjadi sekutu terpercaya saat melenyapkan ISIS di Irak dan Suriah. AS sendiri adalah sekutu Turki tapi berbeda kebijakan di Suriah.
Sementara itu dunia Arab, termasuk Arab Saudi dan Yordania, terlihat berusaha melihat dan mencermati perkembangan yang terjadi di Suriah. Tapi sejak lama mereka menginginkan Suriah diperintah Sunni.
Dengan tautan kepentingan berbeda-beda di Suriah yang ruwet karena melibatkan kekuatan-kekuatan global dan regional, maka apa yang terjadi di negeri itu lebih dari sekadar nasib pemerintahan Assad yang ramai disebut media Barat di ambang kejatuhan.
Situasi di Suriah juga sudah menyangkut perebutan pengaruh antarnegara besar yang membuat krisis di Timur Tengah kian runyam dan sulit diakhiri. Nasib Suriah kini berada di titik kritis, tidak hanya menentukan masa depan rezim Assad, tetapi juga membuka babak baru dalam pertarungan geopolitik Timur Tengah.
Dengan dinamika internal yang kacau, tekanan eksternal dari berbagai kekuatan global dan regional, serta ambisi lain yang melibatkan Iran, Rusia, Turki, dan Israel, Suriah menjadi cerminan bagaimana konflik lokal dapat memicu benturan kepentingan skala besar.
Pada Sabtu (7/12/2024), Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir O. Pedersen, menyerukan pembicaraan politik mendesak di Jenewa untuk mengimplementasikan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254 guna menangani krisis yang terus berlangsung di Suriah. "Situasi berubah setiap menit. Jadi, saat saya berbicara kepada Anda, kondisi di Suriah juga terus berubah," kata Pedersen dalam konferensi pers di Doha, ibu kota Qatar, di mana Forum Doha 2024 yang berlangsung selama dua hari dimulai pada Sabtu.
Pedersen menyebutkan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan para menteri luar negeri dari Turki, Iran, dan Rusia, serta pejabat dari AS, Prancis, Inggris, Jerman, dan Uni Eropa. "Saya telah menyerukan pembicaraan politik mendesak di Jenewa untuk mengimplementasikan Resolusi Dewan Keamanan 2254," ujarnya.
“Saya senang menyampaikan bahwa para menteri dan semua pihak yang saya ajak bicara mendukung seruan ini. Harapan saya, saya akan segera dapat mengumumkan tanggal untuk pembicaraan tersebut,” tegasnya.
Pedersen menekankan pentingnya pendekatan baru dalam menghadapi krisis ini. "Kebutuhan akan transisi politik yang teratur semakin mendesak, dimulai dengan pembentukan mekanisme transisi yang inklusif dan kredibel di Suriah," katanya.
"Untuk itu, kita memerlukan proses serius yang mendasar dan berbeda dari apa yang telah dilakukan sebelumnya,” tambahnya.