Kultur Korupsi yang Mengakar, Upaya Sistemik dan Relasi Kuasa
Pemerintah harus menjadi contoh dan tauladan dalam pemberantasan korupsi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gepokan uang tunai hampir Rp 1 triliun ditemukan saat petugas menggeledah kediaman mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar. Tidak hanya uang tunai dalam bentuk mata uang lokal atau asing, ratusan keping emas dan batangan yang seberat 51 kg juga ditemukan. Nilai emas itu ditaksir mencapai sekitar Rp 81 miliar.
Dari penyidikan terungkap uang hampir satu triliun, dan emas batangan tersebut dikumpulkan ZR sejak 2012 sampai 2022. Uang itu ditengarai merupakan hasil 'pengurusan kasus' yang dilakukan pelaku secara illegal. Karena dengan gaji seorang ASN, akan sangat sulit bagi ZR untuk mendapat uang sebanyak itu.
ZR pun diduga tidak bermain sendiri, karena akan sangat sulit jika perkara 'diurus' oleh hanya seorang. ZR hanya satu kasus dari sekian banyak perkara korupsi yang tak kunjung habis. Perkara korupsi membelit dari ranah eksekutif, legislatif, yudikatif baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Persoalan korupsi seolah tak pernah tuntas meski beragam regulasi dibuat atau direvisi. KPK yang seyogyanya melakukan fungsi pencegahan dan penindakan pun tak bisa memangkas perkara korupsi.
Korupsi menjadi virus yang menjalar dan memasuki elemen birokrasi. Ada yang menggunakan jalur korupsi untuk kepentingan politik seperti Pilkada. Ada juga yang sekadar mengumpulkan duit sebanyak-sebanyaknya demi memenuhi dahaga kepentingan duniawi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2023 ada 791 kasus korupsi terungkap dengan jumlah tersangka 1.695 orang. Angka itu meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 579 kasus dengan jumlah tersangka 1.396 orang.
Ibarat penyakit, korupsi boleh dibilang sudah menjadi kanker. Di tatanan masyarakat di paling bawah korupsi juga banyak dilakukan. Seperti saat masuk sekolah, perilaku korupsi juga terjadi.
Dari catatan sejarah, korupsi di Indonesia sudah terjadi bahkan sejak masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menduduki Indonesia.
Polemik sejarah terbaru juga mengungkap bahwa Herman Willem Daendels (Gubernur Hindia Belanda dari 1808-1811) menyetorkan duit pembangunan Jalan Raya Anyer-Batavia-Cirebon-Surabaya-Panarukan sejauh 1.000 Km kepada para Bupati. Tapi para Bupati itu diduga tak menyalurkannya kepada para pekerja. Seratusan tahun lebih kemudian, kepala daerah ternyata masih erat dengan kasus korupsi.
Lantas apa yang membuat korupsi ini seperti sulit diberantas dan begitu mendarah daging?
Eks Wakil Pimpinan KPK Laode M Syarif angkat bicara mengenai fenomena budaya korupsi yang kian mengakar di Tanah Air. Laode memandang budaya korupsi tak terlepas dari tradisi buruk yang diajarkan kepada masyarakat.
Ia mencontohkan ajang pemberian uang atau serangan fajar dalam pelaksanaan Pemilu. Masyarakat akhirnya terbiasa menyalurkan suaranya demi mendapatkan pundi pundi rupiah.
"Korupsi sudah mengakar dalam karena masyarakat sekarang tidak akan memilih tanpa politik uang," kata Laode kepada Republika, belum lama ini.
Kondisi ini menurut Laode diperparah dengan penghambaan terhadap pemberi uang. Praktek ini terjadi dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau kepala daerah. Mereka tetap dielu-elukan bak pahlawan walau hakim sudah memutusnya bersalah dalam kasus korupsi atau dalam kata lain merugikan rakyat itu sendiri.
Dalam ingatan Republika, hal ini pernah terjadi saat sidang vonis terhadap Eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Saat sidang, seratusan orang berpakaian ormas kedaerahan tertentu seolah melindungi SYL. Mereka pun memberi semangat kepada SYL seolah menutup mata terhadap kesalahan SYL.
"Makanya jangan heran para narapidana korupsi banyak yang dijemput seperti pahlawan dan bahkan mantan koruptor menang Pilkada," ujar Laode.
Laode menyoroti mentalitas korup ini diperparah oleh buruknya teladan yang ditunjukkan oleh aparat pemerintahan dari level pusat sampai tingkat terendah di desa.
Tak sedikit, aparat pemerintahan viral karena flexing dan terjebak skandal moral. "Soalnya pemerintah pusat sampai daerah dan aparat penegak hukum tidak pernah memberikan teladan baik," ujar Direktur Eksekutif Kemitraan itu.
Oleh karena itu, Laode menitikberatkan kepada penyelenggara negara agar memperhatikan betul seluruh tindak-tanduknya. Masyarakat dinilai berharap agar mereka dapat memberi teladan baik sekaligus mengayomi. Laode berpesan supaya mereka menghindari gaya hidup mewah.
"Pemerintah harus memberi contoh dan teladan. Tapi selama pemerintah pusat, daerah, anggota DPR, serta polisi dan tentara masih hidup mewah seperti sekarang jangan berharap ada perbaikan," ujar Laode.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Skor IPK RI pada 2023 dan 2024 sebesar 34 turun empat poin ibandingkan 2021 sebesar 38.
Hal ini mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia belum mencapai hasil yang signifikan. Sehingga Laode menyimpulkan pemerintahan Jokowi belum mampu memberantas korupsi secara menyeluruh selama memimpi. Pada awal pemerintahan Jokowi tahun 2014, kata ia, skor CPI Indonesia adalah 34 dan pada saat berakhir tahun 2024 skornya tetap 34.
"Jadi 10 tahun pemerintahan Jokowi tidak ada kontribusinya dalam peningkatan indeks persepsi korupsi," ujar Laode.
Pada periode awal pemerintahan Jokowi 2014-2019 menurut Laode sebenarnya lumayan baik karena sempat naik sampai skor 40 pada tahun 2019. Tapi Laode menyayangkan pada tahun 2019 Pemerintah dan DPR merevisi UU KPK yang secara otomatis menurunkan skor CPI. "Kondisi ini akan tetap berlangsung jika Presiden Prabowo tidak serius memberantas korupsi di sektor politik, aparat penegak hukum, dan militer," ujar Laode.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, korupsi adalah masalah pemerintahan dan kekuasaan. Sebagai suatu masalah sosial, banyak faktor yang membuat kasus korupsi terjadi.
"Faktornya kompleks, tidak tunggal. Aspek biaya proses politik itu, iya, tetapi bukan satu-satunya," kata dia kepada Republika, Ahad (8/12/2024).
Ia menegaskan, salah satu bukti biaya politik mahal bukan menjadi satu-satunya faktor kepala daerah melakukan korupsi adalah fakta bahwa dalam beberapa waktu terakhir terdapat penjabat (pj) kepala daerah terjerat kasus rasuah. Padahal, para pj kepala daerah itu mendapatkan jabatan bukan melalui proses pemilihan kepala daerah (pilkada) yang harus melakukan kampanye.
Ghufron mengatakan, korupsi merupakan musuh negara dan bangsa secara bersama. Karena itu, harus ada kesepahaman untuk memusuhinya, juga tidak memberikan perlindungan bagi korupsi di setiap struktur ketatanegaraan.
Relasi kuasa
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko menggunakan pendekatan relasi kuasa dalam melihat sengkarut korupsi di tanah air.
Wawan tak sepakat kalau korupsi disebut membudaya dalam masyarakat. Wawan menekankan korupsi terjadi karena seseorang memiliki pengaruh. "Bukan masalah budayanya karena korupsi ini bukan orang maling sesuatu, beda sama pencurian, pencurian bisa dibilang karena butuh. Korupsi itu karena punya kekuasaan, ada ketimpangan relasi kuasa. Kenapa dibilang ini bukan budaya karena disitu ada kekuasaan," ujar Wawan.
Sehingga Wawan menegaskan tak semua orang bisa korupsi. Hanya mereka yang punya kekuasaan yang dapat melakukannya. "Nggak semua orang bisa korupsi, tukang becak bisa korup nggak? Kan nggak ada kekuasaan. Korupsi itu dia pejabat publik atau punya kekuasaan secara publik," ujar Wawan.
Ia juga menganggap korupsi banyak disebabkan keserakahan bukan kebutuhan. Wawan menyinggung masih banyak aturan malah seolah melegalkan korupsi dibungkus legal seperti calo, pungli.
"Dari sisi korupsi jangan hanya dilihat uang. Apa masyarakat paham perilaku korup sebenernya tapi nggak sadar. Contohnya korupsi nggak hanya soal uang tapi etika. Kalau lihat hari ini konflik kepentingan jadi hal wajar," ujar Wawan.
Indonesia sebenarnya punya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tapi Wawan mengamati kenyataannya jauh berbeda dengan aturan itu.
"Hal-hal itu sesuatu yang sebenarnya membenarkan hal yang tidak wajar. Tapi harusnya sebaliknya jangan dibenarkan harus diperbaiki," ujar Wawan.
Atas situasi ini, Wawan menawarkan tiga solusi. Pertama, perbaikan regulasi karena UU Tipikor tak kunjung direvisi. Padahal kejahatan korupsi kian canggih.
Kedua, Wawan mendorong pendefinisian korupsi secara tegas. Sehingga penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi harus dikejar pertanggungjawaban pidananya.
"Kewenangannya jadi merugikan publik. Jadi nggak cuma ambil duit negara. Suap, gratifikasi juga hal penting untuk didefinisikan ketat. Karena selama ini orang terima suap contoh Irman Gusman sebagai Ketua DPD dia ngakunya dikasih saja bilang nggak rugikan keuangan negara. Coba dia driver ojol bisa nggak orang nyuap dia? Ya enggak," sindir Wawan.
Ketiga, Wawan mendesak pembenahan lembaga pemberantasan korupsi. Wawan menyentil tugas itu masih dilakukan oleh polisi dan jaksa juga hingga tumpang tindih dengan KPK. Padahal, kata ia, alasan KPK dibangun itu sebagai trigger mechanism. Kalau memang serius pencegahan pemberantasan korupsi, maka perlu diperkuat lembaga antirasuah.
"Contoh Malaysia, Singapura itu polisinya nggak bisa usut korupsi. Kejaksaan juga tidak. Hanya 1 lembaga jadi single roof anti corruption system. Nah klo itu bs dilakukan maka akan sangat membantu karena semua kasus korupsi lari ke KPK. Yang awasi nanti dewas," ujar Wawan.